Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Friday, May 20, 2016

Eksistensi Hukum Adat Perlu Dilestarikan, Oleh: Santi Susanti Ilmu Hukum Semester II



Eksistensi Hukum Adat Perlu Dilestarikan
Oleh: Santi Susanti
Ilmu Hukum Semester II
Juara Penulisan Essay pada PAB Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) 2016
Indonesia adalah suatu wilayah yang di dalamnya terdapat kelompok  masyarakat yang memiliki suatu kebiasaan atau norma-norma (aturan) yang berlaku dalam dinamika kehidupan. Dijadikan  pula sebagai sumber acuan dalam menjalankan kehidupan bermasyarkat. Hukum tersebut kerap kali disebut dengan living law, hukum yang hidup dalam masyarakat dan kemudian dikenal dengan istilah Hukum Adat.
Hukum adat ialah hukum yang ada di lingkungan kehidupan sosial, salah satunya di negara Indonesia. Sumber dari hukum adat itu sendiri adalah berasal dari peraturan-peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dalam suatu masyarakat. Hukum adat bersifat dinamis karena menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Hukum Adat pertama kali dikemukakan oleh seorang Ahli Sastra timur yang berasal dari Belanda, yang bernama Prof. Snouck Hurgrounje pada tahun 1894. Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dahulu kala dikenal dengan istilah ”Adat Recht”. Dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1984 ia menyatakan bahwa hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers. Sedangkan Prof. Nasroe, berpendapat  bahwa adat Minangkabau telah ada di Indonesia sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia. Lalu Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H dalam bukunya menyatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan oleh seorang Ulama di Aceh, bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut adalah buku yang mempunyai nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Hukum adat mengandung beberapa sifat religius-magis, yaitu agar kehidupan masyarakat bisa tetap aman dan tentram, maka setiap masyarakat itu harus percaya terhadap suatu kekuatan yang bersifat gaib, percaya bahwa adanya kesatuan antara dunia gaib dan dunia lahir, serta harus menjauhi hal-hal yang merupakan pantangan untuk diperbuat. Selain itu, hukum adat di Indonesia juga bersifat komunal atau kemasyarakatan, itu karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Hukum adat yang bersifat komunal ini juga kita dituntut untuk menjaga sikap sopan santun, saling menghormati antara sesama anggota masyarakat serta bergotong royong atau tolong menolong agar terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Sumber-sumber hukum adat yaitu adat istiadat (kebiasaan) atau tradisi masyarakat, kebudayaan tradisional, kaidah dari kebudayaan asli Indonesia, perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat, pepatah adat, yurisprudensi adat, dokumen- dokumen yang berlaku saat itu yang berisikan ketentuan-ketentuan, kitab kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-raja, doktrin tentang Hukum adat, serta hasil hasil dari penelitian tentang hukum adat nilai-nilainya yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
Menurut pandangan penulis perihal hukum adat, disamping adanya unifikasi hukum yang berupa hukum positif nasional, namun bagaimanapun juga jangan semena-mena meninggalkan hukum adat dan memaksakan dengan hukum positif, karena hukum adat adalah bagian dari sistem hukum yang dapat berlaku di Indonesia, hukum adat dapat tetap berlaku, karena hukum adat juga merupakan suatu cerminan dari kearifan lokal yang berada di dalam suatu wilayah. Hukum adat juga dapat menyesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia dan selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman, teknologi serta ilmu pengetahuan. Dan adanya pluralisme hukum di Indonesia harus dijadikan pilihan bagi masyarakatnya secara konsisten, bahwa hukum mana yang akan dipakai untuk menyelesaikan suatu masalah.
Menurut Van Sarigy penganut madzhab sejarah hukum yang benar adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi jika hukum adat suatu wilayah masih kental, maka ia boleh mengesampingkan hukum positif. Konstitusi juga memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat apabila memenuhi syarat, yaitu syarat realitas (hukum adat masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat), dan syarat idealitas (hukum adat sesuai dengan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuannya diatur dalam undang-undang). Kecuali jika hukum adat sudah tidak relevan karena bertentangan dengan norma sosial dan hak asasi manusia. Maka hukum adat bisa tidak diberlakukan kembali dengan jalan yang sesuai dengan konstitusi secara hormat, adil dan tertib.
Keberadaan hukum adat dijamin oleh UUD, yaitu terdapat dalam Pasal 32 Ayat 1 dan 2, yang berbungi: Ayat 1: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Ayat 2 : “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Frans Reumi juga mengatakan bahwa meskipun hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam Undang-undang, tetapi masih melekat kuat dalam setiap suku yang ada di Indonesia. Bila kita tidak menjaga hukum adat dengan baik dan benar maka bisa bisa kita atau penerus negeri ini malah beralih kepada modernisasi atau globalisasi yang datang dari negeri lain dan lupa terhadap identitas yang dimilikimya.
Beberapa contoh dari masyarakat yang masih memberlakukan hukum adat yaitu masyarakat Papua, hukum adat di sana  berlaku dalam memecahkan kasus-kasus tertentu, misalnya dalam kasus seseorang yang membunuh orang lain dalam kecelakaan lalu lintas, maka orang tersebut dimintai ganti rugi berbentuk uang dan ternak babi dengan jumlah yang relatif besar sehingga memberatkan pelakunya. Selain itu ada masyarakat Bali yang masih menggunakan hukum adat dengan sisten kasta, atau dalam hal yang berkaitan dengan warisan, contohnya seorang anak laki-laki merupakan ahli waris dalam keluarga, sedangkan anak perempuan hanya berhak menikmati harta peninggalan suami atau orang tuanya. Namun pada tahun 2010 ada perubahan hukum, yaitu anak perempuan juga berhak untuk menerima setengah hak waris. Namun hal itu tidak berlaku lagi jika seorang wanita Bali berpindah agama dari agama yang dianut nenek moyangnya. Contoh lainnya adalah masyarakat adat Minangkabau, dalam hukum adat mereka wanitalah yang mendapatkan warisan utuh. Sedangkan lelaki bertugas untuk merantau untuk mencari harta.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes