Sayyidah Latifah Hamid, Zahra Elisa Siregar, Gita Naura Nashifa
Sepanjang sejarahnya, Israel selalu berselisih dengan
negara-negara tetangga Arab salah satunya kini yang sedang maraknya konflik
antara Israel dengan Palestina. Fenomena kemanusiaan kini yang tengah dibela
oleh jutaan suara manusia di segala penjuru dunia yang mana hal tersebut
tidaklah lagi menjadi suguhan baru. Bahkan
konflik yang terjadi di Palestina saat ini menyangkut berbagai masalah dari
pertempuran agama sampai masalah perebutan teritorial. Tontonan mengerikan ini
sudah dirasakan sejak tahun 1917 lalu yang tidak selesai atau tidak
diselesaikan? Bedanya, hari ini hanya sedang kumat saja. Berawal dari serangan
teror 7
oktober silam oleh pasukan Hamas
yang menguasai Gaza memulai serangan besar-besaran ke kota Tel Aviv, Israel,
kini berakibat pada perang yang berkepanjangan.
Tindakan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity)
ini layak ditujukan kepada israel yang disebut oleh Pakar Hukum Humaniter
Internasional UNAIR sebagai tindakan kampenye sistematis kejahatan manusia.
Berdasarkan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang Perlindungan terhadap
Penduduk Sipil, penduduk sipil seharusnya dikecualikan dari sasaran serangan
ketika perang. Dalam hal ini Israel jelas adalah bentuk pelanggaran Konvensi
Jenewa IV Tahun 1949 Oleh Negara-Negara Yang Berperang dalam beberapa ketentuan
Hukkum Humaniter dan juga melanggar aturan internasional tersebut, karena
berdasarkan data yang dihimpun CNN Indonesia pada 30 Oktober lalu, gempuran Israel berakibat pada sekaratnya warga
Gaza.
Terhitung pada tanggal 7-29 Oktober 2023 sebanyak 8.005
orang tewas dan lebih dari 20.200 orang terluka, terlebih, sebagaian besar
korban adalah warga sipil khususnya perempuan dan anak-anak. Lebih dari itu,
serangan israel juga menyasar Rumah Sakit di Gaza. Jika menurut pada pemicu perang, mungkin secara sepintas terlihat
pihak Palestina lah yang mengawali, yakni berawal dari peluncuran rudal oleh Hamas ke Tel Aviv. Namun,
sebagaimana disampaikan oleh Sekjen PBB, bahwa penyerangan Hamas tersebut tidak
dilakukan dari ruang hampa.
Sudah 106 tahun Palestina mengalami penindasan oleh
Israel. Maka, saat Palestina mengambil sikap untuk membela diri, sangat
memalukan jika ia justru dituduh melakukan upaya teror dan menindas nilai moral
dan kemanusiaan atas rakyat-rakyat Israel. Istilah Gen Z ialah playing
victim.
Melansir dari CNBC Indonesia konflik antara
Israel-Palestina yang selalu merugikan Palestina ini berlangsung lebih dari 100
tahun, tepat sejak 2 November 1917. Lalu
meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab, ini
berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939. Lantas apa yang diberikan
negara-negara berperadaban melalui hukum internasionalnya kepada rakyat
Palestina?
Mengutip dari World History Encyclopedia yang
dikutip dari kumparan, dulunya orang Yahudi menduduki tanah Palestina selama
pemerintahan Kekaisaran Romawi, tepatnya di masa Dinasti Hasmonean. Namun,
setelah ada pemeberontakan kaum Yahudi oleh Bar Kpkhba pada 132-135 M,
orang-orang yahudi dikalahkan Bangsa Romawi dan diusir dari Palestina.
Sejak setelah ini, orang-orang yahudi jadi tidak memiliki
tempat pulang bahkan mereka diperlakukan tidak sepatutnya seperti menerima
penganiayaan dan sikap antisemitisme. Bertolak dari keadaan tersebut, pada abad
ke-19 M, muncullah gerakan zionisme yang beorientasi pada penciptaan negara
yang aman dan merdeka di Palestina oleh orang yahudi.
Hingga pada tahun 1917, Menlu Inggris, Arthur Balfour,
menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, tokoh komunitas
Yahudi Inggris yang isinya pendek namun implikasinya ialah konflik
palestina-israel yang masih berlangsung hingga sekarang.
Yakni surat tersebut memberikan wilayah palestina kepada
kelompok zionis yang merupakan tanah pemenangan inggris. Namun, sebagai warga
pribumi tanah palestina, orang palestina khawatir jika tanah tersebut disita oleh
Inggris dan diserahkan kepada orang yahudi.
Sebagai kelompok yang mendapat janji akan dihormati
kemerdekaan Arab jika mau membantu kerajaan inggris mengusir Turki Ottoman dari
tanah tersebut, Kelompok Arab merasa dikhianati karena pembagian wilayah yang
didasarkan pada perjanjian Sykes-picot yang merugikan mereka. Diperparah dengan
deklarasi Balfour di tahun 1917 tadi. Akibatnya, deklarasi tersebut melahirkan
pemeberontakan arab yang berlangsung pada 1963 hingga 1969 dan pemberontakan
yahudi di tahun 1944 -1948.
Sederet pemberotakan dan perlawanan antara palestina dan
israel terus terjadi hingga sekarang. Dalam pemberontakan tersebut Israel
diawali dengan aksi Palestina yang meminta keadilan atas haknya hingga kemudian
direspon negatif dan justru dianiaya oleh Israel. Israel selalu berusaha
menguasai seluruh wilayah palestina dan mengendalikan warganya. Dalam pemberontakan tersebut juga banyak anak-anak
gaza yang dikorbankan. Dalih lain
menyebutkan aksi yang dilakukan oleh Israel diawali karna adanya peperangan
antar Agama namun kali ini berbeda terlihat Israel sangat ingin menguasai
seluruh wilayah yang berada di Palestina.
Berbicara kemerdekaan Palestina, hal itu masih menjadi
perdebatan di seluruh dunia. Ada 55 dari 193 negara PBB yang belum mengakui
kemerdekaan Palestina. Tahun 1947 terbit Resolusi 181 PBB yang menyerukan
pembagian wilayah palestina agar terbagi menjadi negara arab dan yahudi.
Palestina menolak karena itu akan memberikan 56% wilayahnya kepada yahudi
termasuk 94% wilayah bersejarah dan sebagian besar wilayah subur.
Bagaimana status kemerdekaan Palestina?
Di tahun 1974, Liga Arab telah menunjuk Organisasi
Pembebasan Palestina sebagai wakil sah tunggal rakyat Palestina. Organisasi
tersebut memiliki status sebagai pengamat di PBB sebagai entitas “non-negara”.
PBB memberikan hak bicara tapi tidak dengan hak suara. Setelah deklarasi
kemerdekaan Palestina di tahun 1988 di Aljir oleh Dewan Nasional Palestina dan
Organisasi Pembebasan Palestina, Majelis Umum PBB secara resmi mengakui
proklamasi dan memilih untuk menggunakan sebutan “Palestina” bukan “Organisasi
Pembebasan Palestina”. Hingga 18 Januari 2012, 129 dari 193 negara anggota PBB
mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Namun banyak negara yang tidak
mengakui negara Palestina tetapi mengakui Organisasi Pembebasan Palestina
sebagai wakil rakyat palestina. Dilansir dari CNN per April 2022 yang mana
mengalami peningkatan dari 193 negara anggota PBB, 138 negara yang mengakui
Palestina.
Berbeda dengan dengan kebanyakan negara di dunia yang
mengumumkan kemerdekaannya setelah memperoleh konsensi politik dari negara
penjajah, Palestina mengumumkan eksistensinya bukan karena mendapat konsensi
politik, melainkan untuk mengikat empat juta etnis dalam satu wadah, yakni
Palestina. Dalam pengumuman itu, Palestina juga berencana menjadikan Yerussalem
Timur sebagai ibukota negara.
Pasca deklarasi pada 13 September 1993, antara Israel dan
PLO bersepakat mengakui kedaulatan masing-masing. Pihak Israel memberi
kesempatan Palestina untuk menjalankan sebuah lembaga semi otonom yang bisa
memerintah di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Begitupula pihak Palestina
juga telah mengakui hak negara israel untuk eksis secara aman dan damai. Namun
kesepakatan tersebut tidak lantas membuat keduanya berdamai. Terdapat beberapa
masalah utama yang timbul:
- Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerussalem Timur.
- Keamanan Israel
- Keamanan Palestina
- Hakikat masa depan negara Palestina
- Nasib para pengungsi Palestina
- Kebijakan pemukiman pemerintah israh dan nasib para oenduduk pemukiman
- Kedaulatan terhadap tempat tempat suci di Yerussalem
Masalah-masalah
tersebut yang menimbulkan konflik tak berkesudahan
hingga kini. Berbagai perundingan telah dilakukan untuk upaya perdamaian telah
dilakukan selama bertahun-tahun,
namun perjanjian damai yang langgeng masih sulit dicapai.
Yang terjadi sekarang, atas penyerangan yang dilakukan
Israel terhadap Palestina sudah banyak negara-negara di dunia yang mengecam
tindakan Israel tersebut. Seperti kecaman dari negara-negara arab termasuk juga
Indonesia. Aksi massa juga dilakukan oleh para warga negara barat dalam membela
nilai kemanusiaan yang dilecehkan oleh para zionis.
Sejauh ini upaya yang dilakukan PBB baru melakukan
perundingan-perundingan yang bahkan belum menemukan kesepakatan. Pada 24
Oktober 2023, Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan bersama 15 duta besar
negara untuk membahas kekerasan dan krisis kemanusiaan yang terus meningkat di
Gaza. Pertemuan itu menghasilkan dua resolusi yang diusulkan Rusia dan Brazil,
namun keduanya tidak berhasil.
Faktor yang melatarbelakangi keterhambatan
penyelesaian konflik ini tentu tidak terlepas dengan faktor politik dan
negara-negara di belakang israel yang masih menyuntikkan bantuan. Terlepas dari
tujuan politik dan lainnya yang ada dibelakangnya, yang pasti peperangan ini
menimbulkan keresahan publik di seluruh dunia.
Tindakan yang dilakukan masyarakat saai ini terkhusus
warga Indonesia ialah dukungan secara dzahir dan bathin (doa) atau
materil maupun immateril. Dalam hal materil dapat melakukan kiriman bantuan
berupa uang ataupun barang serta melakukan pemboikotan atas produk-produk yang
dikeluarkan oleh negara yang mendukung Israel salah satunya produk Amerika.
Karena bagi mereka, negara negara tersebut (jika pemboikotan seperti produk McD
berhasil menurunkan pendapatan ekonomi mereka) pasti akan mempertimbangkan
secara dilematis antara menghentikan dukungan kepada Israel atau menjaga
stabilitas ekonomi mereka.
0 comments:
Post a Comment