Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Monday, August 30, 2021

Hukum sebagai Alat Penegak Keadilan


Hukum sebagai Alat Penegak Keadilan

Oleh : Hadriana Sulni

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum yang dimaksudkan yaitu negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggung jawabkan  (akuntabel). Negara yang menganut paham negara hukum memiliki tiga prinsip dasar yaitu: supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan diharapkan  hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).

Tujuan adanya hukum yaitu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Arti keadilan sendiri masih menjadi pertanyaan, bagaimana menggunakan keadilan. Dengan timbulnya berbagai pertanyaan soal keadilan menunjukkan bahwa kita meragukan arti dari keadilan yang menjadi tujuan hukum. Tidak dipungkiri jika definisi tentang keadilan yang dikemukakan oleh para ahli akan berbeda-beda satu sama lain. Oleh karena itu, keadilan adalah sesuatu yang abstrak bahkan subjektif karena keadilan menyakut  dengan nilai etis yang dimiliki setiap seseorang.

Hal yang paling dasar ketika kita membicarakan tentang hukum yaitu keadilan. Dalam bukunya Nichomachean Ethics, Aristoteles sebagaimana dikutip Shidarta telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Di sini ditunjukkan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya.[1]

Hukum selalu diciptakan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk menindas rakyatnya. Dengan adanya hukum yang adil diharapkan setiap orang bisa tunduk kepada hukum, sehingga setiap orang mempunya  kedudukan yang sama di hadapan hukum.

Mencari dan menemukan keserasian dalam hukum tidaklah sulit dan tidak juga mudah. Kesulitan mencapai hukum yang ideal adalah pihak-pihak yang bersengketa atau berurusan dengan hukum dalam mencapai kepuasan atau hasil yang diterima dengan lapang dada. Kemudahan dalam mencapai hukum yang ideal apabila terjadi keharmonisan antara teori dan praktik. Hukum mengatur secara komprehensif tindak tanduk aktivitas manusia, baik hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan badan hukum, maupun manusia dengan alam (ekosistem lingkungan). Melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari manusia (subjek hukum), sebagaimana dikatakan oleh Gustav Radburch bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Sebagai subyek hukum, manusia memiliki peran yang esensial dalam mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Manusia dapat mengendalikan sebagaimana yang diinginkan, namun tetap dalam rambu-rambu norma hukum, sehingga tidak keluar dari jalur yang seharusnya dilakukan. Setiap manusia menginginkan adanya kepastian hukum dan keadilan. Tetapi, perlu kita  sadari bahwa, ketika hendak menginginkan keadilan hukum maka kepastian hukum haruslah dicapai terlebih dahulu, agar dalam penyelenggaraan hukum dalam suatu proses hukum bisa berjalan dengan adil dan tercapailah keadilan bagi setiap manusia.

Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik hukum yang bersifat pasif (peraturan perundang-undangan) maupun bersifat aktif (hakim di pengadilan). Lembaga peradilan sebagai penegak hukum tidak lebih sebagai corong undang-undang, yang memerankan aturan main dan procedural . Lembaga peradilan yang dulunya sebagai tempat mencari keadilan berubah menjadi tempat menerapkan peraturan perundang-undangan dan prosedur.

Hukum (undang-undang) dibuat didasarkan peraturan dan logika (rules and logic). Hukum memiliki cara berpikir sendiri, dilaksanakan oleh administrator tersendiri dengan dan oleh personil khusus. Dalam praktiknya penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh organisasi yang mempunyai tujuan. Organisasi tersebut dibentuk untuk melakukan sesuatu sekaligus mencapai tujuan tertentu.[2] Oleh karena itu bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh organisasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam kenyataannya tujuan-tujuan tersebut berfungsi untuk menuntun organisasi sehingga selamat.[3]

Dalam kenyataannya masih banyak penegak hukum dalam menjalankan perannya masih menggunakan cara-cara konvensional (prosedural dan formal). Hakim sebagai penegak hukum dalam memutus perkara masih sesuai dengan prosedur yang baku dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan jargonnya kepastian hukum. Sehingga jika sudah memenuhi ketentuan procedural dan peraturan perundang - undangan, hakim sudah memutus perkara sudah adil. Penegakan hukum konvensional tersebut hanya melahirkan keadilan yang prosedural, bukan keadilan yang substantif.

Pembentuk perundang-undangan sekalipun konsisten untuk melepaskan diri dari sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum, tapi pada hakikatnya akan dituntut untuk merumuskan teori hukum berdimensi keadilan yang dapat mendukung pentingnya undang-undang tertentu dilembagakan dalam lembaga negara. Bahwa dalam setiap perundang-undangan selalu dilengkapi dengan konsideran menimbang, mengatur, menetapkan. Perlu diketahui di dalam konsideran menimbang tersebut, terdapat pertimbangan filsufis yang mencatat tujuan hukum sebagai keadilan atas pembentukan Undang-Undang  itu.[4]

Hingga sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi sebagai aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan dalam melahirkan putusan-putusannya.[5] Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan keadilan. Upaya hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tatkala perkara-perkara hukum hendak dikonstatir dalam perundang-undangan, lalu perundang-undangan ternyata tidak cukup memberinya pengaturan. Hakim dalam posisi demikian dapat melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Perundang-undangan yang belum mampu mengakomodasi segala kepentingan hukum primer yang terdapat dalam masyarakat.

Potret penegakan hukum di Indonesia telah berada dititik yang tidak seimbang, diibaratkan pedang bermata satu yang tumpul diatas tetapi tajam di bawah. Mengapa tidak, akhir-akhir ini banyak sekali kita melihat fenomena-fenomena proses hukum berlaku sepihak terhadap yang kuat dan menyasar yang lemah. Seharusnya penegak hukum di Indonesia harus bersikap adil kepada masyarakat tanpa melihat latar belakang seluruh masyarakat Indonesia.

Sifat kesakralan hukum di Indonesia perlahan memudar dilihat dari banyaknya kasus yang dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Tetapi justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi para pemengang kekuasaan yang dapat memperalat hukum itu sendiri.

 



[1] Dardji Darmohardjo, Shidarta., Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), glm. 156

[2] Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Kemuliaan Keadilan Substantif, 2010, hlm.14

[3] Ibid., hlm. 15

[4] Soedikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 78.

[5] Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 51 s/d 54.



0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes