Oleh : Hadriana Sulni
Seperti
yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum yang dimaksudkan yaitu negara yang
menegakkan supremasi
hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang
tidak dipertanggung
jawabkan (akuntabel).
Negara yang menganut paham negara hukum memiliki tiga prinsip dasar yaitu:
supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan diharapkan
hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak
bertentangan dengan hukum (due process of law).
Tujuan
adanya hukum yaitu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Arti
keadilan sendiri masih menjadi pertanyaan, bagaimana menggunakan keadilan.
Dengan timbulnya berbagai pertanyaan soal keadilan menunjukkan bahwa kita
meragukan arti dari keadilan yang menjadi tujuan hukum. Tidak dipungkiri jika
definisi tentang keadilan yang dikemukakan oleh para ahli akan berbeda-beda satu sama lain.
Oleh karena itu, keadilan adalah sesuatu yang abstrak bahkan subjektif karena
keadilan menyakut
dengan nilai etis yang dimiliki setiap seseorang.
Hal yang paling dasar ketika kita membicarakan tentang hukum yaitu keadilan. Dalam bukunya Nichomachean Ethics, Aristoteles sebagaimana dikutip Shidarta telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Di sini ditunjukkan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya.[1]
Hukum
selalu diciptakan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa agar
tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk menindas rakyatnya. Dengan adanya hukum yang adil
diharapkan setiap orang bisa tunduk kepada hukum, sehingga setiap orang mempunya kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Mencari
dan menemukan keserasian dalam hukum tidaklah sulit dan tidak juga mudah. Kesulitan
mencapai hukum yang ideal adalah pihak-pihak yang bersengketa atau berurusan
dengan hukum dalam mencapai kepuasan atau hasil yang diterima dengan lapang
dada. Kemudahan dalam mencapai hukum yang
ideal apabila terjadi keharmonisan antara teori dan praktik. Hukum mengatur
secara komprehensif tindak
tanduk aktivitas manusia, baik hubungan manusia dengan
manusia, manusia dengan badan hukum, maupun manusia dengan alam (ekosistem
lingkungan). Melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari
manusia (subjek
hukum), sebagaimana dikatakan oleh Gustav Radburch bahwa hukum dalam
pencapaiannya tidak boleh lepas dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Sebagai
subyek hukum, manusia memiliki peran yang esensial dalam mencapai keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum. Manusia dapat mengendalikan sebagaimana yang
diinginkan, namun tetap dalam rambu-rambu norma hukum, sehingga tidak keluar
dari jalur yang seharusnya dilakukan. Setiap manusia menginginkan adanya
kepastian hukum dan keadilan. Tetapi, perlu kita sadari bahwa, ketika hendak menginginkan
keadilan hukum maka kepastian hukum haruslah dicapai terlebih dahulu, agar
dalam penyelenggaraan hukum dalam suatu proses hukum bisa berjalan dengan adil
dan tercapailah keadilan bagi setiap manusia.
Eksistensi
hukum yang dimaksud ialah baik hukum yang bersifat pasif (peraturan
perundang-undangan) maupun bersifat aktif (hakim di pengadilan). Lembaga peradilan sebagai penegak
hukum tidak lebih sebagai corong undang-undang, yang memerankan aturan main dan
procedural . Lembaga peradilan yang dulunya
sebagai tempat mencari keadilan berubah menjadi tempat menerapkan peraturan
perundang-undangan dan prosedur.
Hukum
(undang-undang) dibuat didasarkan peraturan dan logika (rules and logic).
Hukum memiliki cara berpikir sendiri, dilaksanakan oleh administrator
tersendiri dengan dan oleh personil khusus. Dalam praktiknya penegakan hukum
sangat dipengaruhi oleh organisasi yang mempunyai tujuan. Organisasi tersebut
dibentuk untuk melakukan sesuatu sekaligus mencapai tujuan tertentu.[2]
Oleh karena itu bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh organisasi dan
kekuasaan dalam masyarakat. Dalam kenyataannya tujuan-tujuan tersebut berfungsi
untuk menuntun organisasi sehingga selamat.[3]
Dalam
kenyataannya masih banyak penegak hukum dalam menjalankan perannya masih
menggunakan cara-cara konvensional (prosedural dan formal). Hakim sebagai
penegak hukum dalam memutus perkara masih sesuai dengan prosedur yang baku dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan jargonnya kepastian
hukum. Sehingga jika sudah memenuhi ketentuan procedural dan peraturan
perundang - undangan,
hakim sudah memutus perkara sudah adil. Penegakan hukum konvensional tersebut
hanya melahirkan keadilan yang prosedural, bukan keadilan yang substantif.
Pembentuk
perundang-undangan sekalipun konsisten untuk melepaskan diri dari sisi keadilan
sebagai salah satu tujuan hukum, tapi pada hakikatnya akan dituntut untuk
merumuskan teori hukum berdimensi keadilan yang dapat mendukung pentingnya
undang-undang tertentu dilembagakan dalam lembaga negara. Bahwa dalam setiap
perundang-undangan selalu dilengkapi dengan konsideran menimbang, mengatur,
menetapkan. Perlu diketahui di dalam konsideran menimbang tersebut, terdapat
pertimbangan filsufis yang mencatat tujuan hukum sebagai
keadilan atas pembentukan Undang-Undang itu.[4]
Hingga
sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi sebagai
aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga
sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan dalam
melahirkan putusan-putusannya.[5] Hakim
diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar
hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan keadilan. Upaya hakim untuk
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tatkala perkara-perkara hukum hendak
dikonstatir dalam perundang-undangan, lalu perundang-undangan ternyata tidak
cukup memberinya pengaturan. Hakim dalam posisi demikian dapat melakukan
penafsiran dan konstruksi hukum. Perundang-undangan yang belum mampu
mengakomodasi segala kepentingan hukum primer yang terdapat dalam masyarakat.
Sifat kesakralan hukum di Indonesia perlahan memudar dilihat dari banyaknya kasus yang dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Tetapi justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi para pemengang kekuasaan yang dapat memperalat hukum itu sendiri.
[1]
Dardji Darmohardjo, Shidarta., Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan bagaimana
filsafat hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), glm. 156
[2]
Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi
Kemuliaan Keadilan Substantif, 2010, hlm.14
[3]
Ibid., hlm. 15
[4]
Soedikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 78.
[5] Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan
Putusannya. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 51 s/d 54.
0 comments:
Post a Comment