Oleh: Ulfa Salsabila
Awal
tahun 2022 ini kelangkaan minyak goreng kembali terjadi Indonesia. Kelangkaan
minyak goreng tersebut mengakibatkan harga minyak goreng naik hingga dua atau
tiga kali lipat dari harga biasanya. Berbagai cara dan kebijakan dikeluarkan
oleh pemerintah, mulai dari pengaturan ekspor kelapa sawit hingga mengatur
distribusi minyak goreng serta menindak penimbun produk minyak goreng. Namun,
kelangkaan minyak goreng di pasaran tetap terjadi sehingga kita kerap melihat
antrian panjang ibu rumah tangga membeli minyak goreng dengan harga di atas
normal.
Dilansir
dari www.ugm.ac.id,
peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Dr. Hempri Suyatna berpendapat
bahwa persolaan kelangkaan minyak goreng ini disebabkan oleh banyak faktor
mulai dari meningkatnya harga CPO, gangguan distribusi hingga aksi penimbunan
minyak goreng. “Ada banyak faktor. Saya kira faktor pemicunya sudah muncul
sejak tahun lalu, November 2021 dikarenakan kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional.
Naiknya harga CPO inilah yang kemudian memicu banyak pedagang minyak goreng
menjual produknya ke luar negeri daripada ke dalam negeri,” kata Hempri, Selasa
(15/3).
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menduga kelangkaan minyak goreng yang
terjadi di Indonesia disebabkan oleh praktik kartel, penetapan harga, dan
penguasaan pasar minyak goreng. KPPU telah melakukan penegakan hukum atas dugaan
kartel minyak goreng sejak Januari 2022. Proses dilakukan terkait laporan
kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir tahun lalu.
Terkait
dugaan kartel tersebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah
melayangkan 37 panggilan kepada berbagai pihak. Gobbera Panggabean selaku
Direktur Investigasi mengatakan, pihak yang dipanggil tersebut meliputi
produsen (20 panggilan), perusahaan pengemasan (5 panggilan), distributor (8
panggilan), dua asosiasi, pemerintah, dan lembaga konsumen.
Mungkin
kebanyakan dari teman-teman pembaca masih asing dengan istilah kartel. Apa sih
kartel itu? Yuk, sama-sama belajar mengenai kartel dengan menyimak informasi
berikut ini!
Kartel
adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menghilangkan persaingan diantara keduanya. Dengan kata lain, kartel adalah
kerjasama antar produsen-produsen tertentu yang bertujuan untuk mengawasi
produksi, penjualan, dan harga serta melakukan monopoli terhadap komoditas atau
industri tertentu. Kartel biasanya dipelopori oleh asosiasi dagang (trade associations) bersama para
anggotanya. Kartel juga biasa disebut dengan syndicate, yaitu suatu kesepakatan tertulis antara, yaitu suatu
kesepakatan tertulis antara beberapa perusahaan produsen dan lain-lain yang
sejenis untuk mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah
pemasaran dengan tujuan menekan persaingan dan meraih keuntungan.
Motif
pelaku usaha dalam melakukan tindakan kartel antara lain untuk memperoleh
keuntungan maksimal (maximum profit),
dan tidak menutup kemungkinan untuk mematikan new entrance (pemain baru) dengan menciptakan barrier to entry (hambatan pasar), yang dimana tentunya hal
tersebut akan sangat menguntungkan bagi pelaku kartel.
Selain
dapat menguntungkan produsen atau pelaku usaha, kartel juga menimbulkan kerugian bagi produsen
sendiri dan konsumen yaitu terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel.
secara makro kartel mengakibatkan inefesiensi alokasi sumber daya yang
dicerminkan dengan timbulnya deadweight
loss atau bobot hilang yang umumnya disebabkan oleh kebijaksanaan
pembatasan produksi yang biasa dipraktekkan oleh perusahaan monopoli untuk
menjaga agar harga tetap tinggi. Adapun kerugian yang dialami konsumen adalah
kehilangan pilihan harga, kualitas yang bersaing dan layanan purna jual yang
baik.
Dikutip
dari Jurnal Mimbar Hukum Volume 31 Nomor 1 tahun 2019 Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, perjanjian kartel memiliki beberapa karakteristik,
yaitu pertama, perjanjian termasuk juga tindakan bersama (concerted
action), yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, dan bersifat
sukarela, kedua, dilakukan oleh para pelaku usaha yang bersifat
persaingan (bersifat horizontal) maupun pelaku usaha lainnya yang bersifat
independen (bersifat vertikal), dan ketiga, memiliki tujuan untuk
mencegah, membatasi, ataupun mendistorsi persaingan di antara mereka.
Perjanjian
kartel sendiri diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat
megakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”. Pasal tersebut menetapkan sekaligus melarang para pelaku usaha
untuk membuat perjanjian dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga ‘hanya
jika’ perjanjian tersebut dapat menghasilkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam
hukum persaingan usaha kartel digolongkan sebagai pelanggaran berat dan
termasuk dalam jenis persaingan usaha yang tidak sehat karena dampaknya yang nyata
terhadap penurunan social welfare (kesejahteraan
sosial), mengingat kerugian yang diderita oleh masyarakat. Kendati demikian
penegakan pelanggaran kartel di Indonesia belum berjalan dengan lancar dan
sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa hambatan dalam penegakannya, antara
lain sebagai berikut:
Pertama, Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tidak mengenal
keberadaan indirect evidence (bukti
tidak langsung). Pembuktian kartel kerapkali terhambat karena otoritas
persaingan usaha mengalami kesulitan dalam membuktikan keberadaan kartel, yaitu
menemukan bukti adanya perjanjian dimana pelaku usaha saling bersepakat untuk
melakukan kartel. Pelaku usaha seringkali membuat perjanjian kartel secara
tidak tertulis untuk menghindari adanya bukti fisik atau bukti langsung (direct evidence) terkait perjanjian
kartel yang mereka lakukan. Sifat kartel yang sangat rahasia inilah yang
menjadikan kejahatan kartel sangat sulit untuk dideteksi dan dibuktikan. Oleh
karena itu, di banyak negara mengenal adanya bukti tidak langsung (indirect evidence), yang meliputi alat
bukti ekonomi dan alat bukti komunikasi.
Namun
sayangnya di Indonesia, indikasi-indikasi ekonomi maupun komunikasi sebagai
alat bukti terjadinya pelanggaran kartel tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun
1999 maupun sistem Hukum Acara Indonesia secara umum, baik Hukum Acara Perdata
maupun Hukum Acara Pidana. Akibatnya, terjadi perbedaan penyikapan terkait
kedudukan indirect evidence ini dalam
praktik peradilan.
Kedua,
Undang-Undang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak memberikan kewenangan penggeledahan dan
penyitaan bagi KPPU untuk memperoleh dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai
bagian proses pembuktian, baik pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran
maupun pihak-pihak terkait lainnya.
Ketiga,
pemaknaan kartel sebagai perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata
mengakibatkan terjadinya penyempitan makna kartel, yang hanya terbatas pada
perbuatan dalam artian perjanjian saja. Perjanjian yang dimaksud disini adalah
perjanjian menurut KUH Perdata. Dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 dinyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan
nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. Sedangkan menurut Pasal 1313
KUH Perdata disebutkan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Pengertian
perjanjian menurut KUH Perdata dianggap memiliki kelemahan, karena kata
“mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak.
Sementara itu, yang dimaksud dengan perjanjian itu sendiri adalah para pihak
saling mengikatkan diri. Oleh karena itu, pengertian perjanjian menurut Pasal
1313 KUH Perdata tersebut harus dimaknai dengan adanya kehendak untuk saling
mengikatkan diri secara timbal balik.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai kartel. Sekarang kita sama-sama tahu bahwa kartel adalah salah satu jenis persaingan usaha yang dilarang untuk dilakukan, bukan hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Hal ini karena kartel dapat merugikan masyarakat dan negara dengan mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dengan tujuan menekan persaingan dan meraih keuntungan pribadi dari suatu produk. Demikian penjelasan kali ini. Semoga bermanfaat!
Sumber:
- Veri Antoni. “Penegakan Hukum Atas Perkara Kartel Di Luar Persekongkolan Tender Di Indonesia”. Mimbar Hukum Volume 31, Nomor 1, Februari 2019 Halaman 95-111
- Yuniar Hayu Wintansari. “Analisis Pertimbangan Hukum Kasus Kartel Minyak Goreng Di Indonesia”. LEX Renaissance No. 4 VOL. 5 Oktober 2020: 895-911
- https://nasional.kontan.co.id/news/dugaan-kartel-minyak-goreng-kppu-sudah-layangkan-panggilan-ke-37-pihak
- https://www.ugm.ac.id/id/berita/22364-pemerintah-perlu-memperketat-pengawasan-distribusi-minyak-goreng
0 comments:
Post a Comment