Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Monday, October 14, 2024

Dinasti Politik di DPR: Wajah Baru Oligarki, Apa Kabar Demokrasi?

banner

Oleh: Muhammad Fadel Adhyputra

Dinasti politik merupakan sistem regenerasi kekuasaan yang mengutamakan hubungan kekeluargaan. Sistem ini bertentangan dengan  prinsip demokrasi karena seharusnya demokrasi dapat membuka peluang yang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk dapat berpolitik. Berbeda dengan dinasti politik yang cenderung memonopoli kekuasaan dengan memanfaatkan koneksi keluarga yang telah dibangun yang menyebabkan ketidakadilan bagi mereka yang baru berkecimpung dalam dunia politik.  

Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa 174 anggota DPR RI periode 2024-2029 terindikasi memiliki keterkaitan dengan dinasti politik, di mana mereka memiliki hubungan keluarga dengan pejabat atau mantan pejabat di berbagai posisi penting, seperti eksekutif pusat, legislatif pusat, kepala daerah, dan petinggi partai. Jumlah ini mencakup 30% dari seluruh anggota DPR. Jabatan-jabatan ini diperoleh melalui proses pemilihan, namun sering kali dipengaruhi oleh hubungan keluarga yang mengakibatkan perputaran kekuasaan cenderung diwariskan, bukan melalui kompetisi demokratis yang sehat. Upaya regenerasi dengan jalur dinasti memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kontinuitas politik dengan tujuan agar tetap berkuasa sehingga dapat menyembunyikan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang terjadi. Dengan mengendalikan pemerintahan dari generasi ke generasi, mereka bisa menghindari penindakan hukum yang mungkin muncul jika kekuasaan beralih ke pihak lain. Dampaknya, para pejabat dan keluarganya memperoleh manfaat besar, seperti keuntungan finansial dari praktik korupsi, akses lebih mudah terhadap kebijakan yang menguntungkan kelompoknya, serta kestabilan politik untuk melindungi diri dari ancaman hukum atau oposisi.

Dinasti politik sering kali dimanfaatkan oleh kelompok pejabat untuk melanggengkan praktik korupsi secara berkelanjutan. Hal ini terbukti dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dari dinasti politik di berbagai daerah di Indonesia. Di Banten, Gubernur Ratu Atut Chosiyah dijatuhi vonis tujuh tahun atas korupsi pengadaan alat kesehatan, sementara adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, juga terlibat. Di Klaten, Bupati Sri Hartini menerima suap terkait promosi jabatan, dengan hukuman 11 tahun, sedangkan suaminya, mantan Bupati Haryanto Wibowo, juga terseret kasus korupsi. Di Cimahi, pasangan suami istri M Itoch Tochija dan Atty Suharti dipidana atas suap proyek pembangunan, masing-masing tujuh dan empat tahun. Di Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi dihukum empat tahun karena suap perizinan pembangunan, setelah ayahnya, Aat Syafaat, juga terbukti korupsi. Di Kendari, mantan Wali Kota Asrun dan putranya, Adriatma Dwi Putra, dijatuhi vonis empat tahun atas suap proyek. Di Probolinggo, Bupati Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin, terlibat jual beli jabatan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2021. Dengan banyaknya kasus-kasus yang telah terjadi, sudah semestinya kita sadar dinasti politik merupakan sesuatu yang sangat buruk dan merugikan negara.

Dinasti politik dalam era modern ini terlihat mustahil untuk diberantas. Hal ini dapat dipahami dengan kacamata teori hukum besi oligarki (iron law of oligarchy) oleh Robert Michels yang menyatakan bahwa seiring waktu semua sistem politik cenderung berkembang menjadi oligarki, tidak peduli seberapa demokratis pun pada awalnya. Itulah kenyataan saat ini, dapat kita lihat bahwa hukum dikendalikan oleh mereka yang memiliki ikatan kekeluargaan, dominasi ekonomi, dan kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Bukti nyata dari hal tersebut dapat dilihat dalam peningkatan dinasti politik di Indonesia. Hingga tahun 2020, persentase dinasti politik meningkat sebesar 14,78%, mencakup 80 dari 541 wilayah, fenomena ini terus berlanjut setiap tahun setelah pelaksanaan Pilkada. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik dinasti politik semakin mengakar kuat dalam sistem politik nasional.

Implikasi dari dinasti politik terhadap demokrasi Indonesia sangat serius. Pertama, dinasti politik mempersempit ruang untuk kritik dan pengawasan terhadap pejabat publik. Check and balances yang seharusnya ada dalam sistem demokrasi melemah ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir keluarga. Kedua, calon dari dinasti politik memiliki keuntungan yang tidak adil dalam pemilu, karena mereka sudah memiliki pengaruh, sumber daya, dan akses yang lebih besar. Hal ini membuat calon-calon yang kurang modal atau dukungan politik sulit bersaing. Ketiga, dinasti politik juga mengindikasikan kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi. Alih-alih mengedepankan calon yang kompeten, partai cenderung memilih figur populer yang memiliki hubungan keluarga dengan elite politik.

Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa DPR adalah cerminan rakyatnya di mana rakyat Indonesia sendiri dalam berbagai tingkatan masyarakat masih banyak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang paham akan pentingnya menjaga nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan Pancasila sudah semestinya untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya hukum dan pemerintahan yang ada di Indonesia. Melalui kegiatan advokasi, edukasi publik, dan penggunaan media sosial, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat, menanamkan nilai-nilai kejujuran, amanah, dan integritas dalam politik Indonesia. Dengan peran aktif mahasiswa, diharapkan masyarakat Indonesia dapat lebih cerdas dalam memilih pemimpin yang tidak hanya berasal dari keluarga elite politik, tetapi juga mereka yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi. Hanya dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat berkembang secara lebih sehat dan inklusif, bebas dari cengkeraman dinasti politik.

Referensi:

Gunanto, D. (2020). Tinjauan kritis politik dinasti di Indonesia. Sawala: Jurnal Administrasi Negara8(2), 177-191.

Mohammad Hatta Muarabagja, “Penelusuran ICW: 174 Anggota DPR 2024-2029 Terindikasi Terhubung dengan Dinasti Politik, ” ed. Dwi Arjanto,  https://nasional.tempo.co/read/1924751/penelusuran-icw-174-anggota-dpr-2024-2029-terindikasi-terhubung-dengan-dinasti-politik diakses pada 08 Oktober 2024 pukul 12.35 WIB

Norbertus Arya Dwiangga Martiar, “Dinasti Politik Berujung Korupsi” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/17/dinasti-politik-berujung-korupsi diakses pada 08 Oktober 2024 pukul 13.00 WIB

Rahma, A. A., Oktaviani, A. A., Hofifah, A., Ahda, T. Z., & Nugraha, R. G. (2022). Pengaruh dinasti politik terhadap perkembangan demokrasi Pancasila di Indonesia. Jurnal Kewarganegaraan6(1), 2260-2269.

Ratnasyifa, O. R. (2024). Konstitusi Pemisahan Kekuasaan menurut Polybius. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan1(02).



EmoticonEmoticon