Analisa
Hukum Perlindungan Konsumen pada Pinjaman Online Ilegal
Oleh:
Muhamad Bilal Musthofa
Pada
pertengahan Oktober ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berbicara
terkait Pinjaman Online (fintech) di depan Ketua Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso selaku Otoritas Pengawas pinjaman
online pada pembukaan OJK Virtual Innovation Day Pada hari Senin, 11 Oktober
2021. Isi pembicaraan tersebut ialah terkait banyaknya penipuan serta tindakan
pidana keuangan yang dialami oleh masyarakat karena pinjaman online. Faktanya
memang masyarakat banyak yang tergiur untuk meminjam uang secara online.
Layanan pinjaman online memang sudah menjadi alternatif pembiayaan masyarakat,
dikarenakan persyaratan yang mudah dan cepat dibanding dengan bank atau
sejenisnya.
Pinjaman
Online
Pinjaman
Online (fintech) adalah sebuah inovasi pada industri jasa keuangan yang
memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk fintech biasanya berupa sistem
yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik.
Selain fintech, ada juga istilah
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau Fintech
Lending. Menurut Pasal 1 angka 3 Nomor 77/PJOK.01/2016, Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa
keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam
rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara
langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Kelebihan
melakukan pinjaman online adalah prosesnya yang cepat dan mudah, tetapi di
balik kelebihan tersebut juga terdapat beberapa kekurangan. Selain bunga yang
tinggi, juga terdapat denda jika tidak membayar tagihan sesuai waktu yang
ditentukan. Selanjutnya, plafon pinjaman yang terbatas. Mudahnya proses
pengajuan pinjaman online ternyata berimbas pada plafon atau limit kredit
terbatas yang bisa di dapatkan oleh penggunanya.
Perlindungan
Konsumen dalam Pinjaman Online
OJK
sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan telah
mengatur beberapa regulasi perlindungan konsumen dalam mengatur fintech,
diantaranya:
a. Penyelenggara
wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia.
b. Terdapat
perlindungan dan kerahasiaan data.
c. Adanya
edukasi dan perlindungan konsumen, dengan prinsip transparansi, perlakuan yang
adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, dan penanganan pengaduan serta
penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
(Pasal
29-31 Regulasi Perlindungan Konsumen OJK)
Pinjaman
online menjadi daya tarik masyarakat dikarenakan prosesnya cepat dan mudah
dibandingkan dengan bank dan sejenisnya. Tetapi dalam kelebihannya, ada juga kekurangan
yang menjadi resiko untuk para calon peminjam. Maka, hal-hal yang perlu
diperhatikan oleh para calon peminjam seperti resiko bunga yang tinggi, harus
membayar biaya layanan 3% sampai 5%, jangka waktu pelunasan pendek maksimal 12
bulan jangka waktu atau tenor maksimal dari pinjaman online adalah 12 bulan,
serta limit kredit pinjaman online yang rendah dengan jangka waktu pelunasan
yang pendek bahkan hanya 2-3 bulan.
Dikutip
dari Jurnal Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, dalam
berbagai laporan masyarakat, pinjaman online sendiri lebih banyak menguntungkan
kepada pihak jasa pemberi pinjaman, bukan peminjam. Beberapa keluhan yang masuk
ialah minimnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha terkait besaran
bunga, biaya administrasi, dan proses penagihan yang didalamnya terdapat tindak
pidana fitnah, penipuan, pengancaman, dan penyebaran data pribadi. Seolah-olah
menguntungkan, padahal merugikan masyarakat, korban dikenakan bunga dan denda
yang tinggi, jangka waktu yang singkat, serta adanya pengancaman.
Contoh
kasus karena jeratan pinjaman online adalah kasus bunuh diri. Ada satu contoh kasus
bunuh diri akibat jeratan pinjaman online. Permasalahan terebut dialami oleh
WPS, 38 tahun seorang ibu Rumah Tangga di Kecamatam Giriwoyo, Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah. Ia mengakhri hidup dengan cara bunuh diri karena diduga tidak
kuat menerima teror dari debt collector.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi payung hukum untuk
memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Tetapi pada
faktanya aturan diatas belum terlaksana dengan baik. Banyak konsumen yang masih menjadi korban dan
dirugikan atas pinjaman online ini. Dengan maraknya pinjaman online ilegal, dan
maraknya aturan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, konsumen sangat memerlukan bantuan advokasi,
perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-hak
konsumen. Kerugian yang dialami akibat kurang kritisnya konsumen terhadap
barang atau jasa yang ditawarkan tersebut tidak terlepas dari tingkat
pendidikan konsumen yang rendah, sedangkan, teknologi komunikasi, semakin maju,
sehingga dengan mudah dapat menjangkau masyarakat luas.
Jadi,
perlindungan hukum bagi konsumen berbasis fintech belum terlaksana
dengan baik dan belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pemerintah harus berperan aktif, dalam hal ini OJK
terkait pengawasan terhadap perusahaan fintech, dan konsumen bisa
terlindungi hak-haknya. Langkah yang perlu diupayakan pemerintah ialah lebih
banyak melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, agar masyarakat
semakin paham dan kompeten serta mampu meminimalisasi resiko yang akan terjadi
jika menggunakan layanan pinjaman online. Pemerintah juga perlu berperan aktif dalam
pemberantasan pinjaman online ilegal, termasuk tindak pidana yang dilakukan
kepada konsumen. Dengan penegakan hukum yang baik, bisa menghasilkan keadilan
bagi masyarakat.
0 comments:
Post a Comment