
Kasus dugaan korupsi yang
melibatkan Tom Lembong sebagai mantan Menteri Perdagangan dalam kegiatan
importasi gula periode 2015-2023 di Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjadi
sorotan tajam di tengah masyarakat. Sebagai figur publik yang memiliki peran
besar dalam pengambilan kebijakan ekonomi Indonesia, penetapan tersangka
terhadap Lembong mengundang pertanyaan luas termasuk terkait potensi adanya
kriminalisasi politik. Indikasi ini muncul karena adanya pola pengungkapan
kasus yang sering kali bertepatan dengan momentum politik tertentu, seperti
pemilu atau pergantian kabinet yang mengarah pada dugaan bahwa hukum dijadikan
alat untuk melemahkan lawan politik. Selain itu sejumlah pengamat mencatat
bahwa proses penyelidikan terhadap kasus ini terkesan tidak transparan dan
minim penjelasan dari aparat penegak hukum, sehingga memunculkan spekulasi
tentang intervensi politik dalam penanganan perkara.
Tom Lembong yang menjabat
sebagai Menteri Perdagangan pada masa itu, dinilai memegang kendali dalam
penentuan kebijakan impor gula yang dituding menyebabkan kerugian negara. Sejak
diumumkannya status tersangka ini oleh pihak Kejaksaan Agung, spekulasi dan
analisis dari berbagai pihak terus mengemuka. Tidak sedikit yang mempertanyakan
apakah kasus ini merupakan murni penegakan hukum atau ada unsur politis yang
mewarnainya.
Kronologi Kasus Impor Gula
Kasus yang menjerat mantan Menteri Perdagangan ini berawal dari kebijakan izin impor gula kristal mentah (GKM) pada tahun 2015. Saat itu Tom Lembong mengeluarkan Persetujuan Impor (PI) untuk PT AP, yang mengizinkan perusahaan tersebut mengimpor 105.000 ton gula kristal mentah guna diolah menjadi gula kristal putih (GKP). Namun, kebijakan ini diduga menyalahi aturan yang berlaku. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 hak impor GKP sebenarnya eksklusif untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan untuk pihak swasta seperti PT AP.
Dilansir dari Detik News,
investigasi Kejaksaan Agung mengungkap bahwa kebijakan impor tersebut diduga
menimbulkan pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara hingga lebih dari Rp
400 miliar. Alhasil, Tom Lembong dan rekannya CS yang merupakan Direktur Pengembangan
Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia atau PT PPI, ditetapkan sebagai
tersangka dalam dugaan korupsi ini. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau
Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP,
yang memiliki ancaman hukuman maksimal hingga penjara seumur hidup. Kejaksaan
Agung juga telah menahan keduanya selama 20 hari untuk proses penyidikan lebih
lanjut. Tom Lembong saat ini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan, sementara CS ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.
Dugaan Adanya Kriminalisasi Politik
Penetapan status
tersangka terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula membuka
perdebatan mengenai potensi kriminalisasi politik di Indonesia. Mantan Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yakni Mahfud MD turut
berpendapat bahwa wajar apabila ada pihak yang menganggap kasus ini sebagai
bentuk kriminalisasi politik. Menurut Mahfud, kebijakan impor gula yang serupa
juga dilakukan oleh Menteri Perdagangan setelah Tom Lembong, bahkan dengan
skala yang lebih besar. Beberapa nama yang disebut Mahfud antara lain
Enggartiasto Lukito, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, dan Zulkifli Hasan, yang
masing-masing turut menerapkan kebijakan impor gula selama masa jabatan mereka.
Mahfud mempertanyakan
mengapa penegakan hukum dimulai dari kasus yang melibatkan mantan Menteri
Perdagangan yang lebih lama, bukan dari mereka yang lebih dekat dalam periode
pemerintahan saat ini. Mahfud menilai bahwa persepsi kriminalisasi politik ini
adalah hal yang wajar mengingat adanya kebijakan yang serupa oleh
menteri-menteri setelahnya, namun tidak mendapat perhatian yang sama dalam
konteks penegakan hukum. Analisis Mahfud ini memperkuat anggapan bahwa
pemilihan tersangka dalam kasus-kasus tertentu kadang dapat dipengaruhi oleh
kepentingan politik yang berpotensi melemahkan kredibilitas serta independensi
penegakan hukum di Indonesia.
Kriminalisasi politik
sendiri memiliki beberapa indikator yang sering menjadi dasar dugaan di
antaranya adalah penggunaan pasal yang bersifat karet atau multitafsir,
manipulasi bukti, serta tekanan terhadap lembaga peradilan untuk menjatuhkan
vonis tertentu. Penggunaan pasal-pasal tertentu seperti pencemaran nama baik
atau penyebaran berita bohong juga sering dikritisi karena dinilai membuka
ruang untuk interpretasi subjektif yang bisa disalahgunakan.
Di Indonesia kasus-kasus
yang bersinggungan dengan politik sering kali diselimuti oleh keraguan terkait
independensi lembaga penegak hukum. Ketika individu yang dianggap berseberangan
dengan penguasa atau tokoh yang memiliki basis pendukung besar menjadi target
penyelidikan, maka pertanyaan mengenai motif di balik proses hukum tersebut tak
dapat dihindarkan.
Kasus Tom Lembong
memberikan kesempatan bagi publik untuk mengamati apakah penegakan hukum di
Indonesia telah berjalan independen atau masih rentan terhadap pengaruh
politik. Beberapa pakar hukum menilai bahwa transparansi merupakan kunci dalam
menangani kasus ini, agar publik bisa yakin bahwa penegakan hukum berjalan
sesuai aturan dan tidak ada intervensi dari pihak tertentu. Sebagai figur
publik, Lembong menyatakan bahwa dirinya siap untuk membuktikan kebenaran di
hadapan hukum. Meskipun demikian, masyarakat mengharapkan adanya transparansi
dalam proses penyelidikan ini agar kasus ini tidak sekadar menjadi ajang
pertarungan politik atau alat untuk menjatuhkan lawan. Hanya dengan cara
tersebut kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia dapat
dipertahankan.
Sebagai mahasiswa yang melek hukum dan bagian dari masyarakat yang peduli akan penegakan keadilan, penting bagi kita untuk memandang kasus ini secara kritis dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Dugaan korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong memang memunculkan pertanyaan mengenai potensi kriminalisasi politik. Namun, tidak dapat disangkal bahwa proses hukum ini juga dapat dilihat sebagai upaya serius penegak hukum dalam menindak praktik-praktik yang berpotensi merugikan negara. Dalam perspektif ini, Kejaksaan Agung berupaya membangun komitmen untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, terlepas dari status atau jabatan yang pernah diemban oleh pihak yang bersangkutan.
Referensi:
Kiki Safitri dan Ihsanudin, “Upaya Perlawanan Tom Lembong dan Sepucuk Surat dari Penjara”, https://nasional.kompas.com/read/2024/11/11/08412391/upaya-perlawanan-tom-lembong-dan-sepucuk-surat-dari-penjara?page=all&utm_source=Google&utm_medium=Newstand&utm_campaign=partner , diakses pada 11 November 2024.
Novianti setuningsih, “Kronologi Kasus Impor Gula dengan Tersabgka Tom Lembong”, https://nasional.kompas.com/read/2024/10/31/05080031/-populer-nasional-kronologi-kasus-impor-gula-dengan-tersangka-tom-lembong?page=all#page2 , diakses pada 11 November 2024.
Diva Rabiah, “Kronologi Kasus Korupsi Tom Lembong Versi Kejaksaan Agung”, https://www.metrotvnews.com/play/kM6Ca5vA-kronologi-kasus-korupsi-tom-lembong-versi-kejaksaan-agung, diakses pada 12 November 2024.
M. Agus Yozami, “Kasus Tom Lembong, Ini Kata Eks Menko Polhukam dan Eks Pimpinan KPK”, https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-tom-lembong--ini-kata-eks-menko-polhukam-dan-eks-pimpinan-kpk-lt672c2f7b27e46/?page=all, diakses pada 11 November 2024.
EmoticonEmoticon