Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tuesday, October 13, 2020

“Anjay” dipidana, Haruskah?

 

Anjay dipidana, Haruskah?
(Analisis Prespektif Hukum Positif dan Hukum Islam)

Oleh Muhammad Minanur Rahman

            Dunia maya sekarang ini diramaikan dengan adanya sebuah wacana “orang yang mengatakan kata "anjay" akan dipidana”. Hal ini dinyatakan dalam press release Komisi Nasional Perlindungan Anak (selanjutnya ditulis Komnas PA):

Istilah “anjay” mengandung unsur kekerasan dan merendahkan martabat seseorang adalah salah satu bentuk kekerasan atau Bullying  yang dapat dipidana.”

            Press release tersebut pada dasarnya merupakan kekhawatiran Komnas PA terhadap segala potensi yang bisa berujung pada kekerasan verbal atau bullying. Selanjutnya, dijelaskan bahwa kataAnjay” mempunyai berbagai makna yang tergantung pada kondisi dan tempatnya. Seringkali orang menggunakan kata “Anjay” sebagai kata ganti salut atau suatu yang hal yang bermakna kekaguman contohnya, “ Wah, Keren, Gila, Mantap.”

            Akan tetapi, dalam press releasnya dijelaskan juga bahwa  bahwa kata “anjing” dan juga “anjay” tidak diperbolehkan apabila ditujukan untuk merendahkan martabat orang lain atau sebagai bentuk suatu bullying. Meski begitu, apabila digunakan dalam konteks kepada teman atau sahabat yang sudah mengenal dengan baik dan tidak menimbulkan potensi kekerasan, maka tidak dipermasalahkan.

            Dari sini, timbul suatu pertanyaan "haruskah orang yang mengakatan “anjay” dihukum pidana? Apakah bisa?"

            Dalam menjawab ini penulis menganalisis dengan dua prespektif yaitu prespektif hukum positif dan hukum Islam.

            Dalam hukum positif, tindakan mengatakan tuduhan kotor seperti ‘hewan, bangsat atau yang lain-lain” dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan. Tindakan ini dapat dipidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) pada Pasal 315 yang berbunyi

 “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan tulisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

            Dalam pasal ini terdapat dua unsur yang harus terpenuhi yaitu unsur kesengajaan dan unsur untuk diketahui umum. Jika dua unsur ini terpenuhi maka bisa dikategorisasikan sebagai penghinaan ringan.

            Dalam hal ini, alasan yang dijadikan Komnas PA untuk melegitimasi hal ini berdasarkan definisi kekerasan yang terdapat pada Undang Undang  Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 huruf 15a yang berbunyi:

Kekerasan adalah setiap bentuk perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

            Dari dua pasal diatas, menurut pengamatan penulis bahwa yang menjadi objek dijatuhinya hukuman pidana adalah perbuatan yang menjadi akibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan, bukan hanya sebatas kata tertentu yang digunakan untuk menjatuhkan kemudian kata tersebut digeneralisir dimasukkan kedalam ranah pidana.

            Disisi lain, bila dilihat dari prespektif lingiuistik, kata “anjay” sendiri masih mempunyai multitafsir. Karena kata “anjay” tidak selalu ditempatkan dalam konteks pemaknaan kekerasan atau menurunkan martabat seperti yang ditulis oleh komnas PA. Bahkan sering kali, kata “anjay” digunakan untuk menyatakan kekaguman pada suatu hal. Hal inilah yang menjadi pertanyaan, apakah dengan begitu kata “anjay” bisa dimasukkan kedalam “penghinaan” seperti yang tercantum dalam KUHP? .Ditambah lagi, kata ‘anjay’ tidak masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). Berbeda halnya dengan kata “Bangsat, hewan, jalang dll” yang seringkali digunakan untuk merendahkan orang lain. Maka dengan melihat hal tersebut, kata “anjay” tidak bisa menjadi sebab utama untuk dimasukkan kedalam ranah pidana.      

            Dalam prespektif selanjutnya,  hukum Islam dipandang perlu untuk memberikan suatu pandangan yang sangat bijak. Dikarenakan hukum Islam selain mempunyai asas kepastian hukum, juga mempertimbangkan nilai moral didalam setiap hukumnya. Sehingga sangat proporsional dalam menempatkan permasalahan ini.

            Perlu diketahui, bahwa ucapan yang keluar dari lisan adalah refleksi daripada hati. Sebaik baiknya hati, jika lisan tidak bisa terjaga maka sama saja seperti membersihkan kotoran dengan air najis.

            Rasulullah  dalam selalu memerintahkan untuk selalu menjaga lisan dan memperingatkan bahaya lisan yang kotor:


مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang lebih berat ditimbangan kebaikan seorang mu’min pada hari kiamat nanti seperti akhlaq yang mulia, dan sesungguhnya Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” (H.R. Tirmidzi)

            Bahkan ada pepatah Arab yang menyatakan bahwa selamatnya seseorang itu tergantung bagaimana cara ia menjaga lisannya.

سلامة الإنسان في حفظ اللسان

Artinya : “keselamatan manusia terletak dalam menjaga lisannya.”

            Kata-kata kotor yang keluar dari mulut seseorang itu menandakan kurangnya akhlak dalam dirinya. Apalagi sampai menjadikan lawan bicara merasa terintimidasi, terdeskriminiasi dan terdholimi. Perbuatan tersebut sangat dipandang buruk oleh hukum Islam, sehingga tak heran Imam Al Ghozali dalam kitab Ihya’nya menghukuminya haram serta mendapatkan dosa besar.

            Untuk itu, perlu disadari bahwa sebaik-baiknya kata “anjay” tetap saja dipandang buruk oleh orang yang mendengarnya. Setiap orang mempunyai pemaknaan sendiri dengan kata “anjay”, sehingga tidak akan pernah tahu ketersinggungan lawan bicara ketika diucapkannya. Apalagi yang diumpat adalah anak kecil yang notabenenya masih belum tahu baik dan buruk. Maka  hal ini bisa menjadi dampak buruk bagi lisan anak kecil tersebut.           

            Sampai sini, jelaslah bahwa kata anjay ini seharusnya tidak harus dibawa keranah pidana. Selain kata ini masih multitafsir, kata anjay juga belum ada dalam KBBI. Titik tekan yang yang dihukumi itu adalah perbuatan yang mengandung unsur kekerasan bukan hanya fokus pada penggunaan katanya saja. Namun, sebaik apapun kata anjay tetap saja berkonotasi kurang baik. Sebagai orang muslim, hendaklah lebih bisa menjaga lisan, karena kita tidak pernah tahu apa yang kita ucapkan akan menyinggung orang lain atau tidak. Untuk itu, sesama saudara muslim seharusnya saling menjaga sikap dan ucapan Sehingga dari sini akan akan terbangun Ukhuwwah Islamiyah yang berasaskan pada akhlakul karimah.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes