Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sunday, June 7, 2015

Ironi Negara Hukum Indonesia


Negara Indonesia adalah Negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konstitusi kita yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Eksistensi sebuah Negara hukum Indonesia mengharuskan setiap aspek tindakan baik pemerintah maupun warga negaranya harus berdasarkan hukum. Dalam hal ini setiap warga negara tanpa kecuali berkedudukan sama di depan hukum (the equality before the law). Hukum diharapkan mampu menyelesaikan problematika yang terjadi baik dalam masyarakat maupun Negara. Seperti itulah idealnya suatu Negara hukum.
Implementasi Negara hukum pada konkretnya saat ini mengalami banyak sekali penyimpangan sehingga mengakibatkan krisis kepercayaan dari masyarakat. Salah satu penyumbang terbesar dari krisis kepercayaan ini adalah dari para penegak hukumnya. Padahal penegak hukum merupakan salah satu unsur pokok dalam suatu sistem hukum sebagai legal structure. Tentu hal ini menimbulkan akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum karena tujuan hukum yang sesungguhnya tidak tercapai dan tidak sesuai dengan apa yang menjadi prinsip dasar suatu Negara hukum.
Para pencari keadilan yang notabenenya adalah rakyat biasa sering dibuat frustasi karena para penegak hukum di Indonesia malah lebih memihak kepada kalangan yang berduit saja. Hukum di Indonesia diibaratkan layaknya jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan kecil saja sedangkan hewan besar malah merusak jaring tersebut. Inilah yang menjadi ironi dimana Indonesia sebagai Negara hukum belum bisa memberikan keadilan pada warganya. Banyak sekali contoh konkret seperti dalam penanganan kasus korupsi dimana sanksi yang dijatuhkan belum setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Bahkan apabila kasus korupsi tersebut melibatkan ‘orang besar’ tidak sedikit yang berujung pada ketidakjelasan dalam proses hukumnya, atau berakhir pada pengenaan pidana yang tergolong ringan bahkan putusan bebas. Proses penegakkan hukum yang seperti inilah yang justru menumbuhsuburkan korupsi di Negara ini karena hukum dinilai tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Contoh lain yang sangat kontra adalah kasus nenek Asyani dimana kasus ini hanyalah salah satu cerita dari berbagai kasus hukum di Indonesia. Betapa lemahnya rakyat kecil mencari keadilan hukum. Tuduhan pencurian kayu jati kepada nenek Asyani oleh pihak Perhutani sebagai bentuk dari ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil dan mencederai hakikat keadilan hukum di Indonesia sehingga apa yang sering kita sebut dengan ketidakadilan semakin nyata, ketika alat-alat negara memperlakuan warganya dengan semena-mena. Bangsa Indonesia dihadapkan pada kenyataan banyaknya perkara yang melibatkan rakyat kecil dalam persoalan hukum. Kasus yang melibatkan orang miskin dalam berbagai kasus, seperti penggusuran, kriminalisasi, penyerobotan tanah, dan haknya. Asas peradilan yang katanya sederhana, cepat dan murah pun hanya menjadi slogan dan malah berkebalikan.
Contoh di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih belum mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hukum dan peradilan justru lebih banyak dimainkan oleh kaum elit dan politikus. Apabila di kembalikan lagi pada konsep Negara hukum, jelas Indonesia masih perlu banyak berbenah untuk benar-benar mampu mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Hal inilah yang membuat masyarakat merasa tidak puas dengan penegakkan hukum yang berlaku di Indonesia sehingga masyarakat memilih untuk menggunakan aturan sendiri yaitu dengan main hakim sendiri (eigenrechting). Lagi-lagi ini merupakan ironi bagi sebuah Negara Hukum yang seharusnya memiliki kekuatan untuk menjamin penegakkan hukum. Rakyat baik secara individu maupun massal ‘mengadili’ pelaku yang dianggap meresahkan masyarakat. Pada umumnya tindakan main hakim sendiri hanya didasarkan pada perasaan emosional sesaat tanpa adanya kompromi. Mereka, dalam hal ini adalah masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri mengabaikan aparat penegak hukum yang seharusnya lebih berwenang dalam menangani hal tersebut, tetapi hal ini muncul atas ketidakpuasan masyarakat terhadap aparat. Contoh nyata dari tindakan main hakim sendiri misalnya aksi pembakaran hidup-hidup pada pelaku begal motor di daerah Depok yang mengakibatkan pelaku tewas akibat dihajar dan dibakar massa. Hal ini seharusnya tidak dibenarkan dalam hukum, karena walau bagaimana pun, Polisi lebih berwenang untuk menangani kasus begal motor yang memang telah meresahkan warga, akan tetapi kenapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya karena masyarakat telah geram dengan aksi kawanan begal yang begitu meresahkan tetapi, pihak kepolisian belum memberikan tindakan preventif kepada warga. Tindakan semacam ini akan sangat berpeluang ke depannya apabila masyarakat memang masih merasa belum terlindungi oleh hukum, yang seharusnya bisa menjangkau pada masyarakat bawah. Dan akan memungkinkan berbuntut pada masalah hukum yang lebih pelik.

Mengungkap berbagai polemik hukum di Indonesia memang tidak akan ada habisnya, tetapi yang lebih penting adalah solusi untuk mengatasi persoalan hukum yang tentunya harus dimulai dari pembenahan system pendidikan dan pemahaman hukum kepada masyarakat Indonesia. Selain itu, para penegak hukum juga harus bisa bersikap adil dan tidak hanya berlaku sebagai corong undang-undang, terutama bagi hakim yang harus bisa menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Prinsip restorative justice merupakan pandangan hukum yang bisa dijadikan penyeimbang perspektif positivistik hukum yang berbekal undang-undang. Pada intinya suatu sistem hukum akan berjalan sebagaimana mestinya apabila pemenuhan unsurnya bisa berjalan beriringan yaitu antara substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang membentuk suatu sinergi sehingga kekuatan hukum bisa dirasakan oleh semua elemen baik masyarakat maupun Negara. Hari Nugraheni / 13340083 @PR_PSKH

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes