Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pelatihan Sidang Semu
Pengikutsertaan Lomba
Pelantikan Pengurus
Kunjungan Jurnalistik
Launching Jurnal

Monday, January 15, 2024

MENGURAI KONFLIK ROHINGYA DAN DUGAAN ADANYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TPPO)

 Nur Fauziyah Laili, Hoirul Anam, Nanda Nabilah Islamiyah

Konflik Rohingya di Myanmar merupakan salah satu konflik etnis paling kontroversial di dunia. Sejarah konflik ini dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial, ketika pemerintah kolonial Inggris membawa pekerja asing ke wilayah Arakan, yang saat itu merupakan bagian dari India Britania. Setelah kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948, kelompok etnis Rohingya menjadi sasaran diskriminasi oleh pemerintah militer dan dinyatakan sebagai “orang asing” tanpa kewarganegaraan, memicu ketegangan antar etnis di wilayah tersebut.

Dalam konteks kondisi sosial, politik, dan ekonomi Myanmar, kelompok Rohingya menghadapi tantangan besar. Diskriminasi ini mencakup akses terbatas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Kebijakan pemerintah yang membatasi kebebasan bergerak dan berkeluarga, bersama dengan seringnya menjadi korban kekerasan dan kecelakaan, semakin memperparah situasi mereka. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan tidak aman, mendorong banyak dari mereka untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga, terutama Bangladesh.

Dampak global dari konflik Rohingya terasa luas, dengan masyarakat internasional mengutuk keras pelanggaran hak asasi manusia yang berulang kali terjadi. Negara dan organisasi internasional terlibat aktif dalam upaya penyelesaian konflik, baik melalui bantuan kemanusiaan maupun tekanan politik terhadap pemerintah Myanmar. Anggota PBB dan negara-negara berupaya untuk mendorong pemerintah Myanmar mengakhiri diskriminasi terhadap Rohingya dan mengakui hak-hak kewarganegaraan mereka.

Dalam menangani konflik Rohingya, kerja sama antara pihak-pihak terkait, termasuk negara-negara tetangga dan lembaga internasional, menjadi krusial. Upaya bersama perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi Rohingya. Selain itu, diperlukan dorongan terus-menerus kepada pemerintah Myanmar untuk menerapkan kebijakan reformasi yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia. Diplomasi dan advokasi global juga menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik ini secara berkelanjutan dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Rohingya

Konflik Rohingya di Myanmar telah menyebabkan gelombang pengungsi Rohingya mencari perlindungan di berbagai negara, termasuk di Aceh, Indonesia. Kedatangan para imigran Rohingya di beberapa negara Asia khususnya Indonesia didasarkan atas keterikatan Negara Indonesia pada Refugee Convention 1951 yang mengatur tentang status pengungsi. Dengan demikian, pemerintah Indonesia melalui Tentara Nasional Indonesia melakukan operasi militer selain perang dalam bentuk bantuan pertahanan dan pemberian pertolongan terhadap para pengungsi Rohingya.  Namun, keterlibatan Negara Indonesia pada Refugee Convention 1951 juga berpotensi sebagai indikator terjadinya upaya perdagangan manusia para migran Rohingya sebab dikhawatirkan adanya dugaan negara Indonesia hanya sebagai tujuan transit para migran Rohingya untuk menuju ke negara tujuan, terutama pada orang-orang yang melarikan diri dari pengawasan Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian situasi para pengungsi Rohingya di Aceh juga terkait dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang mengintensifkan penderitaan mereka. Para pengungsi Rohingya di Aceh diduga menjadi korban TPPO akibat ulah oknum yang menjanjikan kehidupan mereka yang lebih baik dengan ketidakseimbangan uang dari orang Bangladesh.

Sejatinya jika melihat situasi pada lima tahun terakhir, pada tahun 2020 terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) telah diketahui oleh Tentara Nassioanl Indonesia dimana Kodim 0103 Aceh Utara telah mengamankan tersangka seorang wanita yang terlibat dalam jaringan perdagangan manusia dan mengaku diberi upah sebesar Rp 1 juta/kepala. Selain itu Tentara Nasional Indonesia juga pernah menghadang upaya 14 etnis Rohingya yang berusaha melarikan diri dari tempat pengungsian mserta melakukan penahanan terhadap delapan orang yang dituduh melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ilegal yang diduga mengangkut imigran Rohingya dari Aceh.

Berdasarkan pemaparan di atas, migrasi massal yang dipicu oleh konflik di Myanmar sejatinya telah menyebabkan kondisi rentan bagi kelompok Rohingya terhadap eksploitasi. Mereka yang terpinggirkan dan tanpa perlindungan hukum yang memadai menjadi sasaran empuk bagi jaringan perdagangan manusia. Dugaan TPPO ini memunculkan pertanyaan kritis tentang bagaimana ketidakstabilan politik dan ketidakamanan di Myanmar menciptakan peluang bagi perdagangan manusia, terutama ketika terlibat dengan dinamika konflik etnis yang terus berlanjut.

Faktor-faktor yang mendorong atau memperparah TPPO dalam konflik Rohingya melibatkan kombinasi kondisi eksternal dan internal. Ketidakstabilan politik dan ketidakamanan di Myanmar menciptakan celah bagi jaringan kriminal, sementara ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan, dan kebijakan diskriminatif membuat kelompok Rohingya rentan terhadap perangkap TPPO.

Meskipun tantangannya besar, terdapat upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk menanggulangi dan melindungi korban TPPO di kalangan Rohingya. Organisasi kemanusiaan dan lembaga internasional telah berkolaborasi untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban TPPO. Langkah-langkah legislatif dan pengawasan yang lebih ketat di tingkat nasional dan internasional dirancang untuk mengekang jaringan TPPO.

Dalam konteks ini, pemahaman mendalam terhadap hubungan antara TPPO dan konflik Rohingya adalah langkah krusial untuk mengatasi masalah ini secara efektif. Diperlukan kerja sama lintas negara dan upaya bersama dari komunitas internasional untuk menciptakan solusi berkelanjutan yang menghilangkan akar permasalahan dan memberikan perlindungan kepada kelompok Rohingya yang terus menderita di tengah konflik yang rumit ini.

Implikasi Global dan Upaya Penyelesaian: Tindakan UNHCR dalam Konteks Konflik Rohingya dan TPPO

Konflik Rohingya di Myanmar dan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyertainya tidak hanya menciptakan dampak lokal yang mengerikan, tetapi juga mengguncang stabilitas regional dan merambah ke ranah hubungan internasional. Dalam situasi ini, peran lembaga internasional seperti UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) menjadi sangat krusial dalam merespons dan menanggulangi kompleksitas konflik dan kejahatan terorganisir.

Implikasi global dari konflik Rohingya dan dugaan TPPO menciptakan gelombang ketidakstabilan yang merembet ke seluruh kawasan. Pelarian massal Rohingya ke negara-negara tetangga, seperti Bangladesh dan Aceh, menimbulkan tekanan besar pada stabilitas regional. Negara-negara di kawasan ini menjadi pihak yang langsung terlibat dalam menanggapi dampak kemanusiaan dan sosial dari konflik tersebut.

Dalam konteks hubungan internasional, tekanan yang diterima oleh negara-negara tetangga yang menjadi tempat perlindungan bagi pengungsi Rohingya dapat memicu ketegangan diplomatik dan krisis regional. Konflik ini menjadi sorotan global, memperkuat urgensi komunitas internasional untuk berkolaborasi dalam menanggulangi dampaknya dan mencegah eskalasi lebih lanjut.

Komunitas internasional, melalui lembaga-lembaga seperti UNHCR, memainkan peran penting dalam menangani konflik Rohingya dan dugaan TPPO. UNHCR berfungsi sebagai agen utama PBB yang bertanggung jawab untuk melindungi dan membantu pengungsi di seluruh dunia. Dalam konteks konflik Rohingya, UNHCR berperan dalam memberikan bantuan kemanusiaan, melibatkan diri dalam pemantauan hak asasi manusia, dan memobilisasi sumber daya internasional untuk merespons krisis.

Organisasi non-pemerintah dan lembaga hak asasi manusia juga turut serta dalam upaya menanggulangi konflik dan TPPO. Mereka memberikan bantuan langsung kepada korban, mengumpulkan data dan bukti terkait dugaan TPPO, serta memberikan tekanan politik kepada pemerintah-pemerintah yang terlibat.

Untuk mengatasi konflik Rohingya dan mencegah tindakan TPPO di masa depan, beberapa rekomendasi dan solusi dapat diajukan. Pertama, diperlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah Myanmar, negara-negara tetangga, dan komunitas internasional. Dialog diplomatik harus diperkuat untuk mendorong pemerintah Myanmar mengakui hak-hak kewarganegaraan Rohingya dan mengimplementasikan kebijakan inklusif. Kedua, sebagai negara yang memiliki keterikatan terhadap Refugee Convention 1951, para imigran atau pencari suaka harus tetap diberikan perlindungan Hak Asasi Manusia yang lebih umum berdasarkan prinsip non-refoulment sebagai pondasi utama dari Refugee Convention 1951, meskipun imigran atau pencari suaka tersebut masuk ke dalam suatu negara secara ilegal, proses penegakan hukum terhadap mereka tidak boleh membahayakan hak-haknya. Ketiga, upaya pencegahan TPPO perlu ditingkatkan melalui peningkatan pengawasan perbatasan, kerja sama antar lembaga internasional, dan penegakan hukum yang lebih ketat. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat juga penting untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan kelompok rentan terhadap TPPO. Dalam hal ini, UNHCR dapat memimpin koordinasi upaya internasional, memobilisasi sumber daya untuk penanganan pengungsi, dan memberikan panduan teknis dalam melibatkan pihak-pihak terkait. Solusi jangka panjang harus melibatkan pembangunan berkelanjutan di wilayah konflik, dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat dan penciptaan kondisi yang mendukung kesejahteraan bersama. Melalui upaya bersama dari UNHCR, komunitas internasional, dan lembaga-lembaga terkait, harapannya adalah dapat mencapai solusi yang berkelanjutan, mengurangi dampak konflik, dan mencegah TPPO di masa depan.

Dalam konteks kondisi sosial, politik, dan ekonomi Myanmar, kelompok Rohingya menghadapi diskriminasi sistemik yang menciptakan lingkungan tidak stabil, memaksa banyak dari mereka untuk melarikan diri ke negara tetangga. Dampak global dari konflik ini merangsang respons aktif masyarakat internasional dan organisasi, seperti PBB dan UNHCR, yang berupaya menanggulangi situasi kemanusiaan. Tindakan TPPO terkait dengan pengungsi Rohingya di Aceh menunjukkan kompleksitas konflik dan risiko eksploitasi terhadap kelompok yang rentan. Meskipun tantangan besar, upaya kolaboratif dan tekanan internasional terus dilakukan untuk memberikan perlindungan, mencegah TPPO, dan mendorong reformasi inklusif di Myanmar. Dengan harapan dapat mencapai penyelesaian berkelanjutan dan adil, esai ini menyoroti urgensi kerja sama lintas negara dan pentingnya peran lembaga internasional seperti UNHCR dalam menanggulangi dampak global dari konflik Rohingya dan TPPO.

Thursday, November 30, 2023

PALESTINA DAN KEMELUTNYA DENGAN ISRAEL


Sayyidah Latifah Hamid, Zahra Elisa Siregar, Gita Naura Nashifa

Sepanjang sejarahnya, Israel selalu berselisih dengan negara-negara tetangga Arab salah satunya kini yang sedang maraknya konflik antara Israel dengan Palestina. Fenomena kemanusiaan kini yang tengah dibela oleh jutaan suara manusia di segala penjuru dunia yang mana hal tersebut tidaklah lagi menjadi suguhan baru. Bahkan konflik yang terjadi di Palestina saat ini menyangkut berbagai masalah dari pertempuran agama sampai masalah perebutan teritorial. Tontonan mengerikan ini sudah dirasakan sejak tahun 1917 lalu yang tidak selesai atau tidak diselesaikan? Bedanya, hari ini hanya sedang kumat saja. Berawal dari serangan teror 7 oktober silam oleh pasukan Hamas yang menguasai Gaza memulai serangan besar-besaran ke kota Tel Aviv, Israel, kini berakibat pada perang yang berkepanjangan.

Tindakan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) ini layak ditujukan kepada israel yang disebut oleh Pakar Hukum Humaniter Internasional UNAIR sebagai tindakan kampenye sistematis kejahatan manusia. Berdasarkan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang Perlindungan terhadap Penduduk Sipil, penduduk sipil seharusnya dikecualikan dari sasaran serangan ketika perang. Dalam hal ini Israel jelas adalah bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Oleh Negara-Negara Yang Berperang dalam beberapa ketentuan Hukkum Humaniter dan juga melanggar aturan internasional tersebut, karena berdasarkan data yang dihimpun CNN Indonesia pada 30 Oktober lalu, gempuran Israel berakibat pada sekaratnya warga Gaza.

Terhitung pada tanggal 7-29 Oktober 2023 sebanyak 8.005 orang tewas dan lebih dari 20.200 orang terluka, terlebih, sebagaian besar korban adalah warga sipil khususnya perempuan dan anak-anak. Lebih dari itu, serangan israel juga menyasar Rumah Sakit di Gaza.  Jika menurut pada pemicu perang, mungkin secara sepintas terlihat pihak Palestina lah yang mengawali, yakni berawal dari peluncuran rudal oleh Hamas ke Tel Aviv. Namun, sebagaimana disampaikan oleh Sekjen PBB, bahwa penyerangan Hamas tersebut tidak dilakukan dari ruang hampa.

Sudah 106 tahun Palestina mengalami penindasan oleh Israel. Maka, saat Palestina mengambil sikap untuk membela diri, sangat memalukan jika ia justru dituduh melakukan upaya teror dan menindas nilai moral dan kemanusiaan atas rakyat-rakyat Israel. Istilah Gen Z ialah playing victim.

Melansir dari CNBC Indonesia konflik antara Israel-Palestina yang selalu merugikan Palestina ini berlangsung lebih dari 100 tahun, tepat sejak 2 November 1917.  Lalu meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab, ini berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939. Lantas apa yang diberikan negara-negara berperadaban melalui hukum internasionalnya kepada rakyat Palestina?

Mengutip dari World History Encyclopedia yang dikutip dari kumparan, dulunya orang Yahudi menduduki tanah Palestina selama pemerintahan Kekaisaran Romawi, tepatnya di masa Dinasti Hasmonean. Namun, setelah ada pemeberontakan kaum Yahudi oleh Bar Kpkhba pada 132-135 M, orang-orang yahudi dikalahkan Bangsa Romawi dan diusir dari Palestina.

Sejak setelah ini, orang-orang yahudi jadi tidak memiliki tempat pulang bahkan mereka diperlakukan tidak sepatutnya seperti menerima penganiayaan dan sikap antisemitisme. Bertolak dari keadaan tersebut, pada abad ke-19 M, muncullah gerakan zionisme yang beorientasi pada penciptaan negara yang aman dan merdeka di Palestina oleh orang yahudi.

Hingga pada tahun 1917, Menlu Inggris, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, tokoh komunitas Yahudi Inggris yang isinya pendek namun implikasinya ialah konflik palestina-israel yang masih berlangsung hingga sekarang.

Yakni surat tersebut memberikan wilayah palestina kepada kelompok zionis yang merupakan tanah pemenangan inggris. Namun, sebagai warga pribumi tanah palestina, orang palestina khawatir jika tanah tersebut disita oleh Inggris dan diserahkan kepada orang yahudi.

Sebagai kelompok yang mendapat janji akan dihormati kemerdekaan Arab jika mau membantu kerajaan inggris mengusir Turki Ottoman dari tanah tersebut, Kelompok Arab merasa dikhianati karena pembagian wilayah yang didasarkan pada perjanjian Sykes-picot yang merugikan mereka. Diperparah dengan deklarasi Balfour di tahun 1917 tadi. Akibatnya, deklarasi tersebut melahirkan pemeberontakan arab yang berlangsung pada 1963 hingga 1969 dan pemberontakan yahudi di tahun 1944 -1948.

Sederet pemberotakan dan perlawanan antara palestina dan israel terus terjadi hingga sekarang. Dalam pemberontakan tersebut Israel diawali dengan aksi Palestina yang meminta keadilan atas haknya hingga kemudian direspon negatif dan justru dianiaya oleh Israel. Israel selalu berusaha menguasai seluruh wilayah palestina dan mengendalikan warganya. Dalam pemberontakan tersebut juga banyak anak-anak gaza yang dikorbankan.  Dalih lain menyebutkan aksi yang dilakukan oleh Israel diawali karna adanya peperangan antar Agama namun kali ini berbeda terlihat Israel sangat ingin menguasai seluruh wilayah yang berada di Palestina.

Berbicara kemerdekaan Palestina, hal itu masih menjadi perdebatan di seluruh dunia. Ada 55 dari 193 negara PBB yang belum mengakui kemerdekaan Palestina. Tahun 1947 terbit Resolusi 181 PBB yang menyerukan pembagian wilayah palestina agar terbagi menjadi negara arab dan yahudi. Palestina menolak karena itu akan memberikan 56% wilayahnya kepada yahudi termasuk 94% wilayah bersejarah dan sebagian besar wilayah subur.

Bagaimana status kemerdekaan Palestina?

Di tahun 1974, Liga Arab telah menunjuk Organisasi Pembebasan Palestina sebagai wakil sah tunggal rakyat Palestina. Organisasi tersebut memiliki status sebagai pengamat di PBB sebagai entitas “non-negara”. PBB memberikan hak bicara tapi tidak dengan hak suara. Setelah deklarasi kemerdekaan Palestina di tahun 1988 di Aljir oleh Dewan Nasional Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina, Majelis Umum PBB secara resmi mengakui proklamasi dan memilih untuk menggunakan sebutan “Palestina” bukan “Organisasi Pembebasan Palestina”. Hingga 18 Januari 2012, 129 dari 193 negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Namun banyak negara yang tidak mengakui negara Palestina tetapi mengakui Organisasi Pembebasan Palestina sebagai wakil rakyat palestina. Dilansir dari CNN per April 2022 yang mana mengalami peningkatan dari 193 negara anggota PBB, 138 negara yang mengakui Palestina.

Berbeda dengan dengan kebanyakan negara di dunia yang mengumumkan kemerdekaannya setelah memperoleh konsensi politik dari negara penjajah, Palestina mengumumkan eksistensinya bukan karena mendapat konsensi politik, melainkan untuk mengikat empat juta etnis dalam satu wadah, yakni Palestina. Dalam pengumuman itu, Palestina juga berencana menjadikan Yerussalem Timur sebagai ibukota negara.

Pasca deklarasi pada 13 September 1993, antara Israel dan PLO bersepakat mengakui kedaulatan masing-masing. Pihak Israel memberi kesempatan Palestina untuk menjalankan sebuah lembaga semi otonom yang bisa memerintah di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Begitupula pihak Palestina juga telah mengakui hak negara israel untuk eksis secara aman dan damai. Namun kesepakatan tersebut tidak lantas membuat keduanya berdamai. Terdapat beberapa masalah utama yang timbul:

  1. Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerussalem Timur.
  2. Keamanan Israel
  3. Keamanan Palestina
  4. Hakikat masa depan negara Palestina
  5. Nasib para pengungsi Palestina
  6.  Kebijakan pemukiman pemerintah israh dan nasib para oenduduk pemukiman
  7. Kedaulatan terhadap tempat tempat suci di Yerussalem 

Masalah-masalah tersebut yang menimbulkan konflik tak berkesudahan hingga kini. Berbagai perundingan telah dilakukan untuk upaya perdamaian telah dilakukan selama bertahun-tahun, namun perjanjian damai yang langgeng masih sulit dicapai.

Yang terjadi sekarang, atas penyerangan yang dilakukan Israel terhadap Palestina sudah banyak negara-negara di dunia yang mengecam tindakan Israel tersebut. Seperti kecaman dari negara-negara arab termasuk juga Indonesia. Aksi massa juga dilakukan oleh para warga negara barat dalam membela nilai kemanusiaan yang dilecehkan oleh para zionis.

Sejauh ini upaya yang dilakukan PBB baru melakukan perundingan-perundingan yang bahkan belum menemukan kesepakatan. Pada 24 Oktober 2023, Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan bersama 15 duta besar negara untuk membahas kekerasan dan krisis kemanusiaan yang terus meningkat di Gaza. Pertemuan itu menghasilkan dua resolusi yang diusulkan Rusia dan Brazil, namun keduanya tidak berhasil.

Faktor yang melatarbelakangi keterhambatan penyelesaian konflik ini tentu tidak terlepas dengan faktor politik dan negara-negara di belakang israel yang masih menyuntikkan bantuan. Terlepas dari tujuan politik dan lainnya yang ada dibelakangnya, yang pasti peperangan ini menimbulkan keresahan publik di seluruh dunia.

Tindakan yang dilakukan masyarakat saai ini terkhusus warga Indonesia ialah dukungan secara dzahir dan bathin (doa) atau materil maupun immateril. Dalam hal materil dapat melakukan kiriman bantuan berupa uang ataupun barang serta melakukan pemboikotan atas produk-produk yang dikeluarkan oleh negara yang mendukung Israel salah satunya produk Amerika. Karena bagi mereka, negara negara tersebut (jika pemboikotan seperti produk McD berhasil menurunkan pendapatan ekonomi mereka) pasti akan mempertimbangkan secara dilematis antara menghentikan dukungan kepada Israel atau menjaga stabilitas ekonomi mereka.


Friday, September 29, 2023

MEMAHAMI PENTINGNYA NETRALISASI ASN DALAM BERPOLITIK: MENJELANG PEMILU 2024

 

Dina, Arina, Fatih

    Pemilihan umum (pemilu) serentak akan dilaksanakan di tahun 2024 mendatang, sementara itu di tahun ini sudah memasuki tahun politik. Tak ayal jika partai politik dan kontestan pemilu berlomba-lomba untuk menghadapi demokrasi di tahun depan. Dalam hal ini, badan pengawas pemilu memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pengawasan baik itu sebelum maupun sesudah pesta demokrasi pemilu dilaksanakan. Netralisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi salah satu perhatian khusus oleh Ombudsman RI, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu).

    Perlu diketahui bahwa Netralisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi isu yang krusial dan menjadi sorotan publik karena ditahun sebelumnya banyak pelanggaran yang dilakukan oleh ASN saat menjelang pelaksanaan hingga berakhirnya Pemilu. Netralitas pada dasarnya diartikan sebagai bebasnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari pengaruh kepentingan partai politik tertentu artinya tidak memihak salah satu partai dan tidak diperbolehkan aktif menjadi anggota maupun pengurus partai. Akan tetapi masih mempunyai hak politik untuk memilih.Asas netralisasi sangat penting agar tidak terjadi pengisian jabatan karena afiliasi politik, dukung mendukung, dan lain sebagainya.

    ASN harus memberikan pelayanan publik dan berinteraksi langsung dengan masyarakat oleh karenanya ASN digadang-gadang sebagai Aparatur Negara yang dekat dengan masyarakat. Netralisasi pada ASN dimaksudkan agar tidak terlibat dalam kepentingan-kepentingan politik yang dapat mengarahkan ASN untuk menggerakkan masyarakat demi memenuhi kepentingan politik. Dalam konteks ini tulisan akan berfokus pada pentingnya sikap netral ASN agar dapat diwujudkan secara efektif dalam menghadapi Pemilu 2024

PROBLEMATIKA NETRALISASI ASN

    Dalam konteks Aparatur Sipil Negara (ASN), ketidaknetralan merupakan salah satu pembahasan yang sangat penting. ASN diharapkan untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan sepenuh hati, adil, dan bebas dari pengaruh politik atau kepentingan pribadi, namun faktanya sikap netral pada ASN tidak mudah diwujudkan dalam pengimplementasiannya. Bentuk ketidaknetralan ASN dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini:

1.      Keterlibatan ASN dalam mengkampanyekan peserta pemilu tahun 2019 di media sosial dengan membagikan kiriman yang mengandung unsur kampanye dan di proses penanganan pelanggaran di Bawaslu Kota Palopo. ASN ini diduga melanggar beberapa aturan antara lain : Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam pasal 2 huruf d, Surat Komisi aparatur sipil negara nomor : b2900/KASN/11/2017 tanggal 10 November 2017.

2.        Keterlibatan ASN membagikan bahan kampanye berupa selebaran contoh surat suara oleh ASN yang menjabat sebagai Lurah Batu. Tindakan ini melanggar SE KASN Nomor: 2-900/KASN/11/2017 dan Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor: B-71/M.SM.00.00/2017.

3.         Keterlibatan ASN yang merupakan guru pendidikan agama Islam di SMP Satap Raja Kabupaten Luwu bertindak sebagai pembaca doa dan moderator pada kegiatan kampanye Bapak Muchtar Lutfi Mutty (Caleg DPR-RI No.2 Nasdem).

4.    Keterlibatan ASN yang merupakan Sekertaris Kelurahan Boting Kota Palopo yang mengadiri acara Peresmian Markas Besar (MABES) PAS 08 (PRABOWO SANDI) Kota Palopo.

    Berdasarkan data diatas, tentunya terdapat faktor yang menyebabkan oknum-oknum ASN melakukan pelanggaran, diantaranya adalah: Substansi Hukum, dalam pasal 280, pasal 282 dan pasal 283 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu terdapat celah hukum yang mana dapat melemahkan penindakan pelanggran ASN; Struktur Hukum, Rekomendasi KASN terkadang diabaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), Struktur dan personil KASN terbatas dikarenakan tidak terdapat di daerah; Pengawasan inspektorat mengawasi pegawai ASN masih belum kuat, hal ini mengakibatkan pelanggaran netralitas ASN tidak ditindak secara tegas; dan Budaya hukum masyarakat yang enggan melaporkan kasus pelanggaran Netralitas ASN. Kemudian hal ini juga disebabkan adanya hubungan kekerabatan antara ASN dengan peseta pemilu, serta sanksi yang lemah. Adapun Bentuk Ketidaknetralan ASN menurut La Ode Muh. Yamin (2013), ada dua indikator utama dari netralitas politik, yaitu tidak terlibat dan tidak memihak.

 

TUGAS POKOK ASN DALAM MENGHADAPI PEMILU 2024

    Menjelang Pemilu 2024, seluruh partai politik sudah mulai sibuk menyiapkan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon Legislatif dan juga kepala daerah. Pemilu tahun 2024 akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari tahun 2024 mendatang. Pemilu tahun 2024 ini sudah menyiapkan 3 bakal calon Presiden yang sudah disepakati oleh sembilan partai politik di Indonesia. Tiga calon Presiden tersebut adalah: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan.

    Aparatur Sipil Negara dalam menjemput tahun politik ini sudah mulai menerapkan tugas-tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam menghadapi tahun politik, ASN juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2 yang bunyinya: “Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

    Seorang ASN tentu tidak boleh menjalankan pekerjaannya berdasarkan kehendak diri sendiri ataupun orang lain, melainkan benar-benar perintah dari pemerintahan. Di dalam UU tersebut juga sudah sangat jelas, bahwa ASN harus bersih dari berbagai jenis kegiatan yang mengandung unsur pendukung suatu partai, melakukan korupsi, kerjasama dengan pihak tertentu sehingga merugikan orang lain, dan juga tidak diperkenankan untuk melakukan sistem nepotisme dalam susunan Aparatur Sipil Negara. Dalam menghadapi tahun politik ini, sebagai seorang ASN tentu harus bersikap netral, atau tidak memihak pada salah satu kubu.

    Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa asas netralisasi yang ada pada Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam berpolitik sangat penting. Netralisasi ASN merupakan landasan demokrasi yang sehat, dimana masyarakat dapat yakin bahwa proses pemilu akan berlangsung dengan adil, terbuka dan bebas dari intervensi yang merugikan. Pemilu 2024 akan menjadi ujian sejauh mana ASN mampu mempertahankan sikap netral dalam tahum politik ini. Selain itu diperlukan juga adanya mekanisme pemantauan yang kuat untuk mencegah dan menangani pelanggaran netralitas yang mungkin terjadi.

 

 

Saturday, August 19, 2023

Implikasi PP Nomor 26 Tahun 2023 Terhadap Keberlangsungan Lingkungan Hidup dan Iklim Indonesia

Hoirul Anam, Renaldi, Tsalis Khoirul Fatna

Pada tanggal 15 Mei  2023 Presiden Joko Widodo menetapkan PP  (Peraturan Pemerintah) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan bahwa alasan adanya PP ini untuk mengelola sedimentasi dan ekosistem laut. Namun ungkapan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan ini dianggap oleh beberapa ilmuwan bertentangan dengan Pasal 9 ayat (2) huruf d PP Nomor 26 Tahun 2023 yang secara otomatis mencabut peraturan larangan ekspor pasir semenjak 20 tahun yang lalu.

Dari awal Indonesia sudah banyak meratifikasi konvensi internasional seperti Paris Agreement, UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) sebagai bentuk keseriusan negara dalam memperhatikan keberlangsungan bumi. Persoalan muncul berkaitan dengan komitmen pemerintah yang semakin terkikis. Meski telah banyak meratifikasi konvensi internasional, masih saja terdapat kebijakan yang bertentangan dengan beberapa Undang-Undang yang telah diratifikasi. Dua alasan setidaknya yang melatarbelakangi hal ini. Satu,ego sektoral; dua, tidak relevan lagi diterapkan di Indonesia.

Ekspor Pasir, Perubaham Iklim dan Kerusakan Lingkungan

Kondisi iklim dan lingkungan Indonesia dari hasil riset yang dilakukan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) sedang tidak stabil. Penyebabnya adalah investasi ekstraktif, penggundulan hutan, dan eksploitasi laut. Kondisi ini diperparah dengan adanya ekspor pasir yang akan dilakukan oleh Joko Widodo melalui PP Nomor 26 Tahun 2023.

Ekspor pasir laut adalah tindakan penyedotan pasir pantai kemudian dijual ke negara-negara tujuan. Indonesia dua puluh tahun yang lalu menjadi salah satu negara yang banyak mengekspor pasir ke Singapura. Akan tetapi, telah berhenti melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut dan SK Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Dari tindakan ekspor pasir laut ada dua hal yang saling tarik menarik. Satu, laba; dua, kerusakan lingkungan yang berimplikasi terhadap perubahan iklim. Menurut Fahmi Radhi, salah satu pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada menyatakan jika menghitung dari economic cost dan benefit analysis, laba yang dihasilkan dari penjualan pasir tidak sebanding dengan kerusakan yang akan ditimbulkan. Seperti kerusakan ekologi dan tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Pemerintah berdalih, adanya PP ini untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran. Dalam praktiknya, belum ada data yang valid berapa banyak ekosistem yang terganggu oleh sedimentasi laut. Selain itu, pada periode 1970 sampai 2000 pertambangan pasir tidak hanya menambang pada daerah palung yang berisi pasir melainkan meluluh lantakkan kawasan pesisir. Bukti nyata adanya pulau Nipah beresiko tenggelam dan hilang jika tidak dilakukan upaya revitalisasi untuk memperbaiki lingkungan. Sedangkan tanah Singapura menjadi semakin menjorok mendekati wilayah Indonesia. Kegiatan penambangan pasir laut juga akan memberi dampak secara fisika, kimia, biologi, sosial ekonomi, dan budaya. Dampak paling ringan adanya kebisingan kapal pengeruk pasir. Kemudian, berkurangnya pendapatan nelayan tradisional karena area tangkap yang hanya 5-6 mil mengakibatkan nelayan beralih profesi bahkan menjadi pekerja tambang. Selain itu, berkurangnya area tangkap mempengaruhi hasil tangkap yang mengakibatkan kelangkaan dan harga ikan di masyarakat naik. Oleh karena itu, seharusnya Presiden tidak perlu membuka kran ekspor pasir kembali.

Langkah Yang Harus Dilakukan Sekarang

Sejatinya pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Terutama dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat”. Hal itu bertentangan dengan Ekspor pasir laut dalam PP No 26 Tahun 2023, terlebih pada Pasal 9 Ayat 2 terkait ketentuan reklamasi serta privatisasi pembangunan infrastruktur pemanfaatan pasir laut. Ketentuan tersebut secara implisit mematikan hak-hak konstitusional bagi masyarakat pesisir terutama nelayan. Selain dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung, sikap penolakan pada praktik pertambangan pasir laut dapat melalui partisipasi masyarakat dalam penyusunan Dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). AMDAL merupakan kajian ilmiah yang dilakukan untuk mengevaluasi dan memprediksi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh suatu kegiatan proyek terhadap lingkungan hidup, baik dampak positif maupun negatif. Sehingga AMDAL akan digunakan sebagai dasar kebijakan oleh pihak yang berwenang dalam memutuskan apakah suatu pertambangan tersebut dapat dinyatakan layak atau tidaknya untuk lingkungan. Proses Amdal mengharuskan pihak proyek untuk melibatkan masyarakat dalam tahap konsultasi dan partisipasi publik. Hal ini dapat digunakan sebagai kesempatan untuk memberikan masukan, pendapat, dan kekhawatiran terkait dampak yang mungkin ditimbulkan oleh pertambangan pasir tersebut.

 

Dari uraian di atas membuktikan bahwa kebijakan ekspor hasil sedimentasi pasir laut yang diizinkan melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 dapat memperburuk kondisi iklim global dengan peningkatan suhu bumi yang signifikan serta kerusakan ekologi yang ditandai dengan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Keberlangsungan lingkungan hidup dan iklim di Indonesia perlu dijaga dengan melakukan beberapa langkah antara lain mengkaji ulang kebijakan ekspor pasir, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, dan mendorong pengembangan energi dan industri berkelanjutan. Selain itu, masyarakat harus dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan karena mereka yang merasakan langsung dari dampak adanya kegiatan tersebut.

Referensi:

Evi Nur Alviah. Respon Negara Kiribati Terhadap Ancaman Perubahan Iklim Tahun 2003- 2015. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional International Relations Department Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Faculty of Social and Political Sciences Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Fachrul Islam Hidayat. Dampak Reklamasi Pantai dan Tambang Pasir Terhadap Ekosistem Laut dan Masyarakat Pesisir. Departemen Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.

Putri Dwi Utami, Lita Lianti. Efektifitas Tindakan Pemerintah Indonesia Dalam Menyikapi Persoalan Perubahan Iklim Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara. Yustisi. Vol. 10 No. 1 Februari 2023.


 [MB1]Mei

 [

Saturday, June 24, 2023

 

Kontroversi RUU  Kesehatan

 Renaldi Putra Samudera, Nova Arista, Yayu Fitriyani Komalasari

Kesehatan merupakan kebutuhan alami yang diperlukan oleh semua makhluk hidup, termasuk manusia. Perbaikan kesehatan tidak hanya berkaitan dengan penyembuhan penyakit atau pengobatan, tetapi juga melibatkan upaya pencegahan dan promosi kesehatan. Dengan menjaga kesehatan yang baik, individu dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, meningkatkan produktivitas, serta mengurangi beban sistem perawatan kesehatan. Selain itu, upaya mencapai perbaikan kesehatan, penting untuk melibatkan berbagai pihak; termasuk pemerintah, lembaga kesehatan, masyarakat, dan individu. Pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang mendukung pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas, serta memprioritaskan program-program pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Lembaga kesehatan perlu memberikan pelayanan yang aman, efektif, dan bermutu tinggi kepada masyarakat. Masyarakat dan individu juga harus bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan mereka sendiri melalui gaya hidup sehat, kebersihan, dan mengikuti anjuran medis.

Di Indonesia, kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan diakui sebagai konsekuensi dari negara kesejahteraan. Hal ini tercantum dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945. Secara jelas dalam Pasal ini menegaskan peran negara dalam melindungi kepentingan masyarakat dalam pemenuhan dan perbaikan kesehatan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan salah satu wujud nyata dari Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan hukum praktik kedokteran di Indonesia. Namun, belakangan ini perhatian banyak tertuju pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law yang akan menjadi Undang-Undang yang berlaku secara umum. Dalam RUU Kesehatan Omnibus Law, penegakan hukum dan penyelesaian perselisihan tenaga medis terutama dokter masih dianggap belum memadai. Perubahan dari Undang-Undang Praktik Kedokteran menjadi RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi topik yang menarik untuk dikaji, khususnya dalam hal pengaturan penegakan hukum dan penyelesaian perselisihan tenaga medis dalam RUU Kesehatan Omnibus Law.  Draft ini banyak mengalami penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, karena terdapat muatan pasal-pasal kontroversial yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta mengancam perlindungan dan keselamatan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika. 

 

Keberadaan RUU Kesehatan yang yang menelisisk beragam isu kesehatan mengundang berbagai reaksi penolakan sejumlah organisasi profesi yang menyatakan ketidaksetujuan terhadadap draft ini. Salah satu alasan ketidaksetujuan tersebut adalah karena adanya muatan pasal-pasal kontroversial yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta mengancam perlindungan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika serta adanya marginalisasi terhadap tenaga kesehatan. Berikut beberapa isu krusial dan pasal kontroversi dalam draft RUU Kesehatan:

 

1)      Pasal 154 ayat (3)

Pasal ini juga terjadi kontrovensial selanjutnya pada RUU Kesehatan yaitu terkait tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dikelompokkan pada satu kelompok zat adiktif. Penggabungan ini akan memunculkan rasa kekhawatiran menyebabkan munculnya aturan yang akan mengekang tembakau, lantaran posisinya akan disetarakan dengan narkoba. Sehingga akan menimbulkan polemik lain karena dapat merugikan banyak pihak yang bekerja di industri tembakau.

2)        Pasal 206 RUU Kesehatan

Pasal ini juga membuat lima organisasi profesi menolak RUU Kesehatan, khususnya yang menyebutkan standar pendidikan kesehatan dan kompetensi oleh menteri pada ayat (3), (4), dan (5). Dalam pasal ini juga disebutkan kolegium yang terlibat. Kolegium merupakan badan yang telah dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing - masing cabang disiplin ilmu tersebut. Badan ini juga bisa mengetahui apakah nakes kompeten atau tidak. Adanya pasal tersebut menjadikan Peran Menteri dalam RUU terlalu luas dan melintasi batas profesionalisme serta menggiring sistem kesehatan menjadi sistem centralized-power. Padahal di era saat ini, sistem sentralisasi peran mestinya ditanggalkan karena terbukti kurang efektif dan efisien. RUU ini berjalan mundur karena Menteri terlalu jauh mengambil peran organisasi profesi dan civil society yang seharusnya menjadi elemen integral pembangunan kesehatan negara.

3)      Pasal 314 ayat (2)

Pasal ini menyebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi. Namun pada pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan yang terbagi atas beberapa kelompok. Dengan total tenaga kesehatan sebanyak 48. Sehingga akan timbul pertanyaan besar apakah satu jenis tenaga kesehatan hanya bisa memiliki satu organisasi profesi? Sebagai contoh, jika hanya ada satu organisasi profesi dokter, hal itu akan sangat rancu karena dokter adalah profesi yang kompleks dan dapat terbagi jadi dokter umum, spesialis, gigi dan lain sebagainya. Kemudian, pihak yang menolak RUU Kesehatan dibuat bingung dengan pilihan yang akan diambil pembuat kebijakan dimana RUU Kesehatan dinilai akan mencabut peran organisasi profesi. Apabila RUU Kesehatan disahkan maka para nakes untuk berpraktik hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi.

4)      Pasal 462 RUU Kesehatan

 

a.         Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

b.      Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Berdasarkan pasal tersebut, profesi dokter menjadi rawan karena jika pasien datang dalam kondisi luka berat dan tidak terselamatkan keluarga pasien dapat menggunakan pasal tersebut untuk mempidanakan tenaga kesehatan. Meskipun di sisi lain ada pasal yang juga menjadi perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan yani pada pasal 282 dimana dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional.  

 

Kesehatan memiliki peran penting yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup salah satunya adalah manusia. Pembangunan nasional dan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah dan seluruh masyarakat. Sehingga penting untuk memiliki keterbukaan dan pengawasan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh semua dokter. Hal ini juga terjamin pada  dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966. Adanya UU yang kontroversial terkait kesehatan medis harus dapat di hilangkan dan diperjelas hingga menjadikan UU dapat menjamin bagi kesejahteraan masyarakat.

Adanya Perubahan dari Undang-Undang Praktik Kedokteran menjadi RUU Kesehatan Omnibus Law, faktanya mendatangkan perselisihan tersendiri pada masyarakat. Banyaknya muatan pasal-pasal kontroversial dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang – undangan dan mengancam perlindungan dan keselamatan bagi masyarakat, seperti halnya Pertama; Pasal 154 (3) terkait penggabungan tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dikelompokkan pada satu kelompok zat adiktif. Salah satu dampak dari penggabungan ini adalah terbitnya peraturan yang akan mengakang penggunaan tembakau dan berpengaruh pada perekonomian industry tembakau. Kedua, Pada Pasal 206 RUU Kesehatan memberikan kekuasaan Menteri kesehatan terlalu luas hingga melintasi batas profesionalisme organisasi profesi dan civil society sebagai salah satu elemen pembangun kesehatan negara. Ketiga, Pada Pasal 314 ayat (2) yang mendatangkan kebingunggan terhadap ketentuan jenis tenaga kesehatan yang hanya dapat membentuk satu organisasi. Sebab, hal ini berlainan dengan Pasal 193 yang menyebutkan adanya jenis tenaga kesehatan yang terbagi atas beberapa kelompok dengan total tenaga kesehatan sebanyak 48. Dan yang terakhir yakni adanya pemidanaan bagi setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat hingga mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun sedangkan jika mengakibatkan kematian maka dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.  Ancaman pidana bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam Pasal ini  menjadikan boomerang pada setiap tindakan yang dilakukan. Walaupun memang satu sisi menjadi pelindung bagi keluarga pasien atas perlakuan yang sewenang – wenangnya. Namun disatu sisi juga multitafsir atas segala tindakan yang tidak disengaja namun mmberikan akibat fatal. Sebab dalam pasal 282 menjadi perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional.

Oleh karena itu adanya RUU kesehatan yang masih memuat banyak pasal – pasal kontroversial harus diperjelas dalam hal peraturannya hingga tidak menjadikan multitafsir dan menimbulkan ancaman hukum bagi masyarakat. Selain itu, hal ini juga turut mengancam perlindungan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika serta adanya marginalisasi terhadap tenaga kesehatan. 

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes