Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Thursday, September 30, 2021

Kekerasan Seksual Pegawai KPI , Potensi Kriminalisasi atau Kelambanan Penanganan Instansi ?

     

Kekerasan Seksual Pegawai KPI, Potensi Kriminalisasi atau Kelambanan Penanganan Instansi ?

Oleh: Iskarima Rahmawati

Isu kekerasan seksual kembali ramai diperbincangkan karena sejumlah kasus kembali mencuat ke publik. Kejahatan seksual tak pernah ada habisnya, karena korban begitu sulit entas dari trauma. Kejahatan seksual seringkali sangat sulit diungkap sampai tuntas. Apabila hukum dan perundangan yang ada kerap memposisikan kejahatan seksual seperti kejahatan biasa, cara pembuktian, dan prosedur pemeriksaannya dianggap kuno, sehingga membuat trauma korban semakin menjadi – jadi, belum lagi persoalan prasangka dan bias – bias yang membuat korban justru sering disalahkan. Para korban kejahatan seksual acapkali kesulitan mendapatkan keadilan, kompleksitas persoalan membuat pilihan untuk diam dan bersuara sama – sama mengandung risiko.

Perkembangan kasus MS (Korban kekerasan seksual) di lingkungan KPI, Mehbob, Koordinator pengacara MS mengatakan telah mengantarkan korban ke Komnas HAM dan diterima langsung oleh komisionernya. Korban sudah mengatakan dan menceritakan semua kronologis kejadian yang dialaminya dan memberikan bukti – bukti awal, Komnas HAM berjanji akan mengawal proses kasus ini. Kemudian, korban juga mengajukan permohonan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan dari Ketua LPSK mengatakan siap untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Sehingga sejauh ini korban telah berupaya untuk melapor ke aparat kepolisian, komnas HAM, dan LPSK

Setelah adanya permintaan pemeriksaan internal di KPI, MS (Korban kekerasan seksual) dipanggil secara internal selama 2 hari belakangan ini untuk datang dan KPI tidak memperbolehkan pihak kuasa hukum korban untuk mendampingi, tanpa adanya alasan yang jelas. Komisioner KPI sempat tidak tahu terkait kasus kekerasan seksual ini dan tidak pernah menerima aduan yang dialami anggota, korban hanya meminta untuk pindah divisi dalam KPI.

Keadaan MS (Korban kekerasan seksual) bisa dibilang masih stabil. Kondisi korban secara fisik memang baik, tetapi di sisi lain secara psikis sangat terganggu, kestabilan emosi nya masih terganggu, bahkan rasa traumatik dan ketakutannya masih terlihat. Berita yang sekarang ini viral tentang surat terbukanya justru membuat ketakutannya muncul kembali.

Pada awal 2012 hingga 2014 korban benar benar terlecehkan oleh pihak terlapor yang membuatnya mengalami gangguan mental, bahkan saat korban tidur saja selalu mengalami mimpi buruk hingga berteriak terus menerus. Pihak keluarga sudah mencoba untuk membawa korban berobat, korban mengeluhkan lambung nya selalu sakit yang disebabkan hipertensi naik akibat trauma dan stress yang berlebihan. Di tempat rujukan berobat lainnya, saat di rumah sakit dirujuk ke psikiater dan kemudian diberikan obat penenang, juga korban sempat diantar ke psikolog.

Pada tahun 2015 MS korban dikeroyok 5 orang terlapor, dikeroyok hingga ditelanjangi, alat vitalnya di coret coret, hal inilah yang membuat trauma berkepanjangan. Pernah ketika KPI mengadakan bimtek di Bogor, korban sempat diangkat dari tempat tidur oleh pihak terlapor kemudian dimasukkan ke kolam renang. Hal seperti ini dirasakan dan dialami terus menerus oleh korban, hingga korban merasa tak mampu lagi untuk menanggung semua beban.

Korban sudah mencoba untuk mengadu melalui email kepada Komnas HAM, tepatnya pada Bulan Agustus. Kemudian, Bulan Desember Komnas HAM memberikan balasan dan memerintahkan agar korban melapor langsung ke pihak kepolisian karena dianggap kasus ini merupakan perbuatan tindak pidana. Lalu, korban datang ke Polsek Gambir untuk mengadukan dan laporannya dinyatakan diterima, setelah melakukan konsultasi kemudian pihak kepolisian menyarankan agar perkara ini diadukan langsung ke atasan KPI, karena masalah ini dianggap sebagai internal KPI sendiri. Tetapi, setelah korban mencoba untuk melaporkan ke atasan, tindakan yang dilakukan hanyalah memindahkan ruangan kerja korban ke tempat yang berbeda. 

Siti Mazuma (Direktur Eksekutif LBH APK) menyebutkan bahwa terdapat banyak catatan kritis terhadap kasus kekerasan seksual pegawai KPI ini yaitu adanya kelambanan, baru saja ditangani dan akan dibantu oleh banyak pihak disaat kasus ini sudah viral. Dan itulah yang sangat disayangkan, padahal pihak korban sudah berulang kali mencoba melaporkan kasusnya ke kantor polisi hingga 2 kali tetapi pihak kepolisian tidak menanggapi, bahkan justru meminta korban untuk melaporkan saja ke lembaga terkait karena kasus ini dianggap sebagai masalah internal, nomor telepon pelaku juga sudah sempat diminta oleh pihak kepolisian untuk nantinya dihubungi oleh polisi. Korban juga  langsung menunjuk pengacara tanpa ada sangkut pautnya dengan pihak KPI, disisi lain KPI juga cenderung melindungi pihak terlapor yang justru mendapatkan fasilitas lebih dibandingkan korban.

Hal seperti inilah, kelambanan pihak berwenang untuk menangani kasus ini, yang akan membuat korban semakin merasa trauma berulang kali. Semua orang, baik laki – laki ataupun perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual butuh kekuatan untuk berani bersuara,  tetapi kemudian setelah berani berbicara justru keadaan tidak didukung oleh sistem hukum yang seharusnya berpihak kepada korban.

Ketika kasus ini sudah viral, pihak kepolisian baru akan bertindak mengenai kasus MS (Korban kekerasan seksual). Tetapi sekarang berbalik kasus tersebut menjadi suatu proses kriminalisasi dalam artian korban akan dilaporkan balik oleh pihak terlapor. Pasal UU ITE ini yang kemudian bisa dijadikan dasar pencemaran nama baik, ketika korban sudah berani bersuara yang kemudian malah diancam dengan pasal UU ITE. Kuasa hukum terduga pelaku yang mengatakan akan melaporkan balik karena dianggap mencemarkan nama baik. Mehbob, Koordinator pengacara MS korban mengatakan bahwa hingga sekarang belum dilaporkan secara resmi, hanya mendengar pernyataan kabar akan dilaporkan balik ini dari media.

Adanya potensi kriminalisasi terhadap korban, sudah lapor ke kepolisian tetapi pihak pelaku melaporkan balik, hal seperti inilah yang memberatkan korban untuk berbicara. Terkait ancaman kriminilasasi terhadap korban, Mehbob, Koordinator pengacara MS, menjelaskan bahwa semua yang ditulis korban dalam surat terbuka adalah bukan karangan yang mengada ada. Surat terbuka yang disampaikan ke komisioner adalah fakta hukum dan bisa dibuktikan kebenerannya, “Kami dari pihak korban sudah memiliki bukti bukti yang dibutuhkan tetapi memang belum diungkap.” ungkap Mehbob. Contoh : Rekam medis yang dirasa sudah cukup untuk menangkal pelaporan balik dari pelaku.

Selain itu, kuasa hukum pelaku juga menyatakan bahwa tindakannya kepada korban itu hanya sekadar bercanda. Alasan pembenaran yang disebut sekadar bercandaan ini tentu saja tidak bisa dibenarkan, Siti Mazuma (Direktur Eksekutif LBH APK) memaparkan bahwa tindakan kekerasan seksual ini tentu saja sangat tidak bisa dikatakan sekadar bercanda, karena kasus ini sudah terjadi pada beberapa tahun silam sampai kemudian korban berani melaporkan. Tingkat kekerasan yang dialami korban juga berlapis, dari bullying hingga pelecehan seksual yang membuat korban mengalami trauma. Jika masih dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar, tentu saja sudah diluar rasa empati dan belas kasihan. Apalagi tindakan kekerasan seksual ini tidak hanya dilakukan oleh 1 orang saja, melainkan ada 5 hingga 8 orang terduga pelaku, hal ini tentu saja sangat masif dan terjadi bertahun – tahun. Tetapi, disisi lain KPI dalam menangani kasus ini sambat lamban, tidak cekatan dan pelayanan yang diberikan pun hanya sebatas memindahkan ruang kerja korban. Hal seperti inilah yang justru akan meningkatkan trauma korban dan tidak menyelesaikan masalah.

SOP (Standard Operating Procedure) yang seharusnya dilakukan institusi dikala ada kasus seperti ini terjadi pada suatu lembaga tertentu, Siti Mazuma (Direktur Eksekutif LBH APK) mengatakan bahwa KPI tentu harus melakukan evaluasi, karena dilihat dari kasus kekerasan seksual ini, pelaporan sudah dilakukan dan diterima tetapi hingga saat ini belum ada tindakan lanjut.

Pihak korban sempat mengirimkan surat terbuka di media sosial ke publik netizen, apa yang menjadi latar belakang pihak korban mengeluarkan statement kembali ke netizen? Mehbob (Koordinator pengacara MS korban) menyebutkan bahwa tidak diketahui dengan pasti apa latar belakang mengapa surat itu dikeluarkan. Korban ini diakui jiwanya sangat kuat, bahkan tidak membiarkan keluarga dari pihak pelaku merasakan dampaknya, yang menjadi tujuan utamanya adalah kasus ini secepatnya terselesaikan secara hukum. Salah satu sebab yang mendorong adalah karena menanggung beban yang cukup lama (±5 – 6 tahun) dan selalu merasakan trauma juga takut, menjadi bayang bayang, sehingga dengan keadaan mendesak, korban mengungkapkan ke publik agar menjadi perhatian, karena hingga saat ini pun belum juga menemukan solusi yang terbaik. Korban juga sempat meminta tolong langsung kepada Presiden Jokowi dalam surat terbukanya tersebut, seraya berharap permasalahan ini cepat terselesaikan secara hukum. Setelah surat terbuka ini viral di berbagai kalangan, pihak kepolisian langsung melangsungkan proses pemeriksaan dan diharapkan kedepannya nanti tetap berjalan sesuai kadar hukum, dan Komnas HAM juga berjanji akan mengawal kasus ini hingga tuntas.

Dari banyaknya usaha yang sudah dilakukan oleh korban, tidak banyak mendapat tanggapan yang baik sehingga korban merasa enggan untuk melapor, karena seperti sudah melapor tetapi tidak menemukan titik temu atau jawaban yang diinginkan dari kejadian yang dialaminya. Sistem hukum juga yang tidak berpihak pada korban, stereotip masyarakat tentang kekerasan seksual dianggap sebuah aib yang seharusnya disimpan sendiri dan ketika mengungkapkan pun justru akan dihakimi, ikut menyalahkan korban, untuk menguatkan psikologisnya sendiri, dan banyak hal yang menjadi pertimbangan (Pengaruh ke keluarga korban, pem bully an, dan lain sebagainya). Salah satu faktor utama adalah masyarakat pada umumnya masih menormalisasi suatu kekerasan seksual dan tidak menganggap isu ini dengan serius, yang akibatnya banyak terjadi bullying oleh masyarakat kepada korban, selain itu pun beberapa elemen masyarakat dipandang kurang sensitif pada kejadian kekerasan seksual yang ada, baik dalam berita maupun penanganan kasusnya.

Korban bukan hanya fokus pada dirinya sendiri, melainkan banyak mempertimbangkan hal lainnya, ini banyak sekali dilakukan oleh korban yang datang ke LBH. Setelah bertahun tahun hingga mampu memberanikan diri untuk melapor ke LBH, kemudian didampingi ke kantor polisi untuk membuat pelaporan, tetapi ternyata sistem hukum tidak menyambut dengan baik, semua laporanya tidak diterima. Bahkan, untuk proses pembuktian sering dibebankan kepada korban dan kuasa hukumnya, selain itu masih harus membayar terkait biaya perkara.

Perlakuan dan pembelaan negara terhadap kasus pelecehan seksual seperti ini karena sebuah keadilan adalah sesuatu yang didambakan para korban. Bagaimana keadaan telah diupayakan? Amy Fitria (Penyintas Kekerasan Seksual dan Aktivis) memberikan pemaparan terkait berani terbuka bicara dari peristiwa yang dialami ke publik, adalah karena merasa sudah tidak memiliki pilihan lain dan tidak mau harus berbicara ke publik, tidak mendapatkan keadilan, merasa tidak tenang, takut, dan trauma yang terus menerus. Melaporkan ke pihak berwajib dan laporannya sudah diterima secara resmi, dilengkapi dengan baik surat pelaporannya hingga memberikan bukti – bukti yang sekiranya dibutuhkan. Tetapi, pihak yang berwajib justru mencurigai bahwa korban mengenali pelaku tersebut dan pada akhirnya tidak ada tindak lanjut. Akhirnya korban memutuskan untuk membuka cerita nya di medsos, setelah viral dan banyak diketahui orang baru kemudian polisi bergerak untuk menangkap pelaku.

            Sesuai dengan RUU PKS, bahwa korban belum mendapatkan keadilan sepenuhnya, karena hal yang sangat dibutuhkan korban adalah keadilan pada setiap jenis kekerasan seksual yang dialaminya, berhak mendapatkan perlindungan dan mendapat pemulihan secara professional. Willy Aditya (Ketua Panja RUU PKS) menyebutkan bahwa terkait kekerasan seksual ini belum memiliki aturan hukum yang jelas, poin hukum, dan belum spesifik untuk setiap jenis kekerasan seksual. Aparat penegak hukum sudah seharusnya bertindak sesuai dengan law order/peraturan perundang – undangan yang ada. Keberadaan RUU PKS menjadi sangat mendesak agar nantinya diharapkan aparat penegak hukum (Polisi, jaksa, dll) bisa bertindak sesuai dengan regulasi yang ada, sesuai dengan perspektif penegak hukum, ketika nantinya ada pihak yang melapor, yang belum memiliki perspektif korban.



0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes