Eksistensi
Hukum Adat Perlu Dilestarikan
Oleh: Santi Susanti
Ilmu Hukum Semester II
Juara Penulisan Essay pada PAB Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) 2016
Ilmu Hukum Semester II
Juara Penulisan Essay pada PAB Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) 2016
Indonesia adalah suatu wilayah yang
di dalamnya terdapat kelompok masyarakat
yang memiliki suatu kebiasaan atau norma-norma (aturan) yang berlaku dalam
dinamika kehidupan. Dijadikan pula
sebagai sumber acuan dalam menjalankan kehidupan bermasyarkat. Hukum tersebut
kerap kali disebut dengan living law,
hukum yang hidup dalam masyarakat dan kemudian dikenal dengan istilah Hukum
Adat.
Hukum
adat ialah hukum yang ada di lingkungan kehidupan sosial, salah satunya di
negara Indonesia. Sumber dari hukum adat itu sendiri adalah berasal dari
peraturan-peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta
dipertahankan dalam suatu masyarakat. Hukum adat bersifat dinamis karena
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Hukum Adat pertama kali dikemukakan oleh seorang Ahli Sastra timur yang
berasal dari Belanda, yang bernama Prof. Snouck Hurgrounje pada tahun 1894.
Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dahulu kala dikenal dengan istilah ”Adat Recht”. Dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1984
ia menyatakan bahwa hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers. Sedangkan Prof. Nasroe,
berpendapat bahwa adat Minangkabau telah
ada di Indonesia sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia. Lalu Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H dalam bukunya menyatakan
bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan oleh seorang Ulama di Aceh, bernama
Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun
1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut adalah buku yang mempunyai
nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Hukum adat mengandung beberapa sifat religius-magis, yaitu agar
kehidupan masyarakat bisa tetap aman dan tentram, maka setiap masyarakat itu
harus percaya terhadap suatu kekuatan yang bersifat gaib, percaya bahwa adanya
kesatuan antara dunia gaib dan dunia lahir, serta harus menjauhi hal-hal yang
merupakan pantangan untuk diperbuat. Selain itu, hukum adat di Indonesia juga
bersifat komunal atau kemasyarakatan, itu karena manusia adalah makhluk sosial
yang tidak dapat hidup sendiri. Hukum adat yang bersifat komunal ini juga kita
dituntut untuk menjaga sikap sopan santun, saling menghormati antara sesama
anggota masyarakat serta bergotong royong atau tolong menolong agar terwujudnya
kesejahteraan masyarakat.
Sumber-sumber hukum adat yaitu adat istiadat (kebiasaan) atau tradisi
masyarakat, kebudayaan tradisional, kaidah dari kebudayaan asli Indonesia,
perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat, pepatah adat, yurisprudensi
adat, dokumen- dokumen yang berlaku saat itu yang berisikan
ketentuan-ketentuan, kitab kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-raja,
doktrin tentang Hukum adat, serta hasil hasil dari penelitian tentang hukum
adat nilai-nilainya yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
Menurut pandangan penulis perihal hukum adat, disamping adanya
unifikasi hukum yang berupa hukum positif nasional, namun bagaimanapun juga
jangan semena-mena meninggalkan hukum adat dan memaksakan dengan hukum positif,
karena hukum adat adalah bagian dari sistem hukum yang dapat berlaku di
Indonesia, hukum adat dapat tetap berlaku, karena hukum adat juga merupakan
suatu cerminan dari kearifan lokal yang berada di dalam suatu wilayah. Hukum
adat juga dapat menyesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia dan selalu
beradaptasi dengan perkembangan zaman, teknologi serta ilmu pengetahuan. Dan
adanya pluralisme hukum di Indonesia harus dijadikan pilihan bagi masyarakatnya
secara konsisten, bahwa hukum mana yang akan dipakai untuk menyelesaikan suatu
masalah.
Menurut Van Sarigy penganut madzhab sejarah hukum yang benar adalah
hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi jika hukum adat suatu wilayah masih
kental, maka ia boleh mengesampingkan hukum positif. Konstitusi juga memberikan
jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat apabila memenuhi syarat, yaitu
syarat realitas (hukum adat masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat), dan syarat idealitas (hukum adat sesuai dengan prinsip negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuannya diatur dalam undang-undang).
Kecuali jika hukum adat sudah tidak relevan karena bertentangan dengan norma
sosial dan hak asasi manusia. Maka hukum adat bisa tidak diberlakukan kembali
dengan jalan yang sesuai dengan konstitusi secara hormat, adil dan tertib.
Keberadaan hukum adat dijamin oleh UUD, yaitu terdapat dalam Pasal 32
Ayat 1 dan 2, yang berbungi: Ayat 1: “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Ayat 2 : “Negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Frans Reumi juga mengatakan bahwa meskipun hukum adat merupakan hukum
yang tidak tertulis di dalam Undang-undang, tetapi masih melekat kuat dalam
setiap suku yang ada di Indonesia. Bila kita tidak menjaga hukum adat dengan
baik dan benar maka bisa bisa kita atau penerus negeri ini malah beralih kepada
modernisasi atau globalisasi yang datang dari negeri lain dan lupa terhadap
identitas yang dimilikimya.
Beberapa contoh dari masyarakat yang masih memberlakukan hukum adat
yaitu masyarakat Papua, hukum adat di sana berlaku dalam memecahkan kasus-kasus tertentu,
misalnya dalam kasus seseorang yang membunuh orang lain dalam kecelakaan lalu
lintas, maka orang tersebut dimintai ganti rugi berbentuk uang dan ternak babi
dengan jumlah yang relatif besar sehingga memberatkan pelakunya. Selain itu ada
masyarakat Bali yang masih menggunakan hukum adat dengan sisten kasta, atau
dalam hal yang berkaitan dengan warisan, contohnya seorang anak laki-laki
merupakan ahli waris dalam keluarga, sedangkan anak perempuan hanya berhak
menikmati harta peninggalan suami atau orang tuanya. Namun pada tahun 2010 ada
perubahan hukum, yaitu anak perempuan juga berhak untuk menerima setengah hak
waris. Namun hal itu tidak berlaku lagi jika seorang wanita Bali berpindah
agama dari agama yang dianut nenek moyangnya. Contoh lainnya adalah masyarakat
adat Minangkabau, dalam hukum adat mereka wanitalah yang mendapatkan warisan
utuh. Sedangkan lelaki bertugas untuk merantau untuk mencari harta.
0 comments:
Post a Comment