Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Wednesday, February 2, 2022

Permendikbud 30/2021 Sebagai Solusi Kekerasan Seksual? (Sebuah Pembacaan Prespektif Fikih dan Qowa’idul Fikih)

 


Permendikbud 30/2021 Sebagai Solusi Kekerasan Seksual?

(Sebuah Pembacaan Prespektif Fikih dan Qowa’idul Fikih)

Oleh Muhammad Minanur Rahman

            Dalam dunia pendidikan, pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan rasa aman peserta didik dari berbagai kekerasan yang merendahkan derajat manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UUD Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa setiap manusia siapapun itu termasuk didalamnya peserta didik ataupun mahasiswa, memiliki hak untuk “bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif  atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif[1]. Dengan ini, orientasi sistem pendidikan adalah memanusiakan manusia lain.

            Melihat orientasi tersebut, segala jenis perbuatan yang bisa menjadikan ketidak nyamanan peserta didik bahkan sampai merendahkan derajat manusia harus dihilangkan termasuk didalamnya adalah Kekerasan seksual. Maraknya kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi membuat kerasahan tersendiri dari berbagai pihak. Sebagai wujud pertanggung jawaban pemerintah maka terbitlah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi  Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual  (selanjutnya ditulis permendikbud PPKS)[2]

            Munculnya permendikbud PPKS ini menuai banyak kontroversi. Dari pihak yang pro, melihat banyaknya kasus yang terjadi diperguruan tinggi namun belum terdapat regulasi yang memadai. Peraturan yang ada saat ini masih mencakup kondisi dibawah 18 tahun (UU perlindungan anak) atau kondisi sudah berumah tangga (UU PKDRT). Melihat kekosongan hukum bagi seorang mahasiswa maka lahirlah peraturan ini.  Disisi lain, dari pihak kontra kebanyakan menilai bahwa permendikbud PPKS ini terkesan melegalkan zina dengan adanya klausul “tanpa persetujuan” pada pasal 5 ayat 2 huruf b, f, g, h, j, l dan m. Klasul tersebut dinilai bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada pesetujuan korban.

            Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membaca permasalahan ini berdasarkan pandangan fikih dan qowaidul fikih.

 Kekerasan Seksual dalam Pandangan Fikih  

            Dalam Permendikbud PPKS ini definisi kekerasan seksual terdapat pada pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:

Setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

            Definisi diatas tidak jauh berbeda dengan definisi kekerasan seksual dalam Islam. Dalam pandangan islam kekerasan merupakan tindakan yang terdapat unsur dhalim (aniaya). Sedangkan seksual menjadi objek dari tindakan kedhaliman tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual adalah tindakan kedhaliman yang mengarah kepada seksual. Masuknya unsur dhalim disini secara tidak langsung terdapat unsur lain yaitu ikrah (paksaan). Ulama mendefinisikan ikrah sebagai suatu tindakan yang tidak ada ridho sama sekali dari seseorang.[3] Dari sini terdapat beberapa pihak ada mukrih (pemaksa) dan mukrah (orang yang dipaksa). Seorang pemaksa melakukan tindakan kedhaliman kepada korban dengan adanya paksaan. Apabila dikontekstualisasikan dengan kasus kekerasan seksual maka pelaku menjadi dhalim sedangkan penyintas sebagai madhlum.  Kedhaliman tersebut disebabkan karena adanya unsur ikrah (paksaan) untuk tindakan seksual, sehingga mengakibatkan hilangnya kehormatan korban. Dengan definisi ini maka berbeda dengan kasus zina yang mana terkadang tidak masuk dalam definisi kekerasan itu sendiri. Karena dalam hal perzinaan tidak ada pihak yang terdhalimi (baca:korban) dan kedua belah pihak merupakan pelaku yang melakukan kedhaliman itu sendiri. Penekanan pada tindakan kekerasan ini berganung pada unsur ikrah (paksaan). Apabila keduanya didapati sama-sama menikmati tindakan tersebut, maka tidak masuk kedalam kategori kekerasan seksual melainkan perzinaan. [4]

            Dengan ini, dalam definisi yang dijelaskan dalam pasal tersebut sudah memenuhi makna kekerasan seksual dalam fikih. Adapun tuduhan yang mengatakan bahwa terdapatnya klausul “persutujuan korban” pada beberapa pasal di Permendikbud ini merupakan sebuah pelegalan zina itu sangatlah tidak mendasar. Jika dibaca dengan menggunakan Mafhum mukholafah (contrasting concept), tanpa persetujuan dari korban bukan berarti kalau setuju itu boleh. Semua yang tidak ada dalam undang-undang bukan berarti diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam regulasi ini memang menitik beratkan pada aspek korban saja. Selagi tidak terdapat korban, maka tidak termasuk dalam definisi kekerasan seksual. Prof Harkristuti dilansir dari detik.com menilai bahwa kekerasan memang perbuatan tanpa persetujuan korban, kalau misalnya persetujuan dihapus maka akan menjadi probem pada makna kekerasan itu sendiri. Tidak akan mungkin kekerasan tanpa persetujuan.[5]

            Sampai kapanpun perbuatan zina dalam agama islam adalah haram dan pelegalan zina juga haram, keharaman tersebut sudah menjadi al ma’lum minad din bid dhoruroh (suatu yang pasti diketahui dalam agama).

Pertimbangan Qowa’idul Fikih

            Kebijakan Permendikbud ini merupakan langkah preventif yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Pertimbangan yang dilakukan melihat mafsadah yang sudah terjadi (represif). Kejahatan-kejahatan yang dilakukan sangat menjadikan keresahan berbagai pihak. Hal Ini yang dinilai perlu adanya tindakan khusus untuk menanggulanginya . Kebijakan yang diberikan oleh pemerintah sangat penting untuk diberikan dengan melihat kemaslahatan masyarakat menjadi prioritas utama. Hal ini sesuai dengan kaidah sebagai berikut:

تصرف الإمام على الرعية منوطا بالمصلحة

            Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kepada rakyatnya berdasarkan kemaslahatan

            Kadar kemaslahatan yang ada dapat terwujud dengan adanya menolak mafasadah dan potensi terhadap mafsadah. Oleh karena itu, Kebijakan permendikbud ini merupakan langkah represif dan juga preventif. Hal ini juga sesuai dengan kaidah sebagai berikut:

الدفع خير من الرفع

Langkah preventif lebih baik daripada represif

            Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sampai mengeluarkan surat edaran khusus untuk merespon Permendikbud ini. Dilansir dari liputan 6 Kementrian Agama  menyampaikan persetujuan dan dukungan dengan pertimbangan bahwa kekerasan seksual telah banyak terjadi dan kekerasan tersebut menjadi penghalang tercapainya tujuan pendidikan nasional.[6] Hal senada juga disampaikan oleh Komnas perempuan. Komnas perempuan menilai bahwa dengan adanya permendikbud ini jawaban untuk penanganan kekerasan seksual yang seringkali mengalami kebuntuan dalam menindak lanjuti kasus tersebut.[7]

            Untuk itu, semua elemen yang ada di masyarakat dapat bergotong royong mengatasi problem ini. Regulasi pemerintah dapat menjadi dasar yang bertumpu bagikorban. Namun, sesuatu yang jauh lebih penting dari regulasi itu adalah langkah yang dilakukan agar perbuatan tersebut tidak terulang kembali (langkah preventif). Dengan demikian, tokoh-tokoh masyarakat saling bahu- membahu untuk mengatasi problematika ini serta diperlukan adanya langkah non penal dari segi keagamaan, sosial, dan segi kehidupan lainnya demi terwujudnya pendidikan tanpa kekerasan.



                [1] Pasal 28I ayat (1), Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen)

                [2] Lidwina Inge Nutjahyo dkk, Naskah Akademik Pendukung Urgensi Draft Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Hlm. 15

                [3] Lihat Kumpulan penulis, Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, (Mesir, Darusshofawah:tt), Juz 29 Hlm.170

                [4] Terdapat artikel yang membahas tentang ini https://islam.nu.or.id/syariah/kekerasan-seksual-dalam-fiqih-2-definisi-pelecehan-seksual-DmHsu

                [5]  https://news.detik.com/berita/d-5812252/saat-permendikbud-ppks-bikin-prof-harkristuti-vs-prof-romli-beda-pendapat

                [6] https://www.liputan6.com/news/read/4706331/4-tanggapan-pro-kontra-soal-permendikbudristek-kekerasan-seksual-di-kampus

                [7] https://nasional.tempo.co/read/1527991/komnas-perempuan-permen-ppks-penting-agar-kampus-bebas-dari-kekerasan-seksual/full&view=ok     


0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes