Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Monday, January 15, 2024

MENGURAI KONFLIK ROHINGYA DAN DUGAAN ADANYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TPPO)

 Nur Fauziyah Laili, Hoirul Anam, Nanda Nabilah Islamiyah

Konflik Rohingya di Myanmar merupakan salah satu konflik etnis paling kontroversial di dunia. Sejarah konflik ini dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial, ketika pemerintah kolonial Inggris membawa pekerja asing ke wilayah Arakan, yang saat itu merupakan bagian dari India Britania. Setelah kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948, kelompok etnis Rohingya menjadi sasaran diskriminasi oleh pemerintah militer dan dinyatakan sebagai “orang asing” tanpa kewarganegaraan, memicu ketegangan antar etnis di wilayah tersebut.

Dalam konteks kondisi sosial, politik, dan ekonomi Myanmar, kelompok Rohingya menghadapi tantangan besar. Diskriminasi ini mencakup akses terbatas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Kebijakan pemerintah yang membatasi kebebasan bergerak dan berkeluarga, bersama dengan seringnya menjadi korban kekerasan dan kecelakaan, semakin memperparah situasi mereka. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan tidak aman, mendorong banyak dari mereka untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga, terutama Bangladesh.

Dampak global dari konflik Rohingya terasa luas, dengan masyarakat internasional mengutuk keras pelanggaran hak asasi manusia yang berulang kali terjadi. Negara dan organisasi internasional terlibat aktif dalam upaya penyelesaian konflik, baik melalui bantuan kemanusiaan maupun tekanan politik terhadap pemerintah Myanmar. Anggota PBB dan negara-negara berupaya untuk mendorong pemerintah Myanmar mengakhiri diskriminasi terhadap Rohingya dan mengakui hak-hak kewarganegaraan mereka.

Dalam menangani konflik Rohingya, kerja sama antara pihak-pihak terkait, termasuk negara-negara tetangga dan lembaga internasional, menjadi krusial. Upaya bersama perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi Rohingya. Selain itu, diperlukan dorongan terus-menerus kepada pemerintah Myanmar untuk menerapkan kebijakan reformasi yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia. Diplomasi dan advokasi global juga menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik ini secara berkelanjutan dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Rohingya

Konflik Rohingya di Myanmar telah menyebabkan gelombang pengungsi Rohingya mencari perlindungan di berbagai negara, termasuk di Aceh, Indonesia. Kedatangan para imigran Rohingya di beberapa negara Asia khususnya Indonesia didasarkan atas keterikatan Negara Indonesia pada Refugee Convention 1951 yang mengatur tentang status pengungsi. Dengan demikian, pemerintah Indonesia melalui Tentara Nasional Indonesia melakukan operasi militer selain perang dalam bentuk bantuan pertahanan dan pemberian pertolongan terhadap para pengungsi Rohingya.  Namun, keterlibatan Negara Indonesia pada Refugee Convention 1951 juga berpotensi sebagai indikator terjadinya upaya perdagangan manusia para migran Rohingya sebab dikhawatirkan adanya dugaan negara Indonesia hanya sebagai tujuan transit para migran Rohingya untuk menuju ke negara tujuan, terutama pada orang-orang yang melarikan diri dari pengawasan Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian situasi para pengungsi Rohingya di Aceh juga terkait dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang mengintensifkan penderitaan mereka. Para pengungsi Rohingya di Aceh diduga menjadi korban TPPO akibat ulah oknum yang menjanjikan kehidupan mereka yang lebih baik dengan ketidakseimbangan uang dari orang Bangladesh.

Sejatinya jika melihat situasi pada lima tahun terakhir, pada tahun 2020 terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) telah diketahui oleh Tentara Nassioanl Indonesia dimana Kodim 0103 Aceh Utara telah mengamankan tersangka seorang wanita yang terlibat dalam jaringan perdagangan manusia dan mengaku diberi upah sebesar Rp 1 juta/kepala. Selain itu Tentara Nasional Indonesia juga pernah menghadang upaya 14 etnis Rohingya yang berusaha melarikan diri dari tempat pengungsian mserta melakukan penahanan terhadap delapan orang yang dituduh melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ilegal yang diduga mengangkut imigran Rohingya dari Aceh.

Berdasarkan pemaparan di atas, migrasi massal yang dipicu oleh konflik di Myanmar sejatinya telah menyebabkan kondisi rentan bagi kelompok Rohingya terhadap eksploitasi. Mereka yang terpinggirkan dan tanpa perlindungan hukum yang memadai menjadi sasaran empuk bagi jaringan perdagangan manusia. Dugaan TPPO ini memunculkan pertanyaan kritis tentang bagaimana ketidakstabilan politik dan ketidakamanan di Myanmar menciptakan peluang bagi perdagangan manusia, terutama ketika terlibat dengan dinamika konflik etnis yang terus berlanjut.

Faktor-faktor yang mendorong atau memperparah TPPO dalam konflik Rohingya melibatkan kombinasi kondisi eksternal dan internal. Ketidakstabilan politik dan ketidakamanan di Myanmar menciptakan celah bagi jaringan kriminal, sementara ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan, dan kebijakan diskriminatif membuat kelompok Rohingya rentan terhadap perangkap TPPO.

Meskipun tantangannya besar, terdapat upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk menanggulangi dan melindungi korban TPPO di kalangan Rohingya. Organisasi kemanusiaan dan lembaga internasional telah berkolaborasi untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban TPPO. Langkah-langkah legislatif dan pengawasan yang lebih ketat di tingkat nasional dan internasional dirancang untuk mengekang jaringan TPPO.

Dalam konteks ini, pemahaman mendalam terhadap hubungan antara TPPO dan konflik Rohingya adalah langkah krusial untuk mengatasi masalah ini secara efektif. Diperlukan kerja sama lintas negara dan upaya bersama dari komunitas internasional untuk menciptakan solusi berkelanjutan yang menghilangkan akar permasalahan dan memberikan perlindungan kepada kelompok Rohingya yang terus menderita di tengah konflik yang rumit ini.

Implikasi Global dan Upaya Penyelesaian: Tindakan UNHCR dalam Konteks Konflik Rohingya dan TPPO

Konflik Rohingya di Myanmar dan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyertainya tidak hanya menciptakan dampak lokal yang mengerikan, tetapi juga mengguncang stabilitas regional dan merambah ke ranah hubungan internasional. Dalam situasi ini, peran lembaga internasional seperti UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) menjadi sangat krusial dalam merespons dan menanggulangi kompleksitas konflik dan kejahatan terorganisir.

Implikasi global dari konflik Rohingya dan dugaan TPPO menciptakan gelombang ketidakstabilan yang merembet ke seluruh kawasan. Pelarian massal Rohingya ke negara-negara tetangga, seperti Bangladesh dan Aceh, menimbulkan tekanan besar pada stabilitas regional. Negara-negara di kawasan ini menjadi pihak yang langsung terlibat dalam menanggapi dampak kemanusiaan dan sosial dari konflik tersebut.

Dalam konteks hubungan internasional, tekanan yang diterima oleh negara-negara tetangga yang menjadi tempat perlindungan bagi pengungsi Rohingya dapat memicu ketegangan diplomatik dan krisis regional. Konflik ini menjadi sorotan global, memperkuat urgensi komunitas internasional untuk berkolaborasi dalam menanggulangi dampaknya dan mencegah eskalasi lebih lanjut.

Komunitas internasional, melalui lembaga-lembaga seperti UNHCR, memainkan peran penting dalam menangani konflik Rohingya dan dugaan TPPO. UNHCR berfungsi sebagai agen utama PBB yang bertanggung jawab untuk melindungi dan membantu pengungsi di seluruh dunia. Dalam konteks konflik Rohingya, UNHCR berperan dalam memberikan bantuan kemanusiaan, melibatkan diri dalam pemantauan hak asasi manusia, dan memobilisasi sumber daya internasional untuk merespons krisis.

Organisasi non-pemerintah dan lembaga hak asasi manusia juga turut serta dalam upaya menanggulangi konflik dan TPPO. Mereka memberikan bantuan langsung kepada korban, mengumpulkan data dan bukti terkait dugaan TPPO, serta memberikan tekanan politik kepada pemerintah-pemerintah yang terlibat.

Untuk mengatasi konflik Rohingya dan mencegah tindakan TPPO di masa depan, beberapa rekomendasi dan solusi dapat diajukan. Pertama, diperlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah Myanmar, negara-negara tetangga, dan komunitas internasional. Dialog diplomatik harus diperkuat untuk mendorong pemerintah Myanmar mengakui hak-hak kewarganegaraan Rohingya dan mengimplementasikan kebijakan inklusif. Kedua, sebagai negara yang memiliki keterikatan terhadap Refugee Convention 1951, para imigran atau pencari suaka harus tetap diberikan perlindungan Hak Asasi Manusia yang lebih umum berdasarkan prinsip non-refoulment sebagai pondasi utama dari Refugee Convention 1951, meskipun imigran atau pencari suaka tersebut masuk ke dalam suatu negara secara ilegal, proses penegakan hukum terhadap mereka tidak boleh membahayakan hak-haknya. Ketiga, upaya pencegahan TPPO perlu ditingkatkan melalui peningkatan pengawasan perbatasan, kerja sama antar lembaga internasional, dan penegakan hukum yang lebih ketat. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat juga penting untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan kelompok rentan terhadap TPPO. Dalam hal ini, UNHCR dapat memimpin koordinasi upaya internasional, memobilisasi sumber daya untuk penanganan pengungsi, dan memberikan panduan teknis dalam melibatkan pihak-pihak terkait. Solusi jangka panjang harus melibatkan pembangunan berkelanjutan di wilayah konflik, dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat dan penciptaan kondisi yang mendukung kesejahteraan bersama. Melalui upaya bersama dari UNHCR, komunitas internasional, dan lembaga-lembaga terkait, harapannya adalah dapat mencapai solusi yang berkelanjutan, mengurangi dampak konflik, dan mencegah TPPO di masa depan.

Dalam konteks kondisi sosial, politik, dan ekonomi Myanmar, kelompok Rohingya menghadapi diskriminasi sistemik yang menciptakan lingkungan tidak stabil, memaksa banyak dari mereka untuk melarikan diri ke negara tetangga. Dampak global dari konflik ini merangsang respons aktif masyarakat internasional dan organisasi, seperti PBB dan UNHCR, yang berupaya menanggulangi situasi kemanusiaan. Tindakan TPPO terkait dengan pengungsi Rohingya di Aceh menunjukkan kompleksitas konflik dan risiko eksploitasi terhadap kelompok yang rentan. Meskipun tantangan besar, upaya kolaboratif dan tekanan internasional terus dilakukan untuk memberikan perlindungan, mencegah TPPO, dan mendorong reformasi inklusif di Myanmar. Dengan harapan dapat mencapai penyelesaian berkelanjutan dan adil, esai ini menyoroti urgensi kerja sama lintas negara dan pentingnya peran lembaga internasional seperti UNHCR dalam menanggulangi dampak global dari konflik Rohingya dan TPPO.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes