Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Thursday, November 28, 2024

Kasus Impor Gula: Penetapan Tersangka Tom Lembong dan Isu Kriminalisasi dalam Ranah Politik

banner


Oleh: Dina Marini

    Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Tom Lembong sebagai mantan Menteri Perdagangan dalam kegiatan importasi gula periode 2015-2023 di Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat. Sebagai figur publik yang memiliki peran besar dalam pengambilan kebijakan ekonomi Indonesia, penetapan tersangka terhadap Lembong mengundang pertanyaan luas termasuk terkait potensi adanya kriminalisasi politik. Indikasi ini muncul karena adanya pola pengungkapan kasus yang sering kali bertepatan dengan momentum politik tertentu, seperti pemilu atau pergantian kabinet yang mengarah pada dugaan bahwa hukum dijadikan alat untuk melemahkan lawan politik. Selain itu sejumlah pengamat mencatat bahwa proses penyelidikan terhadap kasus ini terkesan tidak transparan dan minim penjelasan dari aparat penegak hukum, sehingga memunculkan spekulasi tentang intervensi politik dalam penanganan perkara

    Tom Lembong yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada masa itu, dinilai memegang kendali dalam penentuan kebijakan impor gula yang dituding menyebabkan kerugian negara. Sejak diumumkannya status tersangka ini oleh pihak Kejaksaan Agung, spekulasi dan analisis dari berbagai pihak terus mengemuka. Tidak sedikit yang mempertanyakan apakah kasus ini merupakan murni penegakan hukum atau ada unsur politis yang mewarnainya.

Kronologi Kasus Impor Gula

    Kasus yang menjerat mantan Menteri Perdagangan ini berawal dari kebijakan izin impor gula kristal mentah (GKM) pada tahun 2015. Saat itu Tom Lembong mengeluarkan Persetujuan Impor (PI) untuk PT AP, yang mengizinkan perusahaan tersebut mengimpor 105.000 ton gula kristal mentah guna diolah menjadi gula kristal putih (GKP). Namun, kebijakan ini diduga menyalahi aturan yang berlaku. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 hak impor GKP sebenarnya eksklusif untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan untuk pihak swasta seperti PT AP.

    Dilansir dari Detik News, investigasi Kejaksaan Agung mengungkap bahwa kebijakan impor tersebut diduga menimbulkan pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara hingga lebih dari Rp 400 miliar. Alhasil, Tom Lembong dan rekannya CS yang merupakan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia atau PT PPI, ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi ini. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, yang memiliki ancaman hukuman maksimal hingga penjara seumur hidup. Kejaksaan Agung juga telah menahan keduanya selama 20 hari untuk proses penyidikan lebih lanjut. Tom Lembong saat ini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sementara CS ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.

Dugaan Adanya Kriminalisasi Politik

    Penetapan status tersangka terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula membuka perdebatan mengenai potensi kriminalisasi politik di Indonesia. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yakni Mahfud MD turut berpendapat bahwa wajar apabila ada pihak yang menganggap kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi politik. Menurut Mahfud, kebijakan impor gula yang serupa juga dilakukan oleh Menteri Perdagangan setelah Tom Lembong, bahkan dengan skala yang lebih besar. Beberapa nama yang disebut Mahfud antara lain Enggartiasto Lukito, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, dan Zulkifli Hasan, yang masing-masing turut menerapkan kebijakan impor gula selama masa jabatan mereka.

    Mahfud mempertanyakan mengapa penegakan hukum dimulai dari kasus yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan yang lebih lama, bukan dari mereka yang lebih dekat dalam periode pemerintahan saat ini. Mahfud menilai bahwa persepsi kriminalisasi politik ini adalah hal yang wajar mengingat adanya kebijakan yang serupa oleh menteri-menteri setelahnya, namun tidak mendapat perhatian yang sama dalam konteks penegakan hukum. Analisis Mahfud ini memperkuat anggapan bahwa pemilihan tersangka dalam kasus-kasus tertentu kadang dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik yang berpotensi melemahkan kredibilitas serta independensi penegakan hukum di Indonesia.

    Kriminalisasi politik sendiri memiliki beberapa indikator yang sering menjadi dasar dugaan di antaranya adalah penggunaan pasal yang bersifat karet atau multitafsir, manipulasi bukti, serta tekanan terhadap lembaga peradilan untuk menjatuhkan vonis tertentu. Penggunaan pasal-pasal tertentu seperti pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong juga sering dikritisi karena dinilai membuka ruang untuk interpretasi subjektif yang bisa disalahgunakan.

    Di Indonesia kasus-kasus yang bersinggungan dengan politik sering kali diselimuti oleh keraguan terkait independensi lembaga penegak hukum. Ketika individu yang dianggap berseberangan dengan penguasa atau tokoh yang memiliki basis pendukung besar menjadi target penyelidikan, maka pertanyaan mengenai motif di balik proses hukum tersebut tak dapat dihindarkan.

     Kasus Tom Lembong memberikan kesempatan bagi publik untuk mengamati apakah penegakan hukum di Indonesia telah berjalan independen atau masih rentan terhadap pengaruh politik. Beberapa pakar hukum menilai bahwa transparansi merupakan kunci dalam menangani kasus ini, agar publik bisa yakin bahwa penegakan hukum berjalan sesuai aturan dan tidak ada intervensi dari pihak tertentu. Sebagai figur publik, Lembong menyatakan bahwa dirinya siap untuk membuktikan kebenaran di hadapan hukum. Meskipun demikian, masyarakat mengharapkan adanya transparansi dalam proses penyelidikan ini agar kasus ini tidak sekadar menjadi ajang pertarungan politik atau alat untuk menjatuhkan lawan. Hanya dengan cara tersebut kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia dapat dipertahankan.

    Sebagai mahasiswa yang melek hukum dan bagian dari masyarakat yang peduli akan penegakan keadilan, penting bagi kita untuk memandang kasus ini secara kritis dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Dugaan korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong memang memunculkan pertanyaan mengenai potensi kriminalisasi politik. Namun, tidak dapat disangkal bahwa proses hukum ini juga dapat dilihat sebagai upaya serius penegak hukum dalam menindak praktik-praktik yang berpotensi merugikan negara. Dalam perspektif ini, Kejaksaan Agung berupaya membangun komitmen untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, terlepas dari status atau jabatan yang pernah diemban oleh pihak yang bersangkutan.

Referensi:

Kiki Safitri dan Ihsanudin, “Upaya Perlawanan Tom Lembong dan Sepucuk Surat dari Penjara”, https://nasional.kompas.com/read/2024/11/11/08412391/upaya-perlawanan-tom-lembong-dan-sepucuk-surat-dari-penjara?page=all&utm_source=Google&utm_medium=Newstand&utm_campaign=partner , diakses pada 11 November 2024.

Novianti setuningsih, “Kronologi Kasus Impor Gula dengan Tersabgka Tom Lembong”, https://nasional.kompas.com/read/2024/10/31/05080031/-populer-nasional-kronologi-kasus-impor-gula-dengan-tersangka-tom-lembong?page=all#page2 , diakses pada 11 November 2024.

Diva Rabiah, “Kronologi Kasus Korupsi Tom Lembong Versi Kejaksaan Agung”, https://www.metrotvnews.com/play/kM6Ca5vA-kronologi-kasus-korupsi-tom-lembong-versi-kejaksaan-agung, diakses pada 12 November 2024.

M. Agus Yozami, “Kasus Tom Lembong, Ini Kata Eks Menko Polhukam dan Eks Pimpinan KPK”, https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-tom-lembong--ini-kata-eks-menko-polhukam-dan-eks-pimpinan-kpk-lt672c2f7b27e46/?page=all, diakses pada 11 November 2024.



EmoticonEmoticon