Kekerasan Seksual Pegawai KPI,
Potensi Kriminalisasi atau Kelambanan Penanganan Instansi ?
Oleh: Iskarima Rahmawati
Isu kekerasan seksual kembali ramai diperbincangkan
karena sejumlah kasus kembali mencuat ke publik. Kejahatan seksual tak pernah
ada habisnya, karena korban begitu sulit entas dari trauma. Kejahatan seksual
seringkali sangat sulit diungkap sampai tuntas. Apabila hukum dan perundangan
yang ada kerap memposisikan kejahatan seksual seperti kejahatan biasa, cara
pembuktian, dan prosedur pemeriksaannya dianggap kuno, sehingga membuat trauma
korban semakin menjadi – jadi, belum lagi persoalan prasangka dan bias – bias
yang membuat korban justru sering disalahkan. Para korban kejahatan seksual
acapkali kesulitan mendapatkan keadilan, kompleksitas persoalan membuat pilihan
untuk diam dan bersuara sama – sama mengandung risiko.
Perkembangan kasus MS (Korban kekerasan
seksual) di lingkungan KPI, Mehbob, Koordinator pengacara MS mengatakan telah
mengantarkan korban ke Komnas HAM dan diterima langsung oleh komisionernya.
Korban sudah mengatakan dan menceritakan semua kronologis kejadian yang
dialaminya dan memberikan bukti – bukti awal, Komnas HAM berjanji akan mengawal
proses kasus ini. Kemudian, korban juga mengajukan permohonan ke LPSK (Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban) dan dari Ketua LPSK mengatakan siap untuk
mengawal kasus ini hingga tuntas. Sehingga sejauh ini korban telah berupaya
untuk melapor ke aparat kepolisian, komnas HAM, dan LPSK
Setelah adanya permintaan pemeriksaan
internal di KPI, MS (Korban kekerasan seksual) dipanggil secara internal selama
2 hari belakangan ini untuk datang dan KPI tidak memperbolehkan pihak kuasa
hukum korban untuk mendampingi, tanpa adanya alasan yang jelas. Komisioner KPI
sempat tidak tahu terkait kasus kekerasan seksual ini dan tidak pernah menerima
aduan yang dialami anggota, korban hanya meminta untuk pindah divisi dalam KPI.
Keadaan MS (Korban kekerasan seksual) bisa
dibilang masih stabil. Kondisi korban secara fisik memang baik, tetapi di sisi
lain secara psikis sangat terganggu, kestabilan emosi nya masih terganggu,
bahkan rasa traumatik dan ketakutannya masih terlihat. Berita yang sekarang ini
viral tentang surat terbukanya justru membuat ketakutannya muncul kembali.
Pada awal 2012 hingga 2014 korban benar
benar terlecehkan oleh pihak terlapor yang membuatnya mengalami gangguan
mental, bahkan saat korban tidur saja selalu mengalami mimpi buruk hingga
berteriak terus menerus. Pihak keluarga sudah mencoba untuk membawa korban berobat,
korban mengeluhkan lambung nya selalu sakit yang disebabkan hipertensi naik
akibat trauma dan stress yang berlebihan. Di tempat rujukan berobat lainnya, saat
di rumah sakit dirujuk ke psikiater dan kemudian diberikan obat penenang, juga
korban sempat diantar ke psikolog.
Pada tahun 2015 MS korban dikeroyok 5
orang terlapor, dikeroyok hingga ditelanjangi, alat vitalnya di coret coret,
hal inilah yang membuat trauma berkepanjangan. Pernah ketika KPI mengadakan
bimtek di Bogor, korban sempat diangkat dari tempat tidur oleh pihak terlapor
kemudian dimasukkan ke kolam renang. Hal seperti ini dirasakan dan dialami
terus menerus oleh korban, hingga korban merasa tak mampu lagi untuk menanggung
semua beban.
Korban sudah mencoba untuk mengadu melalui
email kepada Komnas HAM, tepatnya pada Bulan Agustus. Kemudian, Bulan Desember
Komnas HAM memberikan balasan dan memerintahkan agar korban melapor langsung ke
pihak kepolisian karena dianggap kasus ini merupakan perbuatan tindak pidana.
Lalu, korban datang ke Polsek Gambir untuk mengadukan dan laporannya dinyatakan
diterima, setelah melakukan konsultasi kemudian pihak kepolisian menyarankan
agar perkara ini diadukan langsung ke atasan KPI, karena masalah ini dianggap
sebagai internal KPI sendiri. Tetapi, setelah korban mencoba untuk melaporkan
ke atasan, tindakan yang dilakukan hanyalah memindahkan ruangan kerja korban ke
tempat yang berbeda.
Siti Mazuma (Direktur Eksekutif LBH APK)
menyebutkan bahwa terdapat banyak catatan kritis terhadap kasus kekerasan
seksual pegawai KPI ini yaitu adanya kelambanan, baru saja ditangani dan akan
dibantu oleh banyak pihak disaat kasus ini sudah viral. Dan itulah yang sangat
disayangkan, padahal pihak korban sudah berulang kali mencoba melaporkan
kasusnya ke kantor polisi hingga 2 kali tetapi pihak kepolisian tidak
menanggapi, bahkan justru meminta korban untuk melaporkan saja ke lembaga
terkait karena kasus ini dianggap sebagai masalah internal, nomor telepon
pelaku juga sudah sempat diminta oleh pihak kepolisian untuk nantinya dihubungi
oleh polisi. Korban juga langsung
menunjuk pengacara tanpa ada sangkut pautnya dengan pihak KPI, disisi lain KPI
juga cenderung melindungi pihak terlapor yang justru mendapatkan fasilitas
lebih dibandingkan korban.
Hal seperti inilah, kelambanan pihak
berwenang untuk menangani kasus ini, yang akan membuat korban semakin merasa
trauma berulang kali. Semua orang, baik laki – laki ataupun perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual butuh kekuatan untuk berani bersuara, tetapi kemudian setelah berani berbicara justru
keadaan tidak didukung oleh sistem hukum yang seharusnya berpihak kepada korban.
Ketika kasus ini sudah viral, pihak kepolisian
baru akan bertindak mengenai kasus MS (Korban kekerasan seksual). Tetapi
sekarang berbalik kasus tersebut menjadi suatu proses kriminalisasi dalam
artian korban akan dilaporkan balik oleh pihak terlapor. Pasal UU ITE ini yang
kemudian bisa dijadikan dasar pencemaran nama baik, ketika korban sudah berani
bersuara yang kemudian malah diancam dengan pasal UU ITE. Kuasa hukum terduga
pelaku yang mengatakan akan melaporkan balik karena dianggap mencemarkan nama
baik. Mehbob, Koordinator pengacara MS korban mengatakan bahwa hingga sekarang
belum dilaporkan secara resmi, hanya mendengar pernyataan kabar akan dilaporkan
balik ini dari media.
Adanya potensi kriminalisasi terhadap
korban, sudah lapor ke kepolisian tetapi pihak pelaku melaporkan balik, hal
seperti inilah yang memberatkan korban untuk berbicara. Terkait ancaman kriminilasasi
terhadap korban, Mehbob, Koordinator pengacara MS, menjelaskan bahwa semua yang
ditulis korban dalam surat terbuka adalah bukan karangan yang mengada ada.
Surat terbuka yang disampaikan ke komisioner adalah fakta hukum dan bisa
dibuktikan kebenerannya, “Kami dari pihak korban sudah memiliki bukti bukti
yang dibutuhkan tetapi memang belum diungkap.” ungkap Mehbob. Contoh : Rekam
medis yang dirasa sudah cukup untuk menangkal pelaporan balik dari pelaku.
Selain itu, kuasa hukum pelaku juga
menyatakan bahwa tindakannya kepada korban itu hanya sekadar bercanda. Alasan
pembenaran yang disebut sekadar bercandaan ini tentu saja tidak bisa dibenarkan,
Siti Mazuma (Direktur Eksekutif LBH APK) memaparkan bahwa tindakan kekerasan
seksual ini tentu saja sangat tidak bisa dikatakan sekadar bercanda, karena
kasus ini sudah terjadi pada beberapa tahun silam sampai kemudian korban berani
melaporkan. Tingkat kekerasan yang dialami korban juga berlapis, dari bullying
hingga pelecehan seksual yang membuat korban mengalami trauma. Jika masih
dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar, tentu saja sudah diluar rasa empati
dan belas kasihan. Apalagi tindakan kekerasan seksual ini tidak hanya dilakukan
oleh 1 orang saja, melainkan ada 5 hingga 8 orang terduga pelaku, hal ini tentu
saja sangat masif dan terjadi bertahun – tahun. Tetapi, disisi lain KPI dalam
menangani kasus ini sambat lamban, tidak cekatan dan pelayanan yang diberikan
pun hanya sebatas memindahkan ruang kerja korban. Hal seperti inilah yang justru
akan meningkatkan trauma korban dan tidak menyelesaikan masalah.
SOP (Standard Operating Procedure) yang seharusnya
dilakukan institusi dikala ada kasus seperti ini terjadi pada suatu lembaga
tertentu, Siti Mazuma (Direktur Eksekutif LBH APK) mengatakan bahwa KPI tentu
harus melakukan evaluasi, karena dilihat dari kasus kekerasan seksual ini,
pelaporan sudah dilakukan dan diterima tetapi hingga saat ini belum ada
tindakan lanjut.
Pihak korban sempat mengirimkan surat
terbuka di media sosial ke publik netizen, apa yang menjadi latar belakang
pihak korban mengeluarkan statement kembali ke netizen? Mehbob (Koordinator
pengacara MS korban) menyebutkan bahwa tidak diketahui dengan pasti apa latar
belakang mengapa surat itu dikeluarkan. Korban ini diakui jiwanya sangat kuat,
bahkan tidak membiarkan keluarga dari pihak pelaku merasakan dampaknya, yang
menjadi tujuan utamanya adalah kasus ini secepatnya terselesaikan secara hukum.
Salah satu sebab yang mendorong adalah karena menanggung beban yang cukup lama
(±5 – 6 tahun) dan selalu merasakan trauma juga takut, menjadi bayang bayang,
sehingga dengan keadaan mendesak, korban mengungkapkan ke publik agar menjadi
perhatian, karena hingga saat ini pun belum juga menemukan solusi yang terbaik.
Korban juga sempat meminta tolong langsung kepada Presiden Jokowi dalam surat
terbukanya tersebut, seraya berharap permasalahan ini cepat terselesaikan
secara hukum. Setelah surat terbuka ini viral di berbagai kalangan, pihak
kepolisian langsung melangsungkan proses pemeriksaan dan diharapkan kedepannya
nanti tetap berjalan sesuai kadar hukum, dan Komnas HAM juga berjanji akan
mengawal kasus ini hingga tuntas.
Dari banyaknya usaha yang sudah dilakukan
oleh korban, tidak banyak mendapat tanggapan yang baik sehingga korban merasa
enggan untuk melapor, karena seperti sudah melapor tetapi tidak menemukan titik
temu atau jawaban yang diinginkan dari kejadian yang dialaminya. Sistem hukum
juga yang tidak berpihak pada korban, stereotip masyarakat tentang kekerasan
seksual dianggap sebuah aib yang seharusnya disimpan sendiri dan ketika
mengungkapkan pun justru akan dihakimi, ikut menyalahkan korban, untuk menguatkan
psikologisnya sendiri, dan banyak hal yang menjadi pertimbangan (Pengaruh ke
keluarga korban, pem bully an, dan
lain sebagainya). Salah satu faktor utama adalah masyarakat pada umumnya masih
menormalisasi suatu kekerasan seksual dan tidak menganggap isu ini dengan
serius, yang akibatnya banyak terjadi bullying
oleh masyarakat kepada korban, selain itu pun beberapa elemen masyarakat
dipandang kurang sensitif pada kejadian kekerasan seksual yang ada, baik dalam
berita maupun penanganan kasusnya.
Korban bukan hanya fokus pada dirinya
sendiri, melainkan banyak mempertimbangkan hal lainnya, ini banyak sekali
dilakukan oleh korban yang datang ke LBH. Setelah bertahun tahun hingga mampu
memberanikan diri untuk melapor ke LBH, kemudian didampingi ke kantor polisi
untuk membuat pelaporan, tetapi ternyata sistem hukum tidak menyambut dengan
baik, semua laporanya tidak diterima. Bahkan, untuk proses pembuktian sering
dibebankan kepada korban dan kuasa hukumnya, selain itu masih harus membayar
terkait biaya perkara.
Perlakuan dan pembelaan negara terhadap
kasus pelecehan seksual seperti ini karena sebuah keadilan adalah sesuatu yang
didambakan para korban. Bagaimana keadaan telah diupayakan? Amy Fitria
(Penyintas Kekerasan Seksual dan Aktivis) memberikan pemaparan terkait berani
terbuka bicara dari peristiwa yang dialami ke publik, adalah karena merasa
sudah tidak memiliki pilihan lain dan tidak mau harus berbicara ke publik, tidak
mendapatkan keadilan, merasa tidak tenang, takut, dan trauma yang terus menerus.
Melaporkan ke pihak berwajib dan laporannya sudah diterima secara resmi,
dilengkapi dengan baik surat pelaporannya hingga memberikan bukti – bukti yang
sekiranya dibutuhkan. Tetapi, pihak yang berwajib justru mencurigai bahwa
korban mengenali pelaku tersebut dan pada akhirnya tidak ada tindak lanjut. Akhirnya
korban memutuskan untuk membuka cerita nya di medsos, setelah viral dan banyak
diketahui orang baru kemudian polisi bergerak untuk menangkap pelaku.
Sesuai
dengan RUU PKS, bahwa korban belum mendapatkan keadilan sepenuhnya, karena hal
yang sangat dibutuhkan korban adalah keadilan pada setiap jenis kekerasan
seksual yang dialaminya, berhak mendapatkan perlindungan dan mendapat pemulihan
secara professional. Willy Aditya (Ketua Panja RUU PKS) menyebutkan bahwa terkait
kekerasan seksual ini belum memiliki aturan hukum yang jelas, poin hukum, dan
belum spesifik untuk setiap jenis kekerasan seksual. Aparat penegak hukum sudah
seharusnya bertindak sesuai dengan law
order/peraturan perundang – undangan yang ada. Keberadaan RUU PKS menjadi
sangat mendesak agar nantinya diharapkan aparat penegak hukum (Polisi, jaksa,
dll) bisa bertindak sesuai dengan regulasi yang ada, sesuai dengan perspektif
penegak hukum, ketika nantinya ada pihak yang melapor, yang belum memiliki
perspektif korban.
0 comments:
Post a Comment