
Dinasti politik merupakan sistem regenerasi kekuasaan yang mengutamakan hubungan kekeluargaan. Sistem ini bertentangan dengan prinsip demokrasi karena seharusnya demokrasi dapat membuka peluang yang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk dapat berpolitik. Berbeda dengan dinasti politik yang cenderung memonopoli kekuasaan dengan memanfaatkan koneksi keluarga yang telah dibangun yang menyebabkan ketidakadilan bagi mereka yang baru berkecimpung dalam dunia politik.
Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan
bahwa 174 anggota DPR RI periode 2024-2029 terindikasi memiliki keterkaitan
dengan dinasti politik, di mana mereka memiliki hubungan keluarga dengan
pejabat atau mantan pejabat di berbagai posisi penting, seperti eksekutif
pusat, legislatif pusat, kepala daerah, dan petinggi partai. Jumlah ini
mencakup 30% dari seluruh anggota DPR. Jabatan-jabatan ini diperoleh melalui
proses pemilihan, namun sering kali dipengaruhi oleh hubungan keluarga yang
mengakibatkan perputaran kekuasaan cenderung diwariskan, bukan melalui
kompetisi demokratis yang sehat. Upaya regenerasi dengan jalur dinasti memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan kontinuitas politik dengan tujuan agar tetap
berkuasa sehingga dapat menyembunyikan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) yang terjadi. Dengan mengendalikan pemerintahan dari generasi ke
generasi, mereka bisa menghindari penindakan hukum yang mungkin muncul jika
kekuasaan beralih ke pihak lain. Dampaknya, para pejabat dan keluarganya
memperoleh manfaat besar, seperti keuntungan finansial dari praktik korupsi,
akses lebih mudah terhadap kebijakan yang menguntungkan kelompoknya, serta
kestabilan politik untuk melindungi diri dari ancaman hukum atau oposisi.
Dinasti politik sering kali dimanfaatkan oleh kelompok pejabat
untuk melanggengkan praktik korupsi secara berkelanjutan. Hal ini terbukti dari
sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dari dinasti politik di berbagai
daerah di Indonesia. Di Banten, Gubernur Ratu Atut Chosiyah dijatuhi vonis tujuh
tahun atas korupsi pengadaan alat kesehatan, sementara adiknya, Tubagus Chaeri
Wardana, juga terlibat. Di Klaten, Bupati Sri Hartini menerima suap terkait
promosi jabatan, dengan hukuman 11 tahun, sedangkan suaminya, mantan Bupati
Haryanto Wibowo, juga terseret kasus korupsi. Di Cimahi, pasangan suami istri M
Itoch Tochija dan Atty Suharti dipidana atas suap proyek pembangunan,
masing-masing tujuh dan empat tahun. Di Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi dihukum empat
tahun karena suap perizinan pembangunan, setelah ayahnya, Aat Syafaat, juga
terbukti korupsi. Di Kendari, mantan Wali Kota Asrun dan putranya, Adriatma Dwi
Putra, dijatuhi vonis empat tahun atas suap proyek. Di Probolinggo, Bupati
Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin, terlibat jual beli jabatan
dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2021. Dengan banyaknya
kasus-kasus yang telah terjadi, sudah semestinya kita sadar dinasti politik merupakan
sesuatu yang sangat buruk dan merugikan negara.
Dinasti politik dalam era modern ini terlihat mustahil untuk
diberantas. Hal ini dapat dipahami dengan kacamata teori hukum besi oligarki (iron
law of oligarchy) oleh Robert Michels yang menyatakan bahwa seiring waktu
semua sistem politik cenderung berkembang menjadi oligarki, tidak peduli
seberapa demokratis pun pada awalnya. Itulah kenyataan saat ini, dapat kita
lihat bahwa hukum dikendalikan oleh mereka yang memiliki ikatan kekeluargaan,
dominasi ekonomi, dan kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Bukti
nyata dari hal tersebut dapat dilihat dalam peningkatan dinasti politik di
Indonesia. Hingga tahun 2020, persentase dinasti politik meningkat sebesar
14,78%, mencakup 80 dari 541 wilayah, fenomena ini terus berlanjut setiap tahun
setelah pelaksanaan Pilkada. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik dinasti
politik semakin mengakar kuat dalam sistem politik nasional.
Implikasi dari dinasti politik terhadap demokrasi Indonesia sangat
serius. Pertama, dinasti politik mempersempit ruang untuk kritik dan pengawasan
terhadap pejabat publik. Check and balances yang seharusnya ada dalam
sistem demokrasi melemah ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir
keluarga. Kedua, calon dari dinasti politik memiliki keuntungan yang tidak adil
dalam pemilu, karena mereka sudah memiliki pengaruh, sumber daya, dan akses
yang lebih besar. Hal ini membuat calon-calon yang kurang modal atau dukungan
politik sulit bersaing. Ketiga, dinasti politik juga mengindikasikan kegagalan
partai politik dalam melakukan kaderisasi. Alih-alih mengedepankan calon yang
kompeten, partai cenderung memilih figur populer yang memiliki hubungan
keluarga dengan elite politik.
Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa DPR adalah cerminan rakyatnya di mana rakyat Indonesia sendiri dalam berbagai tingkatan masyarakat masih banyak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang paham akan pentingnya menjaga nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan Pancasila sudah semestinya untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya hukum dan pemerintahan yang ada di Indonesia. Melalui kegiatan advokasi, edukasi publik, dan penggunaan media sosial, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat, menanamkan nilai-nilai kejujuran, amanah, dan integritas dalam politik Indonesia. Dengan peran aktif mahasiswa, diharapkan masyarakat Indonesia dapat lebih cerdas dalam memilih pemimpin yang tidak hanya berasal dari keluarga elite politik, tetapi juga mereka yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi. Hanya dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat berkembang secara lebih sehat dan inklusif, bebas dari cengkeraman dinasti politik.
Referensi:
Gunanto, D. (2020). Tinjauan
kritis politik dinasti di Indonesia. Sawala: Jurnal Administrasi Negara, 8(2),
177-191.
Mohammad Hatta Muarabagja, “Penelusuran
ICW: 174 Anggota DPR 2024-2029 Terindikasi Terhubung dengan Dinasti Politik, ”
ed. Dwi Arjanto, https://nasional.tempo.co/read/1924751/penelusuran-icw-174-anggota-dpr-2024-2029-terindikasi-terhubung-dengan-dinasti-politik diakses
pada 08 Oktober 2024 pukul 12.35 WIB
Norbertus Arya Dwiangga Martiar,
“Dinasti Politik Berujung Korupsi” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/17/dinasti-politik-berujung-korupsi diakses
pada 08 Oktober 2024 pukul 13.00 WIB
Rahma, A. A., Oktaviani, A. A.,
Hofifah, A., Ahda, T. Z., & Nugraha, R. G. (2022). Pengaruh dinasti politik
terhadap perkembangan demokrasi Pancasila di Indonesia. Jurnal
Kewarganegaraan, 6(1), 2260-2269.
Ratnasyifa, O. R. (2024). Konstitusi
Pemisahan Kekuasaan menurut Polybius. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan, 1(02).
EmoticonEmoticon