Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Thursday, July 1, 2021

Menggagas Perubahan Kelima Undang – Undang Dasar 1945

Menggagas Perubahan Kelima Undang – Undang Dasar 1945

 Oleh: Dina Nurfadilah

 

Indonesia adalah suatu bangsa, yang memiliki hukum dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh para pendiri negara. UUD 1945 sudah mengalami perubahan (amandemen) sebanyak 4 kali, yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi banyak yang menilai hasil perubahan belum sepenuhnya menjamin penyelenggaraan ketatanegaraan yang lebih baik, karena belum lengkap dan sistematis sebagai satu hukum dasar yang komprehensif, yang berarti konstitusi itu mampu mengatur dan melindungi hak-hak fundamental rakyat yakni mengatur secara jelas dan tegas fungsi serta kewenangan para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), serta tidak mengandung kepentingan kelompok tertentu. Sedangkan, sistematis sendiri mengandung arti bahwa konstitusi harus memiliki paradigma yang jelas dan rumusan pasal-pasalnya disusun secara runtut, tidak saling bertentangan satu dengan lainnya.

 

1.       Perubahan Komprehensif

Tiga Isu Sentral Perubahan kelima UUD 1945 yang digagas oleh DPD, yang tentu saja cukup substansial dan perlu dielaborasi, yaitu:


1)  Untuk memperkuat Sistem Presidensial yaitu Penguatan sistem presidensial pada hakikatnya bukan memperkuat kedudukan presiden, melainkan sistem pemerintahannya yang perlu diperkuat.

2)  Untuk memperkuat Lembaga Perwakilan yaitu MPR harus didesain yang terdiri atas DPR dan DPD sebagai lembaga negara. Hal sangat substansial, terutama dalam pengambilan keputusan bersama yang harus dilihat pada eksistensi lembaga bukan pada jumlah anggota sehingga tercipta keseimbangan dalam dua kamar legislasi. Kewenangan DPD dalam Pasal 22D UUD 1945 yang berkaitan dengan legislasi, hanya sekadar mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan/pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

3)  Untuk memperkuat Otonomi Daerah yaitu Konsep otonomi daerah dan pola pemerintahan di daerah secara konsisten mengikuti perkembangan teori, terutama pada hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam konteks bentuk negara, ada yang disebut Negara Kesatuan dan Negara Federal. Dalam desain Negara Kesatuan, dibentuk dan dibagi ke dalam beberapa daerah, sehingga pola kekuasaan negara pada hakikatnya berada pada pemerintah pusat, kemudian kekuasaan itu dibagi ke daerah.

2.       Desain Bikameral yang Efektif

Konsep perubahan komprehensif UUD 1945 telah dibuat dan dibukukan oleh DPD yang tentu perlu disosialisasikan kepada rakyat secara luas untuk memperoleh masukan dan aspirasi. Usulan perubahan UUU 1945 diluncurkan oleh DPD pada tanggal 5 Maret 2009 untuk dinilai publik layak tidaknya perubahan dilakukan. Sejumlah pakar ekonomi, pertahanan dan keamanan, otonomi daerah, tokoh masyarakat, dan politisi, serta pemerintah daerah turut memberikan masukan.

    Usul perubahan (amandemen) sebagai tindak lanjut dari usulan DPD (periode 2004-2009) dilakukan pada Agustus 2007 yang mengalami jalan buntu. Penyebabnya karena syarat krusial dalam Pasal 37 Ayat (1) UUD 1945 tidak dipenuhi, yaitu minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Jumlah dukungan tidak mencapai batas minimal, yaitu 226 anggota dari total 678 anggota MPR periode 2004-2009. Meski pada awalnya jumlah dukungan cukup signifikan, namun dalam perjalanannya jumlah tersebut terus menyusut akibat anggota fraksi besar di MPR yang berasal dari partai politik ramai-ramai menarik dukungannya, sehingga tidak memenuhi batas minimal untuk dilakukan agenda sidang perubahan. Untuk saat ini jumlah anggota MPR periode 2009-2014 adalah 692 orang, sehingga untuk memenuhi ketentuan minimal 1/3 harus didukung 231 anggota MPR. Usul perubahan komprehensif bukan hanya mendesain penguatan DPD dalam dua kamar (bikameral system) yang efektif, tetapi yang juga amat penting adalah penguatan sistem presidensial, hak asasi manusia, otonomi daerah dan hubungan pemerintah pusat-daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, serta sistematika UUD 1945 yang sesuai dengan teori pembentukan konstitusi. Ini menunjukkan, konstitusi negara sebagai hukum dasar tetap sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara teoretis, konstitusi suatu negara tidak bersifat abadi yang tidak boleh diubah, apalagi Pasal 37 UUD 1945 memungkinkan untuk dilakukan. Perubahan UUD 1945 memang tidak gampang, sebab Pasal 37 UUD 1945 menetapkan empat tahap yang mesti dilalui. Pertama, usulan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Kedua, usul perubahan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang akan diubah beserta alasannya. Ketiga, sidang harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR (jumlah anggota MPR saat ini sebanyak 692, terdiri dari 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD). Keempat, putusan perubahan harus disetujui sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu seluruh anggota MPR.

Agenda penting dalam perubahan kelima UUD 1945 adalah bagaimana DPD berperan dalam bikameral yang efektif sebagai konsekuensi terbentuknya dua kamar dalam badan legislatif. Selama ini, keberadaan DPD tidak lebih sebagai aksesori demokrasi dalam sistem perwakilan. Jika DPR sering menuntut agar DPD bekerja dan berbuat terlebih dahulu barulah menuntut penambahan kewenangan, tentu tidak begitu saja diterima. Apa yang mesti dikerjakan jika hanya sekadar mengusulkan RUU atau memberikan pertimbangan, tetapi tidak turut menentukannya.

Penguatan konsep NKRI dalam UUD 1945 yang telah di amandemen menurut A. Mukthie Fadjar adalah tidak dimaksudkan bersifat sentralistis sebagaimana tersirat dalam Pasal 18 UUD 1945 (baik yang asli maupun sesudah perubahan kedua), yang berarti kita menganut bentuk negara kesatuan dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi, atau dengan kata lain menganut asas otonomi pada pemerintahan daerah. DPD dapat berperan aktif untuk meredam potensi separatis yang kemungkinan muncul di daerah untuk menuntut pemisahan. DPD akan berfungsi sebagai instrumen perekat NKRI sehingga korelasi kepentingan antara pusat daerah lebih terjamin.

Meskipun banyak aspek yang signifikan dalam empat kali perubahan UUD 1945, karena melahirkan sistem ketatanegaraan yang cukup baru, tetapi di sisi lain juga masih ada kelemahan, seperti begitu kuatnya parlemen (DPR) yang terlibat cukup jauh dalam kewenangan administratif eksekutif (presiden). Misalnya, pada pengisian jabatan publik yang harus mendapat pertimbangan dan/atau persetujuan DPR (pemilihan hakim agung, pengangkatan/penerimaan duta negara lain, pemilihan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya).

Untuk itulah pentingnya menempatkan DPD dalam kamar lain yang akan mengimbangi dominasi DPR. Secara teoretis, hasil perubahan UUD 1945 belum memberikan pencerahan yang lebih baik terhadap kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Sejumlah rumusan pasal masih sulit dipahami oleh sebagian besar warga masyarakat.

Untuk menyempurnakan UUD 1945 perlu dilakukan perubahan komprehensif yang bukan hanya mendesain penguatan DPD dalam dua kamar (bikameral system) yang efektif, tetapi yang juga penguatan sistem presidensial, hak asasi manusia, otonomi daerah dan hubungan pemerintah pusat-daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, serta sistematika UUD 1945 yang sesuai dengan teori pembentukan konstitusi. UUD 1945 sebagai hukum dasar tetap butuh perbaikan sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes