Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Thursday, September 10, 2020

Putusan MA dan Ironi Sinergi Antar Lembaga Negara

 

Putusan MA dan Ironi Sinergi Antar Lembaga Negara

Oleh: Nofan, S.H.[1]


    Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 yang baru saja diupload pada tanggal 03 Juli 2020 menuai polemik. Putusan a quo merupakan putusan atas perkara permohonan uji materiil yang diajukan oleh Rachmawati dkk. kepada Mahkamah Agung (MA) yang diregistrasi pada tanggal 14 Mei 2019 dan diputus pada tanggal 28 Oktober 2019 lalu.

    Perkara yang dimaksud mempersoalkan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum (PKPU 5/2019). Para Pemohon mndalilkan dalam permohonannya bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (7) bertentangan dengan Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

    Meskipun sebetulnya perkara tesebut merupakan pengujian norma, tetapi tidak sedikit publik yang justru salah kaprah memahami substansi atau pokok perkaranya. Mungkin saja hal ini disebabkan lambatnya publikasi putusan, sehingga menimbulkan spekulasi dari publik. Seperti halnya menganggap bahwa putusan MA tersebut merupakan “pembatalan” atas hasil Pilpres 2019 yang seolah berkonotasi MA sebagai institusi pengadil atas hasil pemilihan umum. Tentu hal ini tidak dapat dibenarkan.

    Pertama, objek perkara (objectum litis) dalam perkara tersebut adalah PKPU 5/2019. Artinya, yang dipersoalkan dalam perkara a quo adalah mengenai ‘legalitas norma’, apakah PKPU 5/2019 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (in casu UU Pemilu) atau tidak. Bukan mempersoalkan hasil Pilpres 2019 itu sendiri. Hal ini sangat logis, mengingat perkara tersebut diajukan sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan hasil Pilpres 2019 pada tanggal 21 Mei 2019.

    Kedua, secara kewenangan MA tidak memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus persoalan/perselisihan hasil Pilpres. Sebab, wewenang MA limitatif sebagaimana termaktub dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 yang salah satunya adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Sementara terkait perselisihan hasil pemilihan umum (salah satunya Pilpres) merupakan ranah Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

    Ketiga, Putusan MA bersifat prospektif. Walaupun dasar hukum KPU dalam menetapkan hasil pilpres 2019 dinyatakan illegal atau bertentangan dengan UU oleh MA, tetapi hal itu tidak serta merta menjadi alasan untuk menyatakan ketidakabsahan penetapan hasil Pilpres 2019. Sebab, putusan MA tersebut dikeluarkan pasca pelantikan salah satu pasangan calon menjadi Presiden dan Wakil Presiden definitif.

Perbedaan Tafsir MK dan MA

    Jika disederhanakan, maksud permohonan yang dilayangkan oleh para pemohon adalah mempersoalkan pengaturan mengenai penetapan keterpilihan calon presiden dan wakil presiden berdasarkan suara terbanyak bila mana hanya terdiri dari 2 (dua) pasang calon dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Bagi para pemohon, aturan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (7) PKPU 5/2019 merupakan norma baru yang bertentangan dengan UU Pemilu, karena ketentuan a quo bukanlah merupakan interpretasi dari Pasal 416 UU Pemilu, bahkan ketentuan tersebut dianggap tidak memiliki landasan hukum baik setingkat UUD NRI 1945 maupun UU Pemilu.

    Hal ini juga diamini oleh pendapat MA dalam putusannya, bahwa walaupun secara faktual pilpres hanya diikuti 2 pasangan calon, ketentuan mengenai syarat minimal perolehan suara bagi pasangan Capres dan Cawapres untuk dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden tetap harus memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 juncto Pasal 416 UU Pemilu.

    Konstruksi pengaturan tersebut bertujuan agar Capres dan Cawapres tidak hanya berfokus pada daerah-daerah strategis (provinsi yang jumlah pemilihnya besar) sementara daerah yang dianggap kurang strategis (jumlah pemilihnya kecil) terabaikan dan tidak terakomodir keinginan serta aspirasinya dalam proses kampanye mengenai visi, misi, dan program masing-masing peserta pilpres. Oleh karenanya, ketentuan di dalam PKPU 5/2019 yang seolah menghilangkan syarat presidential threshold tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 416 UU Pemilui dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Sampai pada bagian ini mungkin saja dapat dibenarkan. Tetapi persoalan muncul jika disandingkan dengan penafsiran MK mengenai syarat minimal keterpilihan Capres dan Cawapres jika hanya diikuti oleh 2 pasang calon yang terdapat dalam Putusan No. 50/PUU-XII/2014 jo. Putusan No. 39/PUU-XVIII/2019.

    Pada Tahun 2014, MK melalui Putusannya No. 50/PUU-XII/2014 telah menyatakan ketentuan prosentase keterpilihan Capres dan Cawapres yang terdapat dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42/2008 tentang Pilpres dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat “sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon.”

    Kendati demikian, sejak awal MK telah memberikan penafsiran konstitusional melalui amar putusan inkonstitusional bersyarat dalam hal Capres dan Cawapres hanya terdiri dari 2 pasang, maka syarat prosentase keterpilihan tidak berlaku atau dikecualikan. Artinya, jika hanya ada dua calon, maka pasangan calon yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Secara a contrario, jika kontestan lebih dari 2 pasang calon, maka syarat minimal prosentase tersebut tetap berlaku.

    Sayangnya, norma yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK tersebut kemudian dicopy-paste oleh pembentuk UU melalui UU No. 7/2017 tentang Pemilu menjadi Pasal 416 ayat (1). Artinya, presidential threshold keterpilihan Capres dan Cawapres yang hanya diikuti 2 pasang calon, tetap menggunakan sistem prosentase suara sebagaimana pernah diterapkan dalam UU No. 42/2008 tentang Pilpres, bukan berdasarkan suara terbanyak. Karenanya, menjadi wajar jika MA mengabulkan permohonan para pemohon, sebab batu uji yang digunakan, dalam hal ini Pasal 416 UU Pemilu, mengkonstruksikan demikian.

    Tetapi, pada tanggal 17 September 2019 (sebulan sebelum MA mengeluarkan putusan) sejatinya MK telah kembali mempertegas pendiriaannya melalui Putusan 39/PUU-XVIII/2019 bahwa ketentuan Pasal 416 ayat (1) adalah inkonstitusional bersyarat mengikuti logika putusan MK sebelumnya. Seharusnya MA memperhatikan penafsiran yang telah ditentukan oleh MK, baik dalam Putusan No. 50/PUU-XII/2014 maupun Putusan No. 39/PUU-XVIII/2019.

    Namun lagi-lagi hal ini dipicu karena adanya arogasi atau pembangkangan dari pembentuk UU untuk menghidupkan norma yang sudah dikubur mati oleh MK. Seandainya pembentuk UU Pemilu mengindahkan apa yang telah digariskan MK dengan cara membuat rumusan norma yang selaras dengan tafsir MK, maka perbedaan tafsir oleh MK dan MA terkait syarat keterpilihan Capres dan Cawapres ini tidak terjadi.

    Di sisi lain, kesemrawutan tersebut dapat dihindari seandainya hukum acara dalam judicial review dijalankan dengan baik dan benar. Seperti diketahui, Pasal 55 UU 24/2003 jo. UU 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur bahwa apabila terdapat pengujian peraturan perundang-undangan yang sedang dilakukan oleh MA wajib dihentikan (ditunda) apabila UU yang dijadikan dasar pengujian (toucstone) peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK.

    Dalam konteks ini, seharusnya pengujian PKPU 5/2019 ditunda sampai pengujian norma dalam Pasal 416 UU Pemilu diputus oleh MK. Selanjutnya, putusan MA mengikuti putusan yang digariskan oleh MK. Tujuannya, agar terjadi konsistensi antara putusan yang nantinya dikeluarkan baik oleh MK dengan MA. Namun, cita ideal ini tak tampak dalam kasus a quo.

    Problema yang muncul kemudian, manakah tafsir yang harus diikuti (comply) dan mana harus diabaikan (ignore)? Apakah tafsir MK atau tafsir MA?. Tentu baik putusan MK maupun MA dalam kerangka judicial review sama-sama bersifat erga omnes, sehingga kedua putusan tersebut memiliki daya laku yang sama-sama mengikat andressat putusan, dalam hal ini KPU.

    Tetapi, di sisi lain juga tidak mungkin mengikuti atau mengabaikan kedua putusan yang saling kontradiktif tersebut secara sekaligus. Maka tidak ada acara lain yang dapat ditempuh selain keberanian KPU untuk ‘mengabaikan’ putusan MA dan tetap konsisten mengikuti putusan MK. Hal ini sangat beralasan, putusan MK memiliki validitas atau keberlakuan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan putusan MA. Sebab batu uji yang digunakan oleh MK adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi, sementara MA menggunakan batu uji UU yang derajatnya lebih inferior.

    Selain itu, Pembentuk UU (dalam hal ini DPR dan Presiden) segera lakukan revisi UU Pemilu, khusunya Pasal 416 dengan memasukkan syarat-syarat yang ditentukan oleh MK. Hal ini penting, agar dapat memberikan kepastian hukum dan dasar hukum yang jelas kepada KPU dalam merumuskan peraturan ke depannya.

Perlu Evaluasi

    Potret di atas memperlihatkan ironi sinergi antara MK dengan MA dan Pembentuk UU. Pertama, pembentuk UU memperlihatkan arogasinya dengan cara mengabaikan putusan MK yang bersifat final, yakni berupa penghidupan norma yang sudah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mengakomodir tafsir konstitusonal MK. Kedua, MA tidak memperhatikan tafsir yang telah digariskan sebelum-sebelumnya oleh MK di dalam putusannya.

    Sebagai catatan, ke depannya perlu segera dievaluasi dan diformulasikan kembali aturan yang dapat memaksakan pembentuk UU untuk segera melakukan revisi terhadap materi muatan UU yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, misalnya dengan cara memberikan limitasi waktu perubahan.

    Hal ini penting dilakukan, yakni agar tafsir yang ditentukan MK dapat segera dipositifkan dalam dalam UU. Sehingga, jika ada kasus serupa, MA tidak lagi mengacu kepada norma UU yang belum diputus persoalan nilai konstitusionalitasnya oleh MK, melainkan mengacu kepada UU yang telah diperbaharui. Jika demikian, maka konsistensi dan koherensi antar putusan dalam sistem bifurkasi pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia bisa terwujud.


Bidang Penelitian dan Pengembangan

Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)



[1] Peneliti di Centre of Indonesia Constitution Analisys (CONSTAN)

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes