Permendikbud 30/2021 Sebagai Solusi Kekerasan Seksual?
(Sebuah Pembacaan Prespektif Fikih dan Qowa’idul Fikih)
Oleh Muhammad Minanur Rahman
Dalam
dunia pendidikan, pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan rasa aman
peserta didik dari berbagai kekerasan yang merendahkan derajat manusia.
Sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. UUD Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa setiap manusia siapapun itu termasuk didalamnya peserta
didik ataupun mahasiswa, memiliki hak untuk “bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif[1].
Dengan ini, orientasi sistem pendidikan adalah memanusiakan manusia lain.
Melihat orientasi
tersebut, segala jenis perbuatan yang bisa menjadikan ketidak nyamanan peserta
didik bahkan sampai merendahkan derajat manusia harus dihilangkan termasuk
didalamnya adalah Kekerasan seksual. Maraknya kekerasan seksual yang terjadi di
perguruan tinggi membuat kerasahan tersendiri dari berbagai pihak. Sebagai
wujud pertanggung jawaban pemerintah maka terbitlah Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual (selanjutnya ditulis
permendikbud PPKS)[2]
Munculnya permendikbud
PPKS ini menuai banyak kontroversi. Dari pihak yang pro, melihat banyaknya
kasus yang terjadi diperguruan tinggi namun belum terdapat regulasi yang
memadai. Peraturan yang ada saat ini masih mencakup kondisi dibawah 18 tahun
(UU perlindungan anak) atau kondisi sudah berumah tangga (UU PKDRT). Melihat
kekosongan hukum bagi seorang mahasiswa maka lahirlah peraturan ini. Disisi lain, dari pihak kontra kebanyakan
menilai bahwa permendikbud PPKS ini terkesan melegalkan zina dengan adanya
klausul “tanpa persetujuan” pada pasal 5 ayat 2 huruf b, f, g, h, j, l dan m.
Klasul tersebut dinilai bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada
pesetujuan korban.
Berangkat dari latar
belakang tersebut, penulis tertarik untuk membaca permasalahan ini berdasarkan
pandangan fikih dan qowaidul fikih.
Dalam Permendikbud PPKS ini definisi kekerasan seksual terdapat pada pasal 1
ayat 1 yang berbunyi:
Setiap perbuatan
merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi
reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang
berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang
mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan
pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Definisi
diatas tidak jauh berbeda dengan definisi kekerasan seksual dalam Islam. Dalam
pandangan islam kekerasan merupakan tindakan yang terdapat unsur dhalim (aniaya).
Sedangkan seksual menjadi objek dari tindakan kedhaliman tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual adalah tindakan kedhaliman
yang mengarah kepada seksual. Masuknya unsur dhalim disini secara tidak
langsung terdapat unsur lain yaitu ikrah (paksaan). Ulama mendefinisikan
ikrah sebagai suatu tindakan yang tidak ada ridho sama sekali dari
seseorang.[3] Dari
sini terdapat beberapa pihak ada mukrih (pemaksa) dan mukrah
(orang yang dipaksa). Seorang pemaksa melakukan tindakan kedhaliman kepada
korban dengan adanya paksaan. Apabila dikontekstualisasikan dengan kasus
kekerasan seksual maka pelaku menjadi dhalim sedangkan penyintas sebagai
madhlum. Kedhaliman tersebut
disebabkan karena adanya unsur ikrah (paksaan) untuk tindakan seksual,
sehingga mengakibatkan hilangnya kehormatan korban. Dengan definisi ini maka berbeda
dengan kasus zina yang mana terkadang tidak masuk dalam definisi kekerasan itu
sendiri. Karena dalam hal perzinaan tidak ada pihak yang terdhalimi (baca:korban)
dan kedua belah pihak merupakan pelaku yang melakukan kedhaliman itu sendiri.
Penekanan pada tindakan kekerasan ini berganung pada unsur ikrah (paksaan).
Apabila keduanya didapati sama-sama menikmati tindakan tersebut, maka tidak
masuk kedalam kategori kekerasan seksual melainkan perzinaan. [4]
Dengan ini, dalam definisi
yang dijelaskan dalam pasal tersebut sudah memenuhi makna kekerasan seksual
dalam fikih. Adapun tuduhan yang mengatakan bahwa terdapatnya klausul
“persutujuan korban” pada beberapa pasal di Permendikbud ini merupakan sebuah
pelegalan zina itu sangatlah tidak mendasar. Jika dibaca dengan menggunakan Mafhum
mukholafah (contrasting concept), tanpa persetujuan dari korban
bukan berarti kalau setuju itu boleh. Semua yang tidak ada dalam undang-undang
bukan berarti diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam regulasi ini memang menitik
beratkan pada aspek korban saja. Selagi tidak terdapat korban, maka tidak
termasuk dalam definisi kekerasan seksual. Prof Harkristuti dilansir dari
detik.com menilai bahwa kekerasan memang perbuatan tanpa persetujuan korban, kalau
misalnya persetujuan dihapus maka akan menjadi probem pada makna kekerasan itu
sendiri. Tidak akan mungkin kekerasan tanpa persetujuan.[5]
Sampai kapanpun perbuatan
zina dalam agama islam adalah haram dan pelegalan zina juga haram, keharaman
tersebut sudah menjadi al ma’lum minad din bid dhoruroh (suatu yang
pasti diketahui dalam agama).
Pertimbangan Qowa’idul Fikih
Kebijakan Permendikbud ini
merupakan langkah preventif yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi
kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Pertimbangan yang dilakukan
melihat mafsadah yang sudah terjadi (represif). Kejahatan-kejahatan yang
dilakukan sangat menjadikan keresahan berbagai pihak. Hal Ini yang dinilai
perlu adanya tindakan khusus untuk menanggulanginya . Kebijakan yang diberikan
oleh pemerintah sangat penting untuk diberikan dengan melihat kemaslahatan
masyarakat menjadi prioritas utama. Hal ini sesuai dengan kaidah sebagai
berikut:
تصرف الإمام على الرعية منوطا بالمصلحة
Kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah kepada rakyatnya berdasarkan kemaslahatan
Kadar kemaslahatan yang ada
dapat terwujud dengan adanya menolak mafasadah dan potensi terhadap mafsadah.
Oleh karena itu, Kebijakan permendikbud ini merupakan langkah represif dan
juga preventif. Hal ini juga sesuai dengan kaidah sebagai berikut:
الدفع خير من الرفع
Langkah preventif lebih baik daripada represif
Menteri Agama Yaqut Cholil
Qoumas sampai mengeluarkan surat edaran khusus untuk merespon Permendikbud ini.
Dilansir dari liputan 6 Kementrian Agama menyampaikan persetujuan dan dukungan dengan
pertimbangan bahwa kekerasan seksual telah banyak terjadi dan kekerasan
tersebut menjadi penghalang tercapainya tujuan pendidikan nasional.[6]
Hal senada juga disampaikan oleh Komnas perempuan. Komnas perempuan menilai
bahwa dengan adanya permendikbud ini jawaban untuk penanganan kekerasan seksual
yang seringkali mengalami kebuntuan dalam menindak lanjuti kasus tersebut.[7]
Untuk itu, semua elemen
yang ada di masyarakat dapat bergotong royong mengatasi problem ini. Regulasi pemerintah
dapat menjadi dasar yang bertumpu bagikorban. Namun, sesuatu yang jauh lebih
penting dari regulasi itu adalah langkah yang dilakukan agar perbuatan tersebut
tidak terulang kembali (langkah preventif). Dengan demikian, tokoh-tokoh
masyarakat saling bahu- membahu untuk mengatasi problematika ini serta
diperlukan adanya langkah non penal dari segi keagamaan, sosial, dan segi
kehidupan lainnya demi terwujudnya pendidikan tanpa kekerasan.
[2]
Lidwina Inge Nutjahyo dkk, Naskah
Akademik Pendukung Urgensi Draft Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, Direktorat
Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Hlm. 15
[3]
Lihat Kumpulan penulis, Mausu’ah
Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, (Mesir, Darusshofawah:tt), Juz 29 Hlm.170
[4] Terdapat artikel yang membahas tentang
ini https://islam.nu.or.id/syariah/kekerasan-seksual-dalam-fiqih-2-definisi-pelecehan-seksual-DmHsu
[5] https://news.detik.com/berita/d-5812252/saat-permendikbud-ppks-bikin-prof-harkristuti-vs-prof-romli-beda-pendapat
0 comments:
Post a Comment