Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sunday, May 30, 2021

POTENSI ZAKAT PROFESI DI INDONESIA

 


POTENSI ZAKAT PROFESI DI INDONESIA

Oleh: Wafiq Ulin Nuha

    Potensi zakat di Indonesia pada 2020 melihat data Baznas tercatat sebesar Rp 233,84 Triluin mencakup semua jenis zakat. Dan porsi terbesar terdapat pada zakat profesi atau penghasilan, yaitu sebanyak Rp 139,07 Triliun. Tapi dalam realisasinya perhimpunan zakat oleh lembaga LAZ resmi masih belum optimal, dan tercatat hanya mencapai 5,2% saja. Zakat adalah bentuk dari pemberdayaan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, melihat begitu besarnya potensi zakat seharusnya bisa membantu untuk memberikan penghidupan yang lebih baik bagi penerimanya. Sehingga pengelolaannya perlu lebih dioptimalkan terutama zakat penghasilan sebagai pemegang porsi terbanyak dari potensi zakat di Indonesia.

    Zakat penghasilan atau sering disebut zakat profesi adalah bagian dari zakat mal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah dan telah mencapai nishab.[1] Pendapat lain mengatakan, yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat dari penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dari keahlian tertentu, seperti dokter, arsitek, guru atau dosen dan tenaga pendidik lainnya, pegawai negeri dan swasta, pengacara dan selainnya.[2] Dengan demikian zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan baik rutin dan tidak rutin dari sebuah keahlian tertentu.  Pembahasan zakat profesi ini tidak ditemui dalam khasanah keilmuwan islam zaman nabi maupun para ulama salaf, karenanya zakat profesi ini termasuk fenomena kontemporer. Dan di Indonesia zakat profesi ini telah diatur dalam hukum positif dan dimasukkan kedalam zakat mal dan dikategorikan sebagai “pendapatan dan jasa” yang ditegaskan  dalam pasal 4 ayat (2)  UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Penerapannya lebih diperkuat lagi dengan adanya Fatwa MUI No 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan.[3]

    Dalam fatwa MUI tersebut yang dimaksud dengan penghasilan adalah “setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejensinya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya”. Jadi penghasilan baik yang dipeoleh secara rutin maupun tidak semuanya wajib dikeluarkan zakatnya setelah terpenuhinya nishab selama satu tahun. Nishab zakat profesi dalam Fatwa MUI disetarakan dengan nishab emas yakni senilai 85 gram. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama No 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif didalam pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa nishab zakat pengahsilan senilai nishab zakat pertanian yaitu 653 kg gabah atau 524 kg beras. Zakat ini bisa dibayarkan dalam dua waktu; pertama dibayarkan pada saat menerima gaji jika sudah mencapai nishab, kedua jika belum mencapai nishab maka diakumulasikan atau dikumpulkan dalam satu tahun kemudian dibayarkan jika sudah mencapai nishab. Jumlah yang harus dibayarkan yaitu sebesar 2,5% dari gaji bersih, yaitu keseluruhan gaji yang sudah dikurangi oleh kebutuhan pokok (sandang, pengan, papan) dan kebutuhan operasional. 

    Mengingat potensi yang cukup besar maka pengelolaan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat penghasilan ini harus memenuhi dua hal, yaitu dikelola oleh lembaga yang berwenang dan pendistribusian yang tepat sasaran. Pertama; Lembaga yang diwenangi untuk melakukan pengelolaan zakat di Indonesia adalah BAZNAS sebagaimana  dalam pasal 7 UU No 23 Tahun 2011 menyebutkan Badan Amil Zakat Nasonal yang selanjutnya disebut BAZNAS  adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Yang kemudian dalam penerapannya BAZNAS dibantu oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengumupulan Zakat (UPZ). Terkait kelembagaan dan operasional dan BAZNAS dan lembaga-lembaga terkait juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Kewenangan dalam peraturan tersebut sangat penting guna menjamin pengelolaan zakat bisa berjalan dengan amanah dan dapat dipertanggung jawabkan. Karena jika tidak maka rawan untuk disalahgunakan, mengingat masih tingginya angka korupsi di Indonesia bahkan bantuan sosial juga tidak luput dari incaran korupsi.

    Kedua; pendistribusian zakat penghasilan harus tepat sasaran yaitu diberikan kepada para mustahik atau orang yang berhak menerima zakat sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS At Taubah ayat 60. Selain didistribusikan, zakat baik secara umum maupun khusus yaitu zakat penghasilan dapat juga didayagunakan untuk usaha produktif. Dan tentunya pendayagunaan ini dilakukan setelah pendistribusian para mustahik tercukupi. Selain itu pendayagunaan untuk usaha produktif juga dilakukan dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.

    Kemenag sejak tahun 2018 memiliki wacana Pemungutan Gaji Untuk Zakat bagi Profesi ASN Muslim. Dan awal tahun 2021 ini wacana tersebut kembali ramai dibicarakan bahkan Peraturan ini sudah siap diajukan ke Presdien Jokowi untuk dibuatkan Perpres. Wacana ini banyak menui pro dan kontra. Banyak yang menilai zakat termasuk urusan atau ranah pribadi setiap muslim, sehingga pemerintah tidak berhak untuk masuk ke ranah tersebut. Ditambah lagi banyak juga para ASN muslim yang sudah dengan sadar dan rutin menunaikan zakat profesi ini secara pribadi, sehingga dikhawatirkan akan adanya tumpang tindih penunaian zakat jika peraturan ini diterbitkan. Disisi lain dikatakan hal ini sebagai bentuk fasilitas dari pemerintah untuk ASN muslim menunaikan kewajibannya. Dan juga dalam penerapannya ada kriteria tertentu sehingga seorang ASN akan dipungut gajinya untuk zakat, yaitu ASN yang golongan penghasilannya sudah memenuhi nishab, sehingga bagi yang belum memenuhi nishab maka tidak dikenai pemotongan gaji untuk zakat. Terlepas dari itu pemerintah tetap harus berdiskusi kepada banyak pihak untuk menerbitkan peraturan ini, terutama kepada BAZNAS selaku lembaga yang berwenang meneglola zakat dan MUI sebagai representasi dari masyarakat islam di Indonesia.


Bidang Penelitian dan Pengembangan

Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)



[1] Baznas.go.id/zakatpenghasilan
[2] Dr. Hannani, M.Ag. Zakat Profesi dalam Tataran Teoritik dan Praktik (Yogyakarta: Trust Media Publhising, 2017) h. 29
[3] Mui.ir.od/produk/fatwa/zakat-penghasilan


0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes