Nur Fauziyah Laili, Hoirul Anam, Nanda Nabilah Islamiyah
Konflik
Rohingya di Myanmar merupakan salah satu konflik etnis paling kontroversial di
dunia. Sejarah konflik ini dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial, ketika
pemerintah kolonial Inggris membawa pekerja asing ke wilayah Arakan, yang saat
itu merupakan bagian dari India Britania. Setelah kemerdekaan Myanmar pada
tahun 1948, kelompok etnis Rohingya menjadi sasaran diskriminasi oleh
pemerintah militer dan dinyatakan sebagai “orang asing” tanpa kewarganegaraan,
memicu ketegangan antar etnis di wilayah tersebut.
Dalam
konteks kondisi sosial, politik, dan ekonomi Myanmar, kelompok Rohingya
menghadapi tantangan besar. Diskriminasi ini mencakup akses terbatas terhadap
layanan kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Kebijakan pemerintah yang
membatasi kebebasan bergerak dan berkeluarga, bersama dengan seringnya menjadi
korban kekerasan dan kecelakaan, semakin memperparah situasi mereka.
Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan tidak aman,
mendorong banyak dari mereka untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga,
terutama Bangladesh.
Dampak
global dari konflik Rohingya terasa luas, dengan masyarakat internasional
mengutuk keras pelanggaran hak asasi manusia yang berulang kali terjadi. Negara
dan organisasi internasional terlibat aktif dalam upaya penyelesaian konflik,
baik melalui bantuan kemanusiaan maupun tekanan politik terhadap pemerintah
Myanmar. Anggota PBB dan negara-negara berupaya untuk mendorong pemerintah
Myanmar mengakhiri diskriminasi terhadap Rohingya dan mengakui hak-hak
kewarganegaraan mereka.
Dalam
menangani konflik Rohingya, kerja sama antara pihak-pihak terkait, termasuk
negara-negara tetangga dan lembaga internasional, menjadi krusial. Upaya
bersama perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada
pengungsi Rohingya. Selain itu, diperlukan dorongan terus-menerus kepada
pemerintah Myanmar untuk menerapkan kebijakan reformasi yang inklusif dan
menghormati hak asasi manusia. Diplomasi dan advokasi global juga menjadi kunci
dalam menyelesaikan konflik ini secara berkelanjutan dan adil bagi semua pihak
yang terlibat.
Tindak Pidana Perdagangan Orang
(TPPO) dan Rohingya
Konflik
Rohingya di Myanmar telah menyebabkan gelombang pengungsi Rohingya mencari
perlindungan di berbagai negara, termasuk di Aceh, Indonesia. Kedatangan para imigran Rohingya di beberapa negara Asia
khususnya Indonesia didasarkan atas keterikatan Negara Indonesia pada Refugee
Convention 1951 yang mengatur tentang status pengungsi. Dengan demikian,
pemerintah Indonesia melalui Tentara Nasional Indonesia melakukan operasi
militer selain perang dalam bentuk bantuan pertahanan dan pemberian pertolongan
terhadap para pengungsi Rohingya. Namun,
keterlibatan Negara Indonesia pada Refugee Convention
1951 juga berpotensi sebagai indikator terjadinya upaya perdagangan manusia
para migran Rohingya sebab dikhawatirkan adanya dugaan negara Indonesia hanya
sebagai tujuan transit para migran Rohingya untuk menuju ke negara tujuan,
terutama pada orang-orang yang melarikan diri dari pengawasan Tentara Nasional
Indonesia. Dengan demikian situasi para pengungsi
Rohingya di Aceh juga terkait dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang
(TPPO) yang mengintensifkan penderitaan mereka. Para pengungsi Rohingya di
Aceh diduga menjadi korban TPPO akibat ulah oknum yang menjanjikan kehidupan
mereka yang lebih baik dengan ketidakseimbangan uang dari orang Bangladesh.
Sejatinya jika melihat situasi pada lima tahun terakhir,
pada tahun 2020 terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) telah
diketahui oleh Tentara Nassioanl Indonesia dimana Kodim
0103 Aceh Utara telah
mengamankan tersangka seorang wanita yang terlibat dalam jaringan perdagangan
manusia dan mengaku diberi upah sebesar
Rp 1 juta/kepala. Selain itu Tentara Nasional
Indonesia juga pernah menghadang upaya 14 etnis Rohingya yang berusaha
melarikan diri dari tempat pengungsian mserta melakukan
penahanan terhadap delapan orang yang dituduh melakukan tindak pidana
perdagangan orang (TPPO) ilegal yang diduga mengangkut imigran Rohingya dari Aceh.
Berdasarkan pemaparan di atas, migrasi massal yang dipicu
oleh konflik di Myanmar sejatinya telah menyebabkan kondisi rentan bagi
kelompok Rohingya terhadap eksploitasi. Mereka
yang terpinggirkan dan tanpa perlindungan hukum yang memadai menjadi sasaran
empuk bagi jaringan perdagangan manusia. Dugaan TPPO ini memunculkan
pertanyaan kritis tentang bagaimana ketidakstabilan politik dan ketidakamanan
di Myanmar menciptakan peluang bagi perdagangan manusia, terutama ketika
terlibat dengan dinamika konflik etnis yang terus berlanjut.
Faktor-faktor
yang mendorong atau memperparah TPPO dalam konflik Rohingya melibatkan
kombinasi kondisi eksternal dan internal. Ketidakstabilan politik dan
ketidakamanan di Myanmar menciptakan celah bagi jaringan kriminal, sementara
ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan, dan kebijakan diskriminatif membuat
kelompok Rohingya rentan terhadap perangkap TPPO.
Meskipun
tantangannya besar, terdapat upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait
untuk menanggulangi dan melindungi korban TPPO di kalangan
Rohingya. Organisasi kemanusiaan dan lembaga internasional telah
berkolaborasi untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban
TPPO. Langkah-langkah legislatif dan pengawasan yang lebih ketat di
tingkat nasional dan internasional dirancang untuk mengekang jaringan TPPO.
Dalam
konteks ini, pemahaman mendalam terhadap hubungan antara TPPO dan konflik
Rohingya adalah langkah krusial untuk mengatasi masalah ini secara
efektif. Diperlukan kerja sama lintas negara dan upaya bersama dari
komunitas internasional untuk menciptakan solusi berkelanjutan yang
menghilangkan akar permasalahan dan memberikan perlindungan kepada kelompok
Rohingya yang terus menderita di tengah konflik yang rumit ini.
Implikasi
Global dan Upaya Penyelesaian: Tindakan UNHCR dalam Konteks Konflik Rohingya
dan TPPO
Konflik
Rohingya di Myanmar dan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang
menyertainya tidak hanya menciptakan dampak lokal yang mengerikan, tetapi juga
mengguncang stabilitas regional dan merambah ke ranah hubungan internasional.
Dalam situasi ini, peran lembaga internasional seperti UNHCR (United Nations
High Commissioner for Refugees) menjadi sangat krusial dalam merespons dan
menanggulangi kompleksitas konflik dan kejahatan terorganisir.
Implikasi
global dari konflik Rohingya dan dugaan TPPO menciptakan gelombang
ketidakstabilan yang merembet ke seluruh kawasan. Pelarian massal Rohingya ke
negara-negara tetangga, seperti Bangladesh dan Aceh, menimbulkan tekanan besar
pada stabilitas regional. Negara-negara di kawasan ini menjadi pihak yang
langsung terlibat dalam menanggapi dampak kemanusiaan dan sosial dari konflik
tersebut.
Dalam
konteks hubungan internasional, tekanan yang diterima oleh negara-negara
tetangga yang menjadi tempat perlindungan bagi pengungsi Rohingya dapat memicu
ketegangan diplomatik dan krisis regional. Konflik ini menjadi sorotan global,
memperkuat urgensi komunitas internasional untuk berkolaborasi dalam
menanggulangi dampaknya dan mencegah eskalasi lebih lanjut.
Komunitas
internasional, melalui lembaga-lembaga seperti UNHCR, memainkan peran penting
dalam menangani konflik Rohingya dan dugaan TPPO. UNHCR berfungsi sebagai agen
utama PBB yang bertanggung jawab untuk melindungi dan membantu pengungsi di
seluruh dunia. Dalam konteks konflik Rohingya, UNHCR berperan dalam memberikan
bantuan kemanusiaan, melibatkan diri dalam pemantauan hak asasi manusia, dan
memobilisasi sumber daya internasional untuk merespons krisis.
Organisasi
non-pemerintah dan lembaga hak asasi manusia juga turut serta dalam upaya
menanggulangi konflik dan TPPO. Mereka memberikan bantuan langsung kepada
korban, mengumpulkan data dan bukti terkait dugaan TPPO, serta memberikan
tekanan politik kepada pemerintah-pemerintah yang terlibat.
Untuk
mengatasi konflik Rohingya dan mencegah tindakan TPPO di masa depan, beberapa
rekomendasi dan solusi dapat diajukan. Pertama, diperlukan pendekatan
kolaboratif yang melibatkan pemerintah Myanmar, negara-negara tetangga, dan
komunitas internasional. Dialog diplomatik harus diperkuat untuk mendorong
pemerintah Myanmar mengakui hak-hak kewarganegaraan Rohingya dan
mengimplementasikan kebijakan inklusif. Kedua, sebagai negara yang memiliki keterikatan terhadap Refugee
Convention 1951, para imigran atau pencari suaka harus tetap diberikan
perlindungan Hak Asasi Manusia yang lebih umum berdasarkan prinsip non-refoulment
sebagai pondasi utama dari Refugee Convention 1951, meskipun imigran
atau pencari suaka tersebut masuk ke dalam suatu negara secara ilegal, proses
penegakan hukum terhadap mereka tidak boleh membahayakan hak-haknya.
Ketiga, upaya pencegahan TPPO
perlu ditingkatkan melalui peningkatan pengawasan perbatasan, kerja sama antar lembaga internasional,
dan penegakan hukum yang lebih ketat. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat juga
penting untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan kelompok rentan terhadap
TPPO. Dalam hal ini, UNHCR dapat memimpin koordinasi upaya internasional,
memobilisasi sumber daya untuk penanganan pengungsi, dan memberikan panduan
teknis dalam melibatkan pihak-pihak terkait. Solusi jangka panjang harus
melibatkan pembangunan berkelanjutan di wilayah konflik, dengan fokus pada
pemberdayaan masyarakat dan penciptaan kondisi yang mendukung kesejahteraan
bersama. Melalui upaya bersama dari UNHCR, komunitas internasional, dan
lembaga-lembaga terkait, harapannya adalah dapat mencapai solusi yang
berkelanjutan, mengurangi dampak konflik, dan mencegah TPPO di masa depan.
Dalam
konteks kondisi sosial, politik, dan ekonomi Myanmar, kelompok Rohingya
menghadapi diskriminasi sistemik yang menciptakan lingkungan tidak stabil,
memaksa banyak dari mereka untuk melarikan diri ke negara tetangga. Dampak
global dari konflik ini merangsang respons aktif masyarakat internasional dan
organisasi, seperti PBB dan UNHCR, yang berupaya menanggulangi situasi
kemanusiaan. Tindakan TPPO terkait dengan pengungsi Rohingya di Aceh
menunjukkan kompleksitas konflik dan risiko eksploitasi terhadap kelompok yang
rentan. Meskipun tantangan besar, upaya kolaboratif dan tekanan internasional
terus dilakukan untuk memberikan perlindungan, mencegah TPPO, dan mendorong
reformasi inklusif di Myanmar. Dengan harapan dapat mencapai penyelesaian
berkelanjutan dan adil, esai ini menyoroti urgensi kerja sama lintas negara dan
pentingnya peran lembaga internasional seperti UNHCR dalam menanggulangi dampak
global dari konflik Rohingya dan TPPO.