POTENSI ZAKAT PROFESI DI INDONESIA
Oleh:
Wafiq Ulin Nuha
Potensi zakat di
Indonesia pada 2020 melihat data Baznas tercatat sebesar Rp 233,84 Triluin
mencakup semua jenis zakat. Dan porsi terbesar terdapat pada zakat profesi atau
penghasilan, yaitu sebanyak Rp 139,07 Triliun. Tapi dalam realisasinya
perhimpunan zakat oleh lembaga LAZ resmi masih belum optimal, dan tercatat
hanya mencapai 5,2% saja. Zakat adalah bentuk dari pemberdayaan ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat, melihat begitu besarnya potensi zakat seharusnya bisa
membantu untuk memberikan penghidupan yang lebih baik bagi penerimanya.
Sehingga pengelolaannya perlu lebih dioptimalkan terutama zakat penghasilan
sebagai pemegang porsi terbanyak dari potensi zakat di Indonesia.
Zakat penghasilan
atau sering disebut zakat profesi adalah bagian dari zakat mal yang wajib
dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin dari
pekerjaan yang tidak melanggar syariah dan telah mencapai nishab.[1]
Pendapat lain mengatakan, yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat dari
penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dari keahlian tertentu, seperti
dokter, arsitek, guru atau dosen dan tenaga pendidik lainnya, pegawai negeri
dan swasta, pengacara dan selainnya.[2]
Dengan demikian zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan
baik rutin dan tidak rutin dari sebuah keahlian tertentu. Pembahasan zakat profesi ini tidak ditemui
dalam khasanah keilmuwan islam zaman nabi maupun para ulama salaf, karenanya
zakat profesi ini termasuk fenomena kontemporer. Dan di Indonesia zakat profesi
ini telah diatur dalam hukum positif dan dimasukkan kedalam zakat mal dan
dikategorikan sebagai “pendapatan dan jasa” yang ditegaskan dalam pasal 4 ayat (2) UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat. Penerapannya lebih diperkuat lagi dengan adanya Fatwa MUI No 3 Tahun
2003 tentang Zakat Penghasilan.[3]
Dalam fatwa MUI
tersebut yang dimaksud dengan penghasilan adalah “setiap pendapatan seperti
gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal,
baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin
seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejensinya, serta pendapatan yang
diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya”. Jadi penghasilan baik yang dipeoleh
secara rutin maupun tidak semuanya wajib dikeluarkan zakatnya setelah
terpenuhinya nishab selama satu tahun. Nishab zakat profesi dalam Fatwa MUI
disetarakan dengan nishab emas yakni senilai 85 gram. Sedangkan dalam Peraturan
Menteri Agama No 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat
Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif didalam
pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa nishab zakat pengahsilan senilai nishab
zakat pertanian yaitu 653 kg gabah atau 524 kg beras. Zakat ini bisa dibayarkan
dalam dua waktu; pertama dibayarkan pada saat menerima gaji jika sudah
mencapai nishab, kedua jika belum mencapai nishab maka diakumulasikan
atau dikumpulkan dalam satu tahun kemudian dibayarkan jika sudah mencapai
nishab. Jumlah yang harus dibayarkan yaitu sebesar 2,5% dari gaji bersih, yaitu
keseluruhan gaji yang sudah dikurangi oleh kebutuhan pokok (sandang, pengan,
papan) dan kebutuhan operasional.
Mengingat potensi
yang cukup besar maka pengelolaan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
penghasilan ini harus memenuhi dua hal, yaitu dikelola oleh lembaga yang
berwenang dan pendistribusian yang tepat sasaran. Pertama; Lembaga
yang diwenangi untuk melakukan pengelolaan zakat di Indonesia adalah BAZNAS
sebagaimana dalam pasal 7 UU No 23 Tahun
2011 menyebutkan Badan Amil Zakat Nasonal yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan
zakat secara nasional. Yang kemudian dalam penerapannya BAZNAS dibantu oleh
Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengumupulan Zakat (UPZ). Terkait kelembagaan
dan operasional dan BAZNAS dan lembaga-lembaga terkait juga telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Kewenangan dalam peraturan tersebut
sangat penting guna menjamin pengelolaan zakat bisa berjalan dengan amanah dan
dapat dipertanggung jawabkan. Karena jika tidak maka rawan untuk
disalahgunakan, mengingat masih tingginya angka korupsi di Indonesia bahkan
bantuan sosial juga tidak luput dari incaran korupsi.
Kedua; pendistribusian zakat penghasilan harus tepat sasaran yaitu diberikan
kepada para mustahik atau orang yang berhak menerima zakat sebagaimana yang
telah disebutkan dalam QS At Taubah ayat 60. Selain didistribusikan, zakat baik
secara umum maupun khusus yaitu zakat penghasilan dapat juga didayagunakan
untuk usaha produktif. Dan tentunya pendayagunaan ini dilakukan setelah pendistribusian
para mustahik tercukupi. Selain itu pendayagunaan untuk usaha produktif juga
dilakukan dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
Kemenag sejak tahun
2018 memiliki wacana Pemungutan Gaji Untuk Zakat bagi Profesi ASN Muslim. Dan
awal tahun 2021 ini wacana tersebut kembali ramai dibicarakan bahkan Peraturan
ini sudah siap diajukan ke Presdien Jokowi untuk dibuatkan Perpres. Wacana ini
banyak menui pro dan kontra. Banyak yang menilai zakat termasuk urusan atau
ranah pribadi setiap muslim, sehingga pemerintah tidak berhak untuk masuk ke
ranah tersebut. Ditambah lagi banyak juga para ASN muslim yang sudah dengan
sadar dan rutin menunaikan zakat profesi ini secara pribadi, sehingga
dikhawatirkan akan adanya tumpang tindih penunaian zakat jika peraturan ini
diterbitkan. Disisi lain dikatakan hal ini sebagai bentuk fasilitas dari
pemerintah untuk ASN muslim menunaikan kewajibannya. Dan juga dalam
penerapannya ada kriteria tertentu sehingga seorang ASN akan dipungut gajinya
untuk zakat, yaitu ASN yang golongan penghasilannya sudah memenuhi nishab,
sehingga bagi yang belum memenuhi nishab maka tidak dikenai pemotongan gaji
untuk zakat. Terlepas dari itu pemerintah tetap harus berdiskusi kepada banyak
pihak untuk menerbitkan peraturan ini, terutama kepada BAZNAS selaku lembaga
yang berwenang meneglola zakat dan MUI sebagai representasi dari masyarakat
islam di Indonesia.
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)
[2] Dr. Hannani, M.Ag. Zakat Profesi dalam Tataran Teoritik dan Praktik (Yogyakarta: Trust Media Publhising, 2017) h. 29
0 comments:
Post a Comment