Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Wednesday, May 25, 2022

BELAJAR SOAL KARTEL MELALUI KASUS KELANGKAAN MINYAK GORENG DI INDONESIA


Oleh: Ulfa Salsabila

Awal tahun 2022 ini kelangkaan minyak goreng kembali terjadi Indonesia. Kelangkaan minyak goreng tersebut mengakibatkan harga minyak goreng naik hingga dua atau tiga kali lipat dari harga biasanya. Berbagai cara dan kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari pengaturan ekspor kelapa sawit hingga mengatur distribusi minyak goreng serta menindak penimbun produk minyak goreng. Namun, kelangkaan minyak goreng di pasaran tetap terjadi sehingga kita kerap melihat antrian panjang ibu rumah tangga membeli minyak goreng dengan harga di atas normal.

Dilansir dari www.ugm.ac.id, peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Dr. Hempri Suyatna berpendapat bahwa persolaan kelangkaan minyak goreng ini disebabkan oleh banyak faktor mulai dari meningkatnya harga CPO, gangguan distribusi hingga aksi penimbunan minyak goreng. “Ada banyak faktor. Saya kira faktor pemicunya sudah muncul sejak tahun lalu, November 2021 dikarenakan kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional. Naiknya harga CPO inilah yang kemudian memicu banyak pedagang minyak goreng menjual produknya ke luar negeri daripada ke dalam negeri,” kata Hempri, Selasa (15/3).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menduga kelangkaan minyak goreng yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh praktik kartel, penetapan harga, dan penguasaan pasar minyak goreng. KPPU telah melakukan penegakan hukum atas dugaan kartel minyak goreng sejak Januari 2022. Proses dilakukan terkait laporan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir tahun lalu.

Terkait dugaan kartel tersebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah melayangkan 37 panggilan kepada berbagai pihak. Gobbera Panggabean selaku Direktur Investigasi mengatakan, pihak yang dipanggil tersebut meliputi produsen (20 panggilan), perusahaan pengemasan (5 panggilan), distributor (8 panggilan), dua asosiasi, pemerintah, dan lembaga konsumen.

Mungkin kebanyakan dari teman-teman pembaca masih asing dengan istilah kartel. Apa sih kartel itu? Yuk, sama-sama belajar mengenai kartel dengan menyimak informasi berikut ini!

Kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Dengan kata lain, kartel adalah kerjasama antar produsen-produsen tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu. Kartel biasanya dipelopori oleh asosiasi dagang (trade associations) bersama para anggotanya. Kartel juga biasa disebut dengan syndicate, yaitu suatu kesepakatan tertulis antara, yaitu suatu kesepakatan tertulis antara beberapa perusahaan produsen dan lain-lain yang sejenis untuk mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dengan tujuan menekan persaingan dan meraih keuntungan.

Motif pelaku usaha dalam melakukan tindakan kartel antara lain untuk memperoleh keuntungan maksimal (maximum profit), dan tidak menutup kemungkinan untuk mematikan new entrance (pemain baru) dengan menciptakan barrier to entry (hambatan pasar), yang dimana tentunya hal tersebut akan sangat menguntungkan bagi pelaku kartel.

Selain dapat menguntungkan produsen atau pelaku usaha, kartel  juga menimbulkan kerugian bagi produsen sendiri dan konsumen yaitu terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel. secara makro kartel mengakibatkan inefesiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss atau bobot hilang yang umumnya disebabkan oleh kebijaksanaan pembatasan produksi yang biasa dipraktekkan oleh perusahaan monopoli untuk menjaga agar harga tetap tinggi. Adapun kerugian yang dialami konsumen adalah kehilangan pilihan harga, kualitas yang bersaing dan layanan purna jual yang baik.

Dikutip dari Jurnal Mimbar Hukum Volume 31 Nomor 1 tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, perjanjian kartel memiliki beberapa karakteristik, yaitu pertama, perjanjian termasuk juga tindakan bersama (concerted action), yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, dan bersifat sukarela, kedua, dilakukan oleh para pelaku usaha yang bersifat persaingan (bersifat horizontal) maupun pelaku usaha lainnya yang bersifat independen (bersifat vertikal), dan ketiga, memiliki tujuan untuk mencegah, membatasi, ataupun mendistorsi persaingan di antara mereka.

Perjanjian kartel sendiri diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat megakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal tersebut menetapkan sekaligus melarang para pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga ‘hanya jika’ perjanjian tersebut dapat menghasilkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Dalam hukum persaingan usaha kartel digolongkan sebagai pelanggaran berat dan termasuk dalam jenis persaingan usaha yang tidak sehat karena dampaknya yang nyata terhadap penurunan social welfare (kesejahteraan sosial), mengingat kerugian yang diderita oleh masyarakat. Kendati demikian penegakan pelanggaran kartel di Indonesia belum berjalan dengan lancar dan sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa hambatan dalam penegakannya, antara lain sebagai berikut:

 Pertama, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tidak mengenal keberadaan indirect evidence (bukti tidak langsung). Pembuktian kartel kerapkali terhambat karena otoritas persaingan usaha mengalami kesulitan dalam membuktikan keberadaan kartel, yaitu menemukan bukti adanya perjanjian dimana pelaku usaha saling bersepakat untuk melakukan kartel. Pelaku usaha seringkali membuat perjanjian kartel secara tidak tertulis untuk menghindari adanya bukti fisik atau bukti langsung (direct evidence) terkait perjanjian kartel yang mereka lakukan. Sifat kartel yang sangat rahasia inilah yang menjadikan kejahatan kartel sangat sulit untuk dideteksi dan dibuktikan. Oleh karena itu, di banyak negara mengenal adanya bukti tidak langsung (indirect evidence), yang meliputi alat bukti ekonomi dan alat bukti komunikasi.

Namun sayangnya di Indonesia, indikasi-indikasi ekonomi maupun komunikasi sebagai alat bukti terjadinya pelanggaran kartel tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 1999 maupun sistem Hukum Acara Indonesia secara umum, baik Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana. Akibatnya, terjadi perbedaan penyikapan terkait kedudukan indirect evidence ini dalam praktik peradilan.

Kedua, Undang-Undang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak memberikan kewenangan penggeledahan dan penyitaan bagi KPPU untuk memperoleh dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai bagian proses pembuktian, baik pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Ketiga, pemaknaan kartel sebagai perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata mengakibatkan terjadinya penyempitan makna kartel, yang hanya terbatas pada perbuatan dalam artian perjanjian saja. Perjanjian yang dimaksud disini adalah perjanjian menurut KUH Perdata. Dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. Sedangkan menurut Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Pengertian perjanjian menurut KUH Perdata dianggap memiliki kelemahan, karena kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak. Sementara itu, yang dimaksud dengan perjanjian itu sendiri adalah para pihak saling mengikatkan diri. Oleh karena itu, pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata tersebut harus dimaknai dengan adanya kehendak untuk saling mengikatkan diri secara timbal balik.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai kartel. Sekarang kita sama-sama tahu bahwa kartel adalah salah satu jenis persaingan usaha yang dilarang untuk dilakukan, bukan hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Hal ini karena kartel dapat merugikan masyarakat dan negara dengan mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dengan tujuan menekan persaingan dan meraih keuntungan pribadi dari suatu produk. Demikian penjelasan kali ini. Semoga bermanfaat!


Sumber:

  1. Veri Antoni. “Penegakan Hukum Atas Perkara Kartel Di Luar Persekongkolan Tender Di Indonesia”. Mimbar Hukum Volume 31, Nomor 1, Februari 2019 Halaman 95-111
  2. Yuniar Hayu Wintansari. “Analisis Pertimbangan Hukum Kasus Kartel Minyak Goreng Di Indonesia”. LEX Renaissance No. 4 VOL. 5 Oktober 2020: 895-911
  3. https://nasional.kontan.co.id/news/dugaan-kartel-minyak-goreng-kppu-sudah-layangkan-panggilan-ke-37-pihak
  4. https://www.ugm.ac.id/id/berita/22364-pemerintah-perlu-memperketat-pengawasan-distribusi-minyak-goreng

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes