Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Friday, January 29, 2021

VAKSINASI: ANTARA ANCAMAN ATAU KEBUTUHAN

 VAKSINASI: ANTARA ANCAMAN ATAU KEBUTUHAN

Oleh : Taufiqullah Hasbul

 



Posisi Indonesia di awal tahun begitu dilematis, covid-19 telah melumpuhkan berbagai sektor; ekonomi, sosial, dan pendidikan. Pada awal tahun ini, masyarakat digegerkan dengan program vaksinasi oleh pemerintah. Pada bulan desember lalu, vaksin corona pertama kali tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan jumlah 1,2 juta dosis. Pihak pemerintah telah menetapkan enam vaksin covid-19 untuk dipakai di Indonesia, yakni vaksin buatan Bio Farma, Sinovac, Pfizer, Sinopharm, Moderna, dan AstraZeneca.

Pada awal tahun 2021 ini, pemerintah Indonesia kembali mendatangkan vaksin Sinovac sebanyak 1,8 juta dosis, kedatangan vaksin ini merupakan kedua kalinya. Antusiasme pemerintah dalam memerangi covid-19 tidak perlu diragukan lagi. Mereka terus bekerja demi kemaslahatan bersama di tengah pandemi. Dari sinilah, pemerintah melaksanakan tangung jawabnya berupa to respect (melindungi), to protect (melindungi), dan to fullfill (memenuhi). Hal tersebut merupakan ketetapan Hak Asasi Manusia dalam ranah kesehatan sebagai hak dasar setiap individu dan semua warga negara yang telah dideklarasikan secara univesal oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1948.

Pesimisme Masyarakat

Pada hari Rabu tangga 13/01/2020 pemerintah melakukan vaksinasi pertama kalinya, pelaksanaan perdana vaksinasasi tersebut juga tidak tangung-tangung, pasalnya yang disuntik vaksin pertama kali adalah presiden Joko Widodo. Hal demikian bukan berati masyarakat antusias untuk bersedia divaksin oleh pihak yang berwenang, seorang figur presiden belum tentu dijadikan patokan hidup untuk mengikutinya, apalagi masalah vaksinasi yang masih timbul pro dan kontra terkait konsekuensi kesehatannya.

Masyarakat Indonesia masih mempertimbangkan keamanan suntik vaksin, bahkan masih banyak yang bersifat bodo amat dan menganggap vaskin itu berbahaya. anggapan demikian bukan tidak ada alasan. peneliti vaksin Covid -19 mulai memeperhatikan pengaruh kekebalan tubuh yang justru dapat meningkatkan penyakit dari pada melndungi dari infeksi yang akan timbul setelahnya. Inilah yang disebut peningkatan yang bergantung pada antibodi ( Antibody Dependent Enhancement/ADE).

Indonesia sebagai negara yang menyandang status ‘berkembang’ acap kali kelas ekonomi masyarakatnya rentan pada kelas menegah ke bawah, kondisi demikian menjadi ancaman serius untuk ikut divaksinasi. Meskipun pemerintah telah menggaratiskan vaskin, namun rasa khawatir dan cemas belum bisa hilang. Pemerintah masih kesulitan mempengaruhi masayarakat untuk ikut andil dalam vaksinasi. Hal tersebut memang sungguh sulit, harus ada kordinasi bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

Pemerintah daerah masih banyak yang menyibukkan diri dengan kineja lain. Rasa antusiasme membasmi covid-19 seakan-akan purna. Masih banyak konflik kesehatan (rumah sakit dan puskemas) yang masih bersenda gurau kebijakan dengan pemerintah daerah setempat. Semisal minimnya fasilitas dan pelayanan di sektor kesehatan, korupsi dana bantuan oleh


kepala desa atau lembaga atasan di sektor sosial politik kehidupan masyarakat. Hal demikian merupakan ilustrasi ketidakseriusan pemerintah daerah menghadapi kerisis global ini.

Polemik Keadaan Darurat

Covid-19 telah banyak memakan korban, semua orang getar-getir menjalani hidup, pekerjaan yang dulunya normal menjadi hilang seketika. Bertahan hidup dalam kadaan saat ini sangatlah susah bagi orang yang tidak mempunyai pemasukan tetap. Problematika demikian harus diperhatikan oleh pemerintah agar tidak terjadi krisis. Bagaimanapun pihak pemerintah harus benar-benar cerdik mengatasi pandemi global ini, lebih cerdik dari pada berpolitik.

Kendati demikian, pemerintah melakukan program wajib vaksinasi terhadap masyarakatnya. Seperti diketahui vaksinasi dilakukan setelah Badan Pengelola Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin penggunaan vaksin darurat (EUA) dan juga Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan sertifikat halal. Namun ternyata masih ada pihak yang menolak vaksin Covid-19

Misalnya Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning dengan tegas menolak disuntik vaksin Covid-19. Dia menyampaikan hal ini dalam rapat kerja Komisi IX yang dihadiri Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Ribka bahkan siap membayar denda sebagai hukuman menolak vaksin Covid-19. Dia mengambil sikap ini lantaran menilai belum ada hasil uji klinis tahap III yang dilakukan Bio Farma.

Namun pemerintah tetap menegaskan kepada masyarakat untuk ikut andil dalam program vaksinasi. Bahkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Prof Edward

O.S Hiariej dengan tegas mengatakan bahwa pihak yang menolak vaksinasi covid-19 bisa dipidana. Ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 93 yang berbunyi “ setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehataan sehinga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta”. Dilanjut pada pasal 9 yang berbunyi “bahwa setiap orang wajib memenuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaran kekarantinaan kesehatan.

Tentunya pemerintah tidak mau program vaksinasi berjalan dengan tidak sesuai harapan, maka prsiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19. Lewat Perpres inilah pemerintah menetapkan jenis dan jumlah vasksin covid-19.

Di samping itu, beberapa ormas besar keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah ikut menyerukan untuk mengikuti program vaksinasi. Tentu vaksin yang diberikan ke masyarakat harus terjamin keamanan dan efektifitasnya. Untuk menjamin hal tersebut, produsen vaksin harus mengikuti seluruh prosedur yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM).

Dua ormas organisasi Islam di Indonesia tersebut berusaha menghilangkan rasa kekhawatiran masyarakat dengan ikut mendukung program vaksinasi. Cara tersebut sangatlah ampuh untuk mempengaruhi masyarakat yang notabene beragama Islam. Ditambah keluarnya


fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menetapkan bahwa vaksin COVID-19 produksi Sinovac, yang diajukan proses sertifikasinya oleh PT. Bio Farma, adalah SUCI & HALAL. Bahkan Raffi Ahmad menjadi salah satu artis pertama yang divaksin, figur terkenal ini juga berupaya membantu pemerintah mempercayai masyarakat bahwa vaksinasi itu aman.

Oleh karena itu masayarakat tidak perlu takut dan khawatir lagi terkait keamanan vaksinasi. Selama menjadi program kinerja pemerintah, maka tanggung jawab pihak terkait tetap harus dilaksanakan. Sebagai negara hukum maka masyarakat harus saling menjunjung tingi asas hukum ‘Salus Populi Suprema Lex Esto' yang berari keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Saatnya ikut vaksinasi, waktunya hilangkan pandemi.

 

 

· Penulis Merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum Semester 3 Sekaligus Anggota PSKH Angkatan 19 ( Korp Aksata Jagaddhita)

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes