Peristiwa
pembunuhan tersebut yang semula penuh dengan rekayasa, yang di awali dengan
kejadiantembak-menembak antara Bradha E dengan Brigadir J. Akhirnya terungkap
bahwa Brigadir J sengaja ditembak oleh Bradha E atas instruksi mantan Kadiv
Propam Polri yakni Ferdy Sambo. Akhirnya Ferdy Sambo mengakui bahwa Brigadir J
tewas karena ditembak oleh Bradha E. Dalam persidangan, nampaknya Ferdy Sambo
dan Putri Chandrawati, masih mendalilkan bahwa telah terjadi pelecehan seksual
yang melatarbelakangi emosi/kemarahan Ferdi Sambo untuk menghabisi nyawa
Brigadir J. Dalam persidangan, masih terlihat adanya ketidaksinkronan atau
konsistensi keterangan yang diberikan antara saksi satu dengan lainnya. Mereka
seakan ingin menjauhkan dirinya tidak terlibat dalam pembunuhan atau setidak
tidaknya terlibat dalam skenario Ferdy Sambo.
Hakim yang
memeriksa harus mempunyai insting atau keyakinan untuk menggali keterangan
keterangan saksi tersebut, ibarat permainan puzzle, hakim harus mampu
menyambungkan potongan-potongan puzzle tersebut sehingga menghasilkan
kronologi dan putusan yang seadil-adilnya. Dari sinilah penulis melihat,
anatomi kejahatan (anatomy of crime),lagi-lagi harus mampu
menyempurnakan kembali potongan Puzzle anatomy of crime tersebut.
Misalnya, apakah benar Ferdy Sambo sebelum Brigadir J tewas ditembak, Ferdy Sambo
dan anak buahnya merencanakan dengan sempurna dan detail setiap langkah-langkah
mulai dari perencanaan hingga tewasnya Brigadir J? Pertanyaan ini menjadi penting,
karena unsur dari pembunuhan berencana adalah pelaku harus terbukti melakukan perencanaan
pembunuhan dan mampu menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut. Hingga
persidangan hari ini, setiap saksi yang dihadirkan menurut penulis tidak
merujuk pada perbuatan perencanaan tersebut, yang muncul adalah perencanaan
atau membuat skenario pasca pembunuhan Brigadir J. Semua keterangan membenarkan
bahwa Ferdy Sambo memerintahkan Bradha E untuk menembak Brigadir J semata-mata
atas kemarahan setelah mendengar cerita dari Putri Chandrawati atas perbuatan
Brigadir J melakukan pelecahan terhadapnya.
Jika konstruksi
hukum dan peristiwa ini yang disimpulkan oleh hakim, maka perbuatan Ferdy Sambo
termasuk dalam kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dan tidak ada unsur
perencanaan pembunuhan didalamnya. Apabila hal ini memang benar dan terbukti,
maka hakim setidak-tidaknya akan menyatakan perbuatan ini tidak termasuk dalam
perbuatan pembuhunan berencana seperti dakwaan pertama.
Apabila unsur perencanaan tidak terbukti, maka akan bergeser pada
pasal 338 KUHP yang berbunyi:“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pasal tersebut antara lain:
1.
Perbuatan itu harus disengaja,
dengan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, ditujukan maksud supaya
orang itu mati
2.
Melenyapkan nyawa orang lain itu
harus merupakan yang "positif" walaupun dengan perbuatan yang kecil
sekalipun.
3.
Perbuatan itu harus menyebabkan
matinya orang, harus ada hubungan kausal di antara perbuatan yang dilakukan itu
dengan kematian orang tersebut.
Hemat penulis, Perbuatan Ferdy Sambo akan memenuhi unsur-unsur tersebut,
tapi penulis melihat Ferdy Sambo bukan lah orang sembarang, dia sangat paham dan
berpengalaman dalam dunia reserse. Pertama, apakah Ferdy Sambo
memberikan Intruksi kepada Bradha E untuk menembak agar menghilangkan nyawa
atau hanya sekedar melumpuhkan? Kedua,Hakim harus menggali apakah Ferdy
Sambo turut serta menembak Brigadir J atau hanya memberikan Perintah?
Pertanyaan tersebut harus terjawab dalam persidangan.Inilah yang kita maksud
Perang Pengaruh dan Kejelian antara Jaksa Penuntut Umum dengan Penasehat Hukum.
Melihat Dakwaan Jaksa menghubungkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, perbuatan pelaku menghilangkan nyawa Brigadir J dilakukan secara bersama-sama. Masing-masing pelaku dapat saja dikategorikan berbeda. Sebagai pelaku, orang yang menyuruh melakukan, atau turut serta dalam melakulan menghilangkan nyawa orang lain tersebut. Persidangan ini sangat menarik untuk dikawal,hakim dan jaksa harus bebas dari intervensi dari pihak manapun. Sehingga masyarakat kembali percaya bahwa penegakan hukum di Indonesia berjalan dengan baik tanpa pandang bulu.
Asas-asas peradilan yang selama ini kita pegang, terutama adanya asas Equality Before The law atau persamaan dimata hukum dan asas keadilan harus ditegakkan dalam persidangan tersebut.Pada akhirnya, hakim harus mampu menunjukkan putusan seadil-adilnya, bahwa hukum harus mencerimnkan 3 hal sesuai dengan pendapat Gustav Radbourch antara lain hukum harus memberikan keadilan, Hukum harus memberikan kemanfaatan dan hukum harus memberikan dan kepastian. Masyarakat harus menerima putusan hakim nantinya, jima para pihak keberatan dengan putusan tersebut, negara memberikan jalan melalui banding, kasasi hingga peninjauan kembali.
0 comments:
Post a Comment