Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

[recent]

Tuesday, April 15, 2025

Urgensi RUU TNI : Apa yang tidak diketahui publik?

 

Oleh: Ma'rifatun Nihayah Agustin

  

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Perubahan atas Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah diresmikan menjadi Undang-Undang di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang dipimpin oleh Puan Maharani pada hari Kamis tanggal 20 Maret 2025 kemarin, keputusan ini menjadi bagian dari terjadinya peristiwa besar dalam sejarah legislasi Indonesia. Proses ini tidak hanya melibatkan dinamika politik, tetapi juga aksi massa, kontroversi kebijakan, hingga kekhawatiran terhadap dampaknya pada demokrasi dan supremasi sipil. Perjalanan panjang dari pra hingga pasca pengesahan penuh dengan insiden yang menggugah perhatian publik.

Awal kontroversi dimulai pada Februari 2025, ketika Presiden Prabowo Subianto mengirimkan surat kepada DPR untuk membahas revisi UU TNI. Surat tersebut menjadi dasar bagi Komisi I DPR untuk membentuk panitia kerja yang bertugas membahas revisi ini secara intensif. Namun sejak awal, proses pembahasan mendapat kritik karena dianggap dilakukan secara terburu-buru dan minim transparansi. Bahkan, beberapa pertemuan penting dilaporkan berlangsung tertutup di hotel tanpa partisipasi publik.

Pada awal Maret 2025, Komisi I DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan melibatkan akademisi, pakar hukum, dan masyarakat sipil untuk memberikan masukan terkait revisi UU TNI. Namun, RDPU ini tidak mampu meredakan kekhawatiran publik. Koalisi masyarakat sipil mulai menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR RI sebagai bentuk penolakan terhadap revisi tersebut. Mereka membawa spanduk dan mencoreti dinding juga jalanan dengan tulisan "KEMBALIKAN MILITER/TENTARA ke BARAK", "Say No to UU TNI-POLRI”, ”TOLAK DWIFUNGSI ABRI” hingga ribuan hastag ”#TOLAK RUU TNI” sebagai simbol perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap prinsip demokrasi.

Aksi tolak RUU TNI di depan gedung DPRD Kota Malang. Sumber : VIVA Malang / Uki Rama

Puncak dari proses ini terjadi pada 20 Maret 2025, saat DPR menggelar Sidang Paripurna ke-15 untuk mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang. Ketua DPR Puan Maharani memimpin sidang tersebut dengan seluruh fraksi menyatakan persetujuan secara bulat. Pengesahan ini berlangsung cepat tanpa banyak perdebatan di ruang sidang, meski di luar gedung DPR suasana sangat berbeda. Massa aksi yang berkumpul melakukan demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan RUU tersebut. Demonstrasi ini diwarnai dengan orasi bergantian dan nyanyian lagu perjuangan yang menciptakan suasana tegang di sekitar gedung parlemen.

Setelah pengesahan, gelombang protes terus berlanjut di berbagai daerah. Mahasiswa di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, Yogyakarta dan daerah besar lainnya menggelar aksi menolak UU TNI dengan cara turun ke jalan membawa poster dan berorasi. Beberapa demonstrasi berakhir ricuh akibat bentrokan dengan aparat keamanan. Di Jakarta dan Surabaya, aksi unjuk rasa berujung kericuhan setelah polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan massa yang bertahan di depan Gedung DPR. Bahkan ditemukan aparat intelijen yang menyamar sebagai demonstran sambil membawa senjata sampai memicu kemarahan publik.

Tidak hanya itu, intimidasi terhadap aktivis juga dilaporkan terjadi selama demonstrasi berlangsung. Beberapa peserta aksi ditangkap oleh aparat keamanan dan mengalami kekerasan fisik saat berada dalam tahanan sementara. Insiden ini menambah ketegangan antara masyarakat sipil dan aparat negara serta memunculkan pertanyaan besar tentang ruang kebebasan berekspresi di Indonesia. Sedikit ada perbedaan aksi yang dilakukan di Malang, yang mana dengan melakukan pembakaran sebagian dari gedung DPR.

Kritik terhadap isi revisi UU TNI juga semakin mengemuka pasca-pengesahan. Salah satu poin kontroversial adalah penambahan tugas baru bagi TNI dalam operasi militer selain perang, seperti penanggulangan ancaman siber dan perlindungan kepentingan nasional di luar negeri. Selain itu, prajurit aktif kini dapat menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara. Banyak pihak menilai bahwa langkah ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI yang pernah menjadi sorotan negatif pada era Orde Baru.

Kekhawatiran lain datang dari dampak ekonomi dan birokrasi akibat kebijakan tersebut. Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dikhawatirkan menciptakan persaingan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pegawai BUMN yang telah lama menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Hal ini dinilai dapat menurunkan efisiensi birokrasi sekaligus menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat sipil.

Untuk merespons pengesahan UU TNI, kelompok masyarakat sipil terutama dari kalangan mahasiswa UI Fakultas Hukum yang berjumlah 7 orang sebelumnya telah mempersiapkan uji materi lalu menggugat revisi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini bertujuan untuk membatalkan beberapa pasal kontroversial dalam UU tersebut yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Para aktivis berharap MK dapat memberikan putusan yang adil demi menjaga keseimbangan antara peran militer dan sipil dalam pemerintahan.


Mahasiswa FH UI menggugat RUU TNI. Sumber : tempo.co

Di sisi lain, pemerintah berusaha meyakinkan publik bahwa revisi UU TNI diperlukan untuk menghadapi tantangan keamanan modern seperti ancaman siber dan konflik geopolitik internasional. Namun, argumen ini belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat luas yang masih mempertanyakan dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut terhadap demokrasi Indonesia.

Pengesahan UU TNI mencerminkan dinamika hubungan sipil-militer di Indonesia yang terus berkembang sejak era reformasi. Sementara ada upaya untuk memperkuat peran militer menghadapi tantangan global, perhatian terhadap dampak sosial-politik tetap menjadi isu krusial bagi masa depan demokrasi Indonesia. Di tengah ketegangan ini, masyarakat berharap agar prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil dapat terjaga demi kebaikan bersama.

Dengan berbagai insiden yang terjadi dari pra hingga pasca pengesahan UU TNI, perjalanan legislasi ini menjadi sorotan utama masyarakat dan pengamat kebijakan publik. Implementasinya akan terus diawasi untuk memastikan bahwa perubahan besar ini tidak mengorbankan nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun terakhir.

Demikianlah, RUU TNI membawa dampak yang kompleks bagi masyarakat yang sering kali tidak terlihat ole publik. Penting bagi kita untuk terus menggali informasi dan memahami implikasi dari kebijakan ini. Seiring berjalannya masa, mari kita berdiskusi lebih aktif lagi, agar setiap keputusan yang diambil bisa mencerminkan kepentingan serta kebutuhan masyarakat. Terima kasih telah membaca online news PSKH ini dan tetap Bersama kami untuk berita-berita menarik selanjutnya.





Reference:

1. https://www.kemhan.go.id/2025/03/20/ruu-perubahan-uu-tni-disetujui-dpr-menhan-
tegaskan-transformasi-tni.html : RUU Perubahan UU TNI Disetujui DPR, Menhan Tegaskan Transformasi TNI

2. https://fahum.umsu.ac.id/berita/ruu-tni-disahkan-ini-dampak-yang-akan-terjadi/ :
RUU TNI Disahkan, Ini Dampak yang Akan Terjadi

3. https://www.tempo.co/politik/dpr-sahkan-revisi-uu-tni-bagaimana-tahapan-
penyusunan-ruu-menjadi-uu--1222202 : DPR Sahkan Revisi UU TNI, Bagaimana Tahapan Penyusunan RUU Menjadi UU?

4. https://fahum.umsu.ac.id/info/uu-tni-disahkan-oleh-dpr-ri-20-maret-2025-ini-point-pentingnya/
: UU TNI Disahkan Oleh DPR RI 20 Maret 2025, Ini Point Pentingnya

Monday, December 9, 2024

Menyoal Fenomena Kriminalisasi Guru di Indonesia

 

Oleh: Maulida Hanum Tsuroyya

    “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Ungkapan yang sering kita dengar kini seolah telah berubah menjadi hal ironi ketika melihat realita yang dialami oleh para pendidik di Indonesia. Dibalik tugasnya yang amat mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, guru justru kerap dihadapkan pada ancaman kriminalisasi yang siap mengintai setiap langkah mereka.

    Kasus kriminalisasi guru yang baru saja terjadi yakni kasus hukum Supriyani (36), seorang guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Supriyani dilaporkan atas dugaan penganiayaan seorang siswa kelas 1A SDN 4 Baito ke Polsek Baito, oleh Aipda Wibowo Hasyim selaku ayah dari siswa tersebut yang juga seorang Kanit Intel Polsek Baito pada April 2024. Laporan penganiayaan tersebut dilakukan setelah Ibu korban melihat adanya luka memar di paha belakang anaknya. Setelah berbulan-bulan proses hukum berjalan, Supriyani akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo (25/11/2024). 

    Adapun kasus kriminalisasi guru yang telah terjadi sebelumnya yakni seperti kasus yang menimpa seorang guru di SMAN 7 Rejang Lebong. Zaharman (58) harus mengalami kebutaan permanen pada mata kanannnya setelah diketapel oleh orang tua murid pada Agustus 2023 lalu. Hal tersebut terjadi dikarenakan Zuharman memergoki muridnya merokok di kantin sekolah, kemudian menegur dan memberikan hukuman. Kasus lainnya juga dialami oleh Khusnul Khotimah (33), guru SD Plus Darul Ulum Jombang. Ia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan lalai mengawasi siswanya, dalam kasus kerusakan mata muridnya akibat gagang sapu yang dimainkan oleh teman korban ketika jam kosong pada Februari 2024. 

Payung Hukum Perlindungan Guru di Indonesia

    Sebagaimana dilansir dari laman berita CNN Indonesia, Gibran Rakabuming selaku Wakil Presiden (11/11/2024) mengusulkan adanya payung hukum bagi para guru yang rawan dikriminalisasi melalui pengadaan Undang-Undang Perlindungan Guru. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, usulan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Guru tidak hanya akan melindungi guru dan tenaga pendidik saja, melainkan juga peserta didik. Lalu, bagaimana sebenarnya pengaturan tentang perlindungan terhadap guru yang telah ada di Indonesia?

  1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen: Pasal 39 Undang-Undang Guru dan Dosen menyebutkan ranah perlindungan hukum terhadap guru di Indonesia mencakup berbagai dimensi sebagai upaya mewujudkan kepastian hukum, kesehatan, kemanan dan kenyaman bagi guru dalam menjalankan profesinya.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru: Pasal 39 Ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa guru memiliki kebebasan untuk memberikan saksi pada siswa yang melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Saksi dapat berupa teguran dan/atau peringatan baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang sifatnya mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan. Pasal 40 dan 41 bahwa guru berhak atas perlindungan dalam melaksanakan tugasnya berupa rasa aman dan jaminan keselamatan melalui perlindungan hukum, perlindungan profesi dan perlindungan keselamatan serta kesehatan kerja.
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan tenaga Kependidikan: Pasal 2 Ayat (1) dijelaskan bahwa perlindungan yang diberikan merupakan upaya melindungi pendidik dan tenaga kependidikan yang menghadapi permasalahan dalam melaksanakan tugasnya

Akar Persoalan Kriminalisasi Guru : 

    Fenomena kriminalisasi guru yang terjadi jelas menunjukkan kerentanan posisi guru dalam dunia pendidikan Indonesia. Di satu sisi mereka dituntut untuk mendidik dan membentuk karakter siswa. Namun, di sisi lain mereka juga harus berhati-hati dalam memberikan tindakan pendisiplinan karena khawatir akan kriminalisasi yang mengancam. 

    Fenomena ini jelas menunjukkan terdapat perbedaan paradigma tindakan pendisiplinan antara guru, siswa, dan orang tua siswa dalam dunia pendidikan. Kurangnya pemahaman dan edukasi yang memadai tentang pentingnya guru dalam proses pendidikan anak, sehingga setiap tindakan guru yang dianggap tidak sesuai langsung dipersalahkan tanpa mempertimbangkan niat baik dan tujuan pendidikan. Namun, keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga dapat menjadi celah munculnya kriminalisasi guru. Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi dalih pembenaran untuk melaporkan guru dengan memposisikan anak sebagai korban kekerasan gurunya. 

    Maraknya kriminalisasi guru juga menandakan lemahnya penegakan hukum serta interpretasi yang kaku oleh aparat penegak hukum terhadap tindakan guru dalam membedakan tindakan mendidik dengan kekerasan. Berbagai regulasi yang telah ada seolah tidak mampu memberikan rasa aman terhadap guru dari ancaman kriminalisasi. 

    Kriminalisasi guru tidak hanya menjadi persoalan hukum, melainkan juga sebagai cerminan krisis pendidikan dan budaya hukum di Indonesia. Perlu adanya optimalisasi terkait peran trilogi pendidikan, yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk hadir dan saling mendukung dalam mencerdaskan anak. Selain itu, perlu adanya penguatan dalam hal koordinasi dan kerjasama antara sekolah, aparat penegak hukum, masyarakat, dan orang tua terkait paradigma pendisiplinan di dalam dunia pendidikan serta implementasi penegakan hukum perlindungan terhadap guru yang juga perlu ditingkatkan. 

Referensi:

Aditya, Surya dan Zaky Al-Yamani. 2024. “4 Kasus Kriminalisasi Guru yang Terjadi di Indonesia, Ada yang Sampai Buta”. https://www.viva.co.id/trending/1767551-4-kasus-kriminalisasi-guru-yang-terjadi-di-indonesia-ada-yang-sampai-buta?page=4. Viva. Diakses pada 24 November 2024.

CNN Indonesia. 2024. “Gibran Usul UU Perlindungan Guru Cegah Kriminalitas Tenaga Pendidik”. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241111112402-32-1165197/gibran-usul-uu-perlindungan-guru-cegah-kriminalisasi-tenaga-pendidik. CNN. Diakses pada 24 November 2024.

Dewi, Hana. 2024. “PGRI: Usulan RUU Perlindungan Guru juga Akan Lindungi Anak Didik”. https://www.antaranews.com/berita/4435153/pgri-usulan-ruu-perlindungan-guru-juga-akan-lindungi-anak-didik. ANTARA News. Diakses pada 25 November 2024.

Nurhidayat, Despian. 2024. “Regulasi untuk Melindungi Guru Sudah Lengkap, Tapi Pelaksanaannya yang Masih Lemah”.  https://mediaindonesia.com/humaniora/713466/regulasi-untuk-melindungi-guru-sudah-lengkap-tapi-pelaksanaannya-yang-masih-lemah. Media Indonesia. Diakses pada 25 November 2024.

 Syafii, Moh. dan Pythag Kurniati. 2024. "Guru SD di Jombang Jadi Tersangka Usai Mata Kanan Siswa Alami Cedera di Sekolah". https://surabaya.kompas.com/read/2024/05/20/084204278/guru-sd-di-jombang-jadi-tersangka-usai-mata-kanan-siswa-alami-cedera-di?page=all. Kompas. Diakses pada 25 November 2024.


Thursday, November 28, 2024

Kasus Impor Gula: Penetapan Tersangka Tom Lembong dan Isu Kriminalisasi dalam Ranah Politik


Oleh: Dina Marini

    Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Tom Lembong sebagai mantan Menteri Perdagangan dalam kegiatan importasi gula periode 2015-2023 di Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat. Sebagai figur publik yang memiliki peran besar dalam pengambilan kebijakan ekonomi Indonesia, penetapan tersangka terhadap Lembong mengundang pertanyaan luas termasuk terkait potensi adanya kriminalisasi politik. Indikasi ini muncul karena adanya pola pengungkapan kasus yang sering kali bertepatan dengan momentum politik tertentu, seperti pemilu atau pergantian kabinet yang mengarah pada dugaan bahwa hukum dijadikan alat untuk melemahkan lawan politik. Selain itu sejumlah pengamat mencatat bahwa proses penyelidikan terhadap kasus ini terkesan tidak transparan dan minim penjelasan dari aparat penegak hukum, sehingga memunculkan spekulasi tentang intervensi politik dalam penanganan perkara

    Tom Lembong yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada masa itu, dinilai memegang kendali dalam penentuan kebijakan impor gula yang dituding menyebabkan kerugian negara. Sejak diumumkannya status tersangka ini oleh pihak Kejaksaan Agung, spekulasi dan analisis dari berbagai pihak terus mengemuka. Tidak sedikit yang mempertanyakan apakah kasus ini merupakan murni penegakan hukum atau ada unsur politis yang mewarnainya.

Kronologi Kasus Impor Gula

    Kasus yang menjerat mantan Menteri Perdagangan ini berawal dari kebijakan izin impor gula kristal mentah (GKM) pada tahun 2015. Saat itu Tom Lembong mengeluarkan Persetujuan Impor (PI) untuk PT AP, yang mengizinkan perusahaan tersebut mengimpor 105.000 ton gula kristal mentah guna diolah menjadi gula kristal putih (GKP). Namun, kebijakan ini diduga menyalahi aturan yang berlaku. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 hak impor GKP sebenarnya eksklusif untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan untuk pihak swasta seperti PT AP.

    Dilansir dari Detik News, investigasi Kejaksaan Agung mengungkap bahwa kebijakan impor tersebut diduga menimbulkan pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara hingga lebih dari Rp 400 miliar. Alhasil, Tom Lembong dan rekannya CS yang merupakan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia atau PT PPI, ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi ini. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, yang memiliki ancaman hukuman maksimal hingga penjara seumur hidup. Kejaksaan Agung juga telah menahan keduanya selama 20 hari untuk proses penyidikan lebih lanjut. Tom Lembong saat ini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sementara CS ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.

Dugaan Adanya Kriminalisasi Politik

    Penetapan status tersangka terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula membuka perdebatan mengenai potensi kriminalisasi politik di Indonesia. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yakni Mahfud MD turut berpendapat bahwa wajar apabila ada pihak yang menganggap kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi politik. Menurut Mahfud, kebijakan impor gula yang serupa juga dilakukan oleh Menteri Perdagangan setelah Tom Lembong, bahkan dengan skala yang lebih besar. Beberapa nama yang disebut Mahfud antara lain Enggartiasto Lukito, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, dan Zulkifli Hasan, yang masing-masing turut menerapkan kebijakan impor gula selama masa jabatan mereka.

    Mahfud mempertanyakan mengapa penegakan hukum dimulai dari kasus yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan yang lebih lama, bukan dari mereka yang lebih dekat dalam periode pemerintahan saat ini. Mahfud menilai bahwa persepsi kriminalisasi politik ini adalah hal yang wajar mengingat adanya kebijakan yang serupa oleh menteri-menteri setelahnya, namun tidak mendapat perhatian yang sama dalam konteks penegakan hukum. Analisis Mahfud ini memperkuat anggapan bahwa pemilihan tersangka dalam kasus-kasus tertentu kadang dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik yang berpotensi melemahkan kredibilitas serta independensi penegakan hukum di Indonesia.

    Kriminalisasi politik sendiri memiliki beberapa indikator yang sering menjadi dasar dugaan di antaranya adalah penggunaan pasal yang bersifat karet atau multitafsir, manipulasi bukti, serta tekanan terhadap lembaga peradilan untuk menjatuhkan vonis tertentu. Penggunaan pasal-pasal tertentu seperti pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong juga sering dikritisi karena dinilai membuka ruang untuk interpretasi subjektif yang bisa disalahgunakan.

    Di Indonesia kasus-kasus yang bersinggungan dengan politik sering kali diselimuti oleh keraguan terkait independensi lembaga penegak hukum. Ketika individu yang dianggap berseberangan dengan penguasa atau tokoh yang memiliki basis pendukung besar menjadi target penyelidikan, maka pertanyaan mengenai motif di balik proses hukum tersebut tak dapat dihindarkan.

     Kasus Tom Lembong memberikan kesempatan bagi publik untuk mengamati apakah penegakan hukum di Indonesia telah berjalan independen atau masih rentan terhadap pengaruh politik. Beberapa pakar hukum menilai bahwa transparansi merupakan kunci dalam menangani kasus ini, agar publik bisa yakin bahwa penegakan hukum berjalan sesuai aturan dan tidak ada intervensi dari pihak tertentu. Sebagai figur publik, Lembong menyatakan bahwa dirinya siap untuk membuktikan kebenaran di hadapan hukum. Meskipun demikian, masyarakat mengharapkan adanya transparansi dalam proses penyelidikan ini agar kasus ini tidak sekadar menjadi ajang pertarungan politik atau alat untuk menjatuhkan lawan. Hanya dengan cara tersebut kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia dapat dipertahankan.

    Sebagai mahasiswa yang melek hukum dan bagian dari masyarakat yang peduli akan penegakan keadilan, penting bagi kita untuk memandang kasus ini secara kritis dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Dugaan korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong memang memunculkan pertanyaan mengenai potensi kriminalisasi politik. Namun, tidak dapat disangkal bahwa proses hukum ini juga dapat dilihat sebagai upaya serius penegak hukum dalam menindak praktik-praktik yang berpotensi merugikan negara. Dalam perspektif ini, Kejaksaan Agung berupaya membangun komitmen untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, terlepas dari status atau jabatan yang pernah diemban oleh pihak yang bersangkutan.

Referensi:

Kiki Safitri dan Ihsanudin, “Upaya Perlawanan Tom Lembong dan Sepucuk Surat dari Penjara”, https://nasional.kompas.com/read/2024/11/11/08412391/upaya-perlawanan-tom-lembong-dan-sepucuk-surat-dari-penjara?page=all&utm_source=Google&utm_medium=Newstand&utm_campaign=partner , diakses pada 11 November 2024.

Novianti setuningsih, “Kronologi Kasus Impor Gula dengan Tersabgka Tom Lembong”, https://nasional.kompas.com/read/2024/10/31/05080031/-populer-nasional-kronologi-kasus-impor-gula-dengan-tersangka-tom-lembong?page=all#page2 , diakses pada 11 November 2024.

Diva Rabiah, “Kronologi Kasus Korupsi Tom Lembong Versi Kejaksaan Agung”, https://www.metrotvnews.com/play/kM6Ca5vA-kronologi-kasus-korupsi-tom-lembong-versi-kejaksaan-agung, diakses pada 12 November 2024.

M. Agus Yozami, “Kasus Tom Lembong, Ini Kata Eks Menko Polhukam dan Eks Pimpinan KPK”, https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-tom-lembong--ini-kata-eks-menko-polhukam-dan-eks-pimpinan-kpk-lt672c2f7b27e46/?page=all, diakses pada 11 November 2024.


Monday, October 14, 2024

Dinasti Politik di DPR: Wajah Baru Oligarki, Apa Kabar Demokrasi?

Oleh: Muhammad Fadel Adhyputra

Dinasti politik merupakan sistem regenerasi kekuasaan yang mengutamakan hubungan kekeluargaan. Sistem ini bertentangan dengan  prinsip demokrasi karena seharusnya demokrasi dapat membuka peluang yang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk dapat berpolitik. Berbeda dengan dinasti politik yang cenderung memonopoli kekuasaan dengan memanfaatkan koneksi keluarga yang telah dibangun yang menyebabkan ketidakadilan bagi mereka yang baru berkecimpung dalam dunia politik.  

Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa 174 anggota DPR RI periode 2024-2029 terindikasi memiliki keterkaitan dengan dinasti politik, di mana mereka memiliki hubungan keluarga dengan pejabat atau mantan pejabat di berbagai posisi penting, seperti eksekutif pusat, legislatif pusat, kepala daerah, dan petinggi partai. Jumlah ini mencakup 30% dari seluruh anggota DPR. Jabatan-jabatan ini diperoleh melalui proses pemilihan, namun sering kali dipengaruhi oleh hubungan keluarga yang mengakibatkan perputaran kekuasaan cenderung diwariskan, bukan melalui kompetisi demokratis yang sehat. Upaya regenerasi dengan jalur dinasti memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kontinuitas politik dengan tujuan agar tetap berkuasa sehingga dapat menyembunyikan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang terjadi. Dengan mengendalikan pemerintahan dari generasi ke generasi, mereka bisa menghindari penindakan hukum yang mungkin muncul jika kekuasaan beralih ke pihak lain. Dampaknya, para pejabat dan keluarganya memperoleh manfaat besar, seperti keuntungan finansial dari praktik korupsi, akses lebih mudah terhadap kebijakan yang menguntungkan kelompoknya, serta kestabilan politik untuk melindungi diri dari ancaman hukum atau oposisi.

Dinasti politik sering kali dimanfaatkan oleh kelompok pejabat untuk melanggengkan praktik korupsi secara berkelanjutan. Hal ini terbukti dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dari dinasti politik di berbagai daerah di Indonesia. Di Banten, Gubernur Ratu Atut Chosiyah dijatuhi vonis tujuh tahun atas korupsi pengadaan alat kesehatan, sementara adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, juga terlibat. Di Klaten, Bupati Sri Hartini menerima suap terkait promosi jabatan, dengan hukuman 11 tahun, sedangkan suaminya, mantan Bupati Haryanto Wibowo, juga terseret kasus korupsi. Di Cimahi, pasangan suami istri M Itoch Tochija dan Atty Suharti dipidana atas suap proyek pembangunan, masing-masing tujuh dan empat tahun. Di Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi dihukum empat tahun karena suap perizinan pembangunan, setelah ayahnya, Aat Syafaat, juga terbukti korupsi. Di Kendari, mantan Wali Kota Asrun dan putranya, Adriatma Dwi Putra, dijatuhi vonis empat tahun atas suap proyek. Di Probolinggo, Bupati Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin, terlibat jual beli jabatan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2021. Dengan banyaknya kasus-kasus yang telah terjadi, sudah semestinya kita sadar dinasti politik merupakan sesuatu yang sangat buruk dan merugikan negara.

Dinasti politik dalam era modern ini terlihat mustahil untuk diberantas. Hal ini dapat dipahami dengan kacamata teori hukum besi oligarki (iron law of oligarchy) oleh Robert Michels yang menyatakan bahwa seiring waktu semua sistem politik cenderung berkembang menjadi oligarki, tidak peduli seberapa demokratis pun pada awalnya. Itulah kenyataan saat ini, dapat kita lihat bahwa hukum dikendalikan oleh mereka yang memiliki ikatan kekeluargaan, dominasi ekonomi, dan kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Bukti nyata dari hal tersebut dapat dilihat dalam peningkatan dinasti politik di Indonesia. Hingga tahun 2020, persentase dinasti politik meningkat sebesar 14,78%, mencakup 80 dari 541 wilayah, fenomena ini terus berlanjut setiap tahun setelah pelaksanaan Pilkada. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik dinasti politik semakin mengakar kuat dalam sistem politik nasional.

Implikasi dari dinasti politik terhadap demokrasi Indonesia sangat serius. Pertama, dinasti politik mempersempit ruang untuk kritik dan pengawasan terhadap pejabat publik. Check and balances yang seharusnya ada dalam sistem demokrasi melemah ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir keluarga. Kedua, calon dari dinasti politik memiliki keuntungan yang tidak adil dalam pemilu, karena mereka sudah memiliki pengaruh, sumber daya, dan akses yang lebih besar. Hal ini membuat calon-calon yang kurang modal atau dukungan politik sulit bersaing. Ketiga, dinasti politik juga mengindikasikan kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi. Alih-alih mengedepankan calon yang kompeten, partai cenderung memilih figur populer yang memiliki hubungan keluarga dengan elite politik.

Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa DPR adalah cerminan rakyatnya di mana rakyat Indonesia sendiri dalam berbagai tingkatan masyarakat masih banyak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang paham akan pentingnya menjaga nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan Pancasila sudah semestinya untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya hukum dan pemerintahan yang ada di Indonesia. Melalui kegiatan advokasi, edukasi publik, dan penggunaan media sosial, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat, menanamkan nilai-nilai kejujuran, amanah, dan integritas dalam politik Indonesia. Dengan peran aktif mahasiswa, diharapkan masyarakat Indonesia dapat lebih cerdas dalam memilih pemimpin yang tidak hanya berasal dari keluarga elite politik, tetapi juga mereka yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi. Hanya dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat berkembang secara lebih sehat dan inklusif, bebas dari cengkeraman dinasti politik.

Referensi:

Gunanto, D. (2020). Tinjauan kritis politik dinasti di Indonesia. Sawala: Jurnal Administrasi Negara8(2), 177-191.

Mohammad Hatta Muarabagja, “Penelusuran ICW: 174 Anggota DPR 2024-2029 Terindikasi Terhubung dengan Dinasti Politik, ” ed. Dwi Arjanto,  https://nasional.tempo.co/read/1924751/penelusuran-icw-174-anggota-dpr-2024-2029-terindikasi-terhubung-dengan-dinasti-politik diakses pada 08 Oktober 2024 pukul 12.35 WIB

Norbertus Arya Dwiangga Martiar, “Dinasti Politik Berujung Korupsi” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/17/dinasti-politik-berujung-korupsi diakses pada 08 Oktober 2024 pukul 13.00 WIB

Rahma, A. A., Oktaviani, A. A., Hofifah, A., Ahda, T. Z., & Nugraha, R. G. (2022). Pengaruh dinasti politik terhadap perkembangan demokrasi Pancasila di Indonesia. Jurnal Kewarganegaraan6(1), 2260-2269.

Ratnasyifa, O. R. (2024). Konstitusi Pemisahan Kekuasaan menurut Polybius. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan1(02).


Wednesday, August 14, 2024

Menilik Kasus Penganiayaan Anak di Daycare Depok: Ujian bagi Perlindungan Anak di Indonesia

 

Oleh: Nufaisah Enggartiwi

Kasus penganiayaan terhadap balita berusia 2 tahun dan bayi berusia 8 bulan yang terjadi di Daycare Wensen School, Harjamukti, Cimanggis, Depok merupakan peristiwa yang sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Sebelumnya sudah ada orang tua korban lain yang lebih dulu membuat laporan hingga video rekaman CCTV viral beredar di media sosial, baru dilaporkan ke Polres Depok oleh orang tua salah satu korban, Arif Muhammar Hidayat pada tanggal 31 Juli 2024. Padahal kejadian penganiayaan tersebut diduga terjadi pada tanggal 10-12 Juli 2024. Penetapan tersangka MI sebagai pemilik daycare tersebut dilakukan oleh Polres Metro Depok pada dengan merujuk pada Pasal 80 Ayat 1 Jo Pasal 80 Ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak dan mengancam pelakunya dengan pidana penjara dan denda.

Pernyataan Kapolres Metro Depok, Kombes Arya Perdana, bahwa tersangka MI mengaku khilaf, bukan niat jahat. Pengakuan khilaf dapat mempengaruhi penilaian terhadap tingkat kesalahan dalam kasus ini, serta potensi hukuman yang akan dijatuhkan. Dalam hukum pidana, istilah "khilaf" atau kelalaian sering kali digunakan untuk menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan tidak didasarkan pada niat jahat, namun lebih pada ketidaksengajaan atau ketidakcermatan. Dalam kasus ini, bukti yang ada, seperti rekaman CCTV serta adanya memar pada tubuh anak, memberikan gambaran yang lebih jelas tentang tindakan fisik yang dilakukan. Tindakan fisik yang terekam dan luka-luka pada korban menunjukkan bahwa perbuatan tersebut melibatkan kekerasan yang disengaja, bukan sekadar kelalaian. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah pengakuan khilaf tersebut mencerminkan realitas dari apa yang terjadi, atau apakah ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti potensi masalah psikologis MI, terutama mengingat bahwa MI juga sedang hamil. Kondisi psikologis dan emosional seseorang, terutama selama kehamilan, dapat mempengaruhi perilaku, namun hal ini tentunya tidak mengesampingkan tanggung jawab hukum terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan. 

Tindakan pemilik daycare dikategorikan sebagai penganiayaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang juga mengatur sanksi pidana bagi pelakunya, sehingga perbuatan tersangka terancam hukuman lima tahun enam bulan penjara. Lebih jauh lagi, kasus ini juga mengungkapkan potensi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Peraturan ini mengatur kualifikasi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik anak usia dini untuk memastikan kualitas pendidikan dan perawatan yang diberikan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Apabila terbukti bahwa tersangka tidak memenuhi standar kualifikasi yang diatur dalam peraturan tersebut, hal ini akan menambah daftar pelanggaran yang terjadi dalam kasus ini dan menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Kasus ini mengajarkan bahwa kita harus lebih peduli terhadap keselamatan anak-anak. Semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga terkait, orang tua, hingga masyarakat, harus bekerja sama untuk memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang aman dan nyaman. Salah satu upaya penting datang dari edukasi masyarakat, khususnya orang tua, mengenai pentingnya memilih daycare yang terpercaya dan memiliki izin resmi, cara memantau perkembangan anak di daycare, serta pentingnya komunikasi aktif dengan pihak daycare. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang tanda-tanda kekerasan atau perlakuan tidak wajar pada anak, sehingga dapat bertindak sebagai garda terdepan dalam melindungi anak-anak dari potensi kekerasan.

Menangani masalah ini secara efektif, perlu solusi yang menyeluruh. Pertama, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penganiayaan harus dilakukan untuk memberikan efek jera dan melindungi hak anak. Untuk itu, pemerintah perlu membentuk sistem pelaporan dan penanganan kasus yang efektif, meliputi hotline pengaduan yang mudah diakses, yakni nomor telepon khusus yang mudah diingat, jadi siapapun bisa langsung menelepon kalau ada masalah sehingga dibutuhkan juga tim respons cepat untuk menangani laporan kekerasan terhadap anak tersebut yang dapat langsung datang ke lokasi kejadian untuk memeriksa dan menolong anak yang menjadi korban. Selain itu penting juga perlindungan bagi pelapor dan korban agar orang-orang yang melaporkan atau menjadi korban tidak takut dan bisa memberikan informasi yang benar. 

Namun, tindakan hukum saja tidak cukup; pengawasan lembaga PAUD dan daycare perlu juga diperketat. Pengawasan ini harus mencakup pemeriksaan rutin terhadap izin operasional untuk memastikan bahwa semua lembaga beroperasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kualifikasi pengasuh dan tenaga pengajar harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa mereka memenuhi standar profesional dan memiliki keterampilan yang memadai dalam merawat anak-anak. Evaluasi fasilitas juga harus dilakukan secara rutin untuk memastikan bahwa lingkungan tempat anak-anak berada aman, bersih, dan sesuai dengan standar kesehatan serta keselamatan. Langkah-langkah ini penting untuk mencegah terjadinya penganiayaan dan memastikan bahwa lembaga pendidikan anak usia dini berfungsi secara optimal dalam melindungi dan mendidik anak-anak.

Dengan menerapkan solusi-solusi ini secara menyeluruh dan terus-menerus, diharapkan semua pihak dapat mencegah kasus serupa di masa depan. Langkah-langkah seperti ini akan memastikan hak-hak anak terpenuhi dalam lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman, sesuai dengan komitmen Indonesia terhadap perlindungan anak. Kasus ini harus menjadi titik balik bagi semua pihak mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga itu sendiri untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung perkembangan anak. Dengan kerja sama yang erat dan kesadaran tentang pentingnya perlindungan anak, kita dapat membangun generasi yang terlindungi, terpenuhi hak-haknya, sehingga dapat berkembang dengan optimal.

 Referensi:

Dugaan penganiayaan anak di daycare Depok memicu perdebatan tentang pekerja    perempuan https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd1e13dg763o diakses pada 3 Agustus 2024

Kasus Batita Dianiaya, Puan Tekankan Pentingnya Pengawasan Demi ‘Daycare’ Ramah Anak https://emedia.dpr.go.id/2024/08/01/kasus-batita-dianiaya-puan-tekankan-pentingnya-pengawasan-demi-daycare-ramah-anak/ diakses pada 3 Agustus 2024

PPI Sebut Kekerasan di Daycare Depok Tindak Pidana https://mediaindonesia.com/humaniora/689752/ppi-sebut-kekerasan-di-daycare-depok-tindak-pidana#google_vignette



Saturday, June 22, 2024

MENILIK KASUS VINA CIREBON 2016: MENUAI KEADILAN YANG TERBELENGGU

Oleh: Luluk Imanunah

    Kasus pembunuhan mulai dari yang tidak sengaja, terencana, bahkan hingga yang disertai kekerasan memang kerap kali terjadi di Indonesia. Termasuk salah satunya yang saat ini sedang hangat di bahas adalah kasus pembunuhan yang disertai pelecehan dan penganiayaan pada korban Vina Dewi Arsita atau Vina (16) dan pacarnya Muhammad Rizky Rudian atau Eki (16). Vina dibunuh 11 anggota geng motor di Jalan Raya Talun, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada 27 Agustus 2016 malam. Dari 11 tersangka tersebut, 8 tersangka diantaranya telah diadili dan 3 orang masih menjadi buronan. Menariknya, kasus tersebut diangkat kembali setelah sekian tahun tanpa perkembangan signifikan pasca munculnya film berjudul “Vina: Sebelum 7 Hari” yang menuai sorotan publik akhir-akhir ini.

    Awalnya, Vina dan Eki diduga mengalami kecelakaan tunggal saat keduanya mengendarai sepeda motor dengan berboncengan. Keduanya dilaporkan menabrak trotoar dan tiang listrik yang ada di jembatan flyover yang berada di lajur arah Majasem, Kota Cirebon, menuju Sumber Kabupaten Cirebon. Keduanya ditemukan secara berdekatan di lokasi tersebut dengan kondisi vina mengalami luka parah di sekujur tubuhnya dan pacar Vina yakni Eki dalam kondisi meninggal dunia di tempat. Vina sempat dibawa ke rumah sakit dan menjalani perawatan medis selama dua hari. Dari hasil pemeriksaan tim medis disebutkan bahwa luka-luka yang dialami Vina sangat parah terutama di bagian kepala, tubuh dan kaki. Setelah kasus tersebut didalami, ternyata keduanya merupakan korban penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh salah satu geng motor yang diduga karena motif dendam tertentu

    Berbagai kontroversi muncul di masyarakat dalam menanggapi kasus lama yang diangkat kembali setelah viral karena dirilis dalam sebuah film tersebut. Kejanggalan-kejanggalan dalam proses penanganan dan penyelesaian kasus yang bertahun-tahun tidak selesai ini pun juga tidak lepas dari pandangan publik yang berasumsi adanya ketidakberesan dalam penanganan kasus tersebut mulai dari awal. Dimulai dari kesalahan identifikasi, awalnya keduanya dikatakan mengalami kecelakaan lalu lintas, baru setelah beberapa hari diungkapkan bahwa keduanya merupakan korban penganiayaan dan pembunuhan. Hal tersebut menuai kritik dari para pakar hukum, pihak kepolisian yang sehari-harinya berurusan dengan penyelidikan harusnya tidak kesulitan mengidentifikasi perbedaan korban kecelakaan dan pembunuhan. Namun dalam hal ini terjadi kesalahan fatal dalam mengidentifikasi korban, dan baru diselidiki ulang setelah beberapa hari. Selain itu, klaim keterangan saksi dalam BAP yang saling tidak sinkron dari pihak kuasa hukum korban dan para pengamat hukum, adanya pengakuan salah tangkap dari keluarga dan teman dari tersangka yang telah dipidana, penangkapan tersangka Pegi yang masih menuai kontroversi publik, serta penghilangan nama dua tersangka dari DPO juga memicu pertanyaan publik.

    Perjalanan panjang selama delapan tahun sejak kasus tersebut terjadi pada Agustus 2016, ternyata hingga saat ini kasus tersebut belum tuntas sepenuhnya. Delapan dari sebelas pelaku memang sudah ditangkap dan diadili, bahkan tujuh diantaranya dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Delapan dari total sebelas orang pelaku pembunuh Vina dan Eki tersebut ditangkap pada 31 September 2016. Para pelaku yang ditangkap itu dijerat Pasal 338, 351, 170, dan 285 KUHP dengan ancaman penganiayaan dan pemerkosaan serta Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun, tiga orang lainnya hingga saat ini masih belum jelas keberadaannya termasuk Egi yang diduga otak dari perbuatan kejam tersebut. Anehnya, bahkan tidak ada foto ataupun sketsa wajah dari ketiganya dalam DPO. Selain itu, penangkapan terhadap 8 pelaku yang sudah diadili dan juga hasil BAP pemeriksaan para saksi juga dinilai keterangannya tidak sinkron satu sama lain dan terdapat banyak kejanggalan. Hal tersebut diungkap oleh kuasa hukum keluarga korban, Hotman Paris Hutapea. Kejanggalan tersebut diantaranya penangkapan salah satu dari 3 pelaku yang masuk dalam DPO yang diduga Pegi atau Egi yang ditangkap di Cirebon pada bulan Mei 2024 kemarin yang mana setelah itu pihak kepolisian justru menghapus nama dua buronan lainnya Andi dan Dani dengan alasan bahwa dua nama tersebut bisa jadi adalah fiktif dan tidak cukup bukti kuat untuk menjadikan keduanya tersangka, sedangkan dalam dakwaan disebutkan bahwa keduanya memiliki peran dalam pembunuhan tersebut. Hal itu menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik yang masih sangat antusias mengawal berjalannya proses tersebut. Pihak kepolisian juga memberikan jawaban yang tidak masuk akal, tidak memuaskan dan dinilai tidak terbuka ketika ditanya mengenai penghapusan nama dua DPO lainnya yang semakin memicu kekecewaan dan kecurigaan publik terhadap institusi kepolisian yang diduga menutupi sesuatu dalam kasus tersebut. Pihak berwenang juga baru mengintensifkan proses pengejaran DPO ketika kasus tersebut viral ke publik dan juga desakan dari masyarakat agar kasus tersebut diselesaikan dengan seadil-adilnya.

    Beberapa kejanggalan lain yaitu terkait pengakuan saksi yang mencabut kesaksiannya dengan mengaku bahwa waktu itu terpaksa memberikan kesaksian karena didesak dan diancam oleh penyidik serta pengakuan keluarga dari lima orang terpidana yang menyatakan bahwa mereka merupakan korban salah tangkap yang pada malam tersebut tidak berada di lokasi dan terpaksa memberikan kesaksian dan mengakui perbuatannya karena desakan dan ancaman dari penyidik. Ketidaksesuaian keterangan antara para saksi yang sebagian mencabut kesaksiannya juga dipertanyakan, meskipun beberapa diantaranya mengaku bahwa ketika itu mendapat tekanan dari penyidik untuk memberikan kesaksian yang memberatkan para terdakwa.

    Langkah yang ditempuh keluarga para terdakwa dalam kasus tersebut untuk mengungkap bahwa mereka merupakan korban salah tangkap dan pernyataan para saksi yang mencabut kesaksiannya yang berawal dari disorotnya kembali kasus itu setelah viral di muka publik telah menimbulkan pertanyaan yang serius terkait keadilan dan transparansi sistem hukum. Kasus ini menyoroti pentingnya penyelenggaraan proses hukum yang adil dan transparan, serta perlunya peninjauan yang cermat terhadap bukti-bukti yang digunakan dalam penegakan hukum. 

    Dengan demikian, kasus Vina ini tidak hanya menjadi perdebatan tentang kekejaman yang dilakukan terhadap korban, tetapi juga menjadi refleksi atas integritas dan keadilan dalam sistem hukum. Langkah-langkah selanjutnya yang diambil oleh pihak berwenang akan sangat menjadi penentu dalam menegakkan keadilan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Terlepas dari semua kontroversi dan kekecewaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang diklaim tidak fair dalam menangani kasus tersebut, tentunya kita berharap semoga kasus ini segera menemui titik terang dan keluarga korban mendapatkan keadilan yang sesuai dengan yang diharapkan, serta menjadikan kehati-hatian bagi kita semua agar kedepannya tidak ada kejadian serupa

Referensi:

"Kilas Balik Kasus Pembunuhan Vina Cirebon, Kronologi hingga Rekayasa Kematian" https://megapolitan.kompas.com/read/2024/05/17/14251011/kilas-balik-kasus-pembunuhan-vina-cirebon-kronologi-hingga-rekayasa?page=all. diakses pada 8 Juni 2024 pukul 20.00

Deret Fakta Baru Kasus Pembunuhan Vina di Cirebon https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240519082918-12-1099424/deret-fakta-baru-kasus-pembunuhan-vina-di-cirebon/amp diakses pada 8 Juni 2024 pukul 23.00

Fakta Baru Kasus Vina Cirebon: DPO Hanya Pegi Setiawan! https://www.detik.com/sumbagsel/hukum-dan-kriminal/d-7358122/fakta-baru-kasus-vina-cirebon-dpo-hanya-pegi-setiawan diakses pada 10 Juni 2024 pukul 11.20

Peradi berikan bantuan hukum bagi lima terpidana kasus Vina Cirebon https://www.antaranews.com/berita/4146513/peradi-berikan-bantuan-hukum-bagi-lima-terpidana-kasus-vina-cirebon diakses pada 11 Juni 2024 pukul 21.05