Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Friday, December 2, 2022


 Akhir Nasib Sambo di Tangan Hakim

 Kasus pembunuhan Brigadir Josua nampaknya masih banyak serial drama yang ditampilkan dalam persidangan.Pembunuhan Brigadir Josua dengan terdakwa Ferdy Sambo cs telah digelar. Dakwaan Jaksa pun bukan main-main. Ferdy Sambo didakwa melakukan pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP dengan ancaman yang tidak main main pula yaitu maksimal Hukuman Mati atau setidaknya penjara seumur hidup.Peristiwa pembunuhan yang sangat mengejutkan seluruh masyarakat Indonesia, hampir semua pemberitaan meliput peristiwa tersebut, atas peristiwa tersebut Institusi Kepolisian RI mendapat penilaian buruk dari masyarakat, hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dirilis Kamis (27/10/2022) memperlihatkan, citra Institusi Polri sentuh titik terendah dalam dua tahun terakhir.

Peristiwa pembunuhan tersebut yang semula penuh dengan rekayasa, yang di awali dengan kejadiantembak-menembak antara Bradha E dengan Brigadir J. Akhirnya terungkap bahwa Brigadir J sengaja ditembak oleh Bradha E atas instruksi mantan Kadiv Propam Polri yakni Ferdy Sambo. Akhirnya Ferdy Sambo mengakui bahwa Brigadir J tewas karena ditembak oleh Bradha E. Dalam persidangan, nampaknya Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati, masih mendalilkan bahwa telah terjadi pelecehan seksual yang melatarbelakangi emosi/kemarahan Ferdi Sambo untuk menghabisi nyawa Brigadir J. Dalam persidangan, masih terlihat adanya ketidaksinkronan atau konsistensi keterangan yang diberikan antara saksi satu dengan lainnya. Mereka seakan ingin menjauhkan dirinya tidak terlibat dalam pembunuhan atau setidak tidaknya terlibat dalam skenario Ferdy Sambo.

Hakim yang memeriksa harus mempunyai insting atau keyakinan untuk menggali keterangan keterangan saksi tersebut, ibarat permainan puzzle, hakim harus mampu menyambungkan potongan-potongan puzzle tersebut sehingga menghasilkan kronologi dan putusan yang seadil-adilnya. Dari sinilah penulis melihat, anatomi kejahatan (anatomy of crime),lagi-lagi harus mampu menyempurnakan kembali potongan Puzzle anatomy of crime tersebut. Misalnya, apakah benar Ferdy Sambo sebelum Brigadir J tewas ditembak, Ferdy Sambo dan anak buahnya merencanakan dengan sempurna dan detail setiap langkah-langkah mulai dari perencanaan hingga tewasnya Brigadir J? Pertanyaan ini menjadi penting, karena unsur dari pembunuhan berencana adalah pelaku harus terbukti melakukan perencanaan pembunuhan dan mampu menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut. Hingga persidangan hari ini, setiap saksi yang dihadirkan menurut penulis tidak merujuk pada perbuatan perencanaan tersebut, yang muncul adalah perencanaan atau membuat skenario pasca pembunuhan Brigadir J. Semua keterangan membenarkan bahwa Ferdy Sambo memerintahkan Bradha E untuk menembak Brigadir J semata-mata atas kemarahan setelah mendengar cerita dari Putri Chandrawati atas perbuatan Brigadir J melakukan pelecahan terhadapnya.

Jika konstruksi hukum dan peristiwa ini yang disimpulkan oleh hakim, maka perbuatan Ferdy Sambo termasuk dalam kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dan tidak ada unsur perencanaan pembunuhan didalamnya. Apabila hal ini memang benar dan terbukti, maka hakim setidak-tidaknya akan menyatakan perbuatan ini tidak termasuk dalam perbuatan pembuhunan berencana seperti dakwaan pertama.

Apabila unsur perencanaan tidak terbukti, maka akan bergeser pada pasal 338 KUHP yang berbunyi:“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pasal tersebut antara lain:

1.      Perbuatan itu harus disengaja, dengan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, ditujukan maksud supaya orang itu mati

2.      Melenyapkan nyawa orang lain itu harus merupakan yang "positif" walaupun dengan perbuatan yang kecil sekalipun.

3.      Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang, harus ada hubungan kausal di antara perbuatan yang dilakukan itu dengan kematian orang tersebut.

Hemat penulis, Perbuatan Ferdy Sambo akan memenuhi unsur-unsur tersebut, tapi penulis melihat Ferdy Sambo bukan lah orang sembarang, dia sangat paham dan berpengalaman dalam dunia reserse. Pertama, apakah Ferdy Sambo memberikan Intruksi kepada Bradha E untuk menembak agar menghilangkan nyawa atau hanya sekedar melumpuhkan? Kedua,Hakim harus menggali apakah Ferdy Sambo turut serta menembak Brigadir J atau hanya memberikan Perintah? Pertanyaan tersebut harus terjawab dalam persidangan.Inilah yang kita maksud Perang Pengaruh dan Kejelian antara Jaksa Penuntut Umum dengan Penasehat Hukum.

Melihat Dakwaan Jaksa menghubungkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, perbuatan pelaku menghilangkan nyawa Brigadir J dilakukan secara bersama-sama.  Masing-masing pelaku dapat saja dikategorikan berbeda. Sebagai pelaku, orang yang menyuruh melakukan, atau turut serta dalam melakulan menghilangkan nyawa orang lain tersebut. Persidangan ini sangat menarik untuk dikawal,hakim dan jaksa harus bebas dari intervensi dari pihak manapun. Sehingga masyarakat kembali percaya bahwa penegakan hukum di Indonesia berjalan dengan baik tanpa pandang bulu.

Asas-asas peradilan yang selama ini kita pegang, terutama adanya asas Equality Before The law atau persamaan dimata hukum dan asas keadilan harus ditegakkan dalam persidangan tersebut.Pada akhirnya, hakim harus mampu menunjukkan putusan seadil-adilnya, bahwa hukum harus mencerimnkan 3 hal sesuai dengan pendapat Gustav Radbourch antara lain hukum harus memberikan keadilan, Hukum harus memberikan kemanfaatan dan hukum harus memberikan dan kepastian. Masyarakat harus menerima putusan hakim nantinya, jima para pihak keberatan dengan putusan tersebut, negara memberikan jalan melalui banding, kasasi hingga peninjauan kembali.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes