Putusan MA dan Ironi Sinergi Antar Lembaga Negara
Oleh: Nofan, S.H.[1]
Putusan
Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 yang baru saja diupload pada tanggal 03 Juli 2020
menuai polemik. Putusan a quo merupakan putusan atas perkara permohonan
uji materiil yang diajukan oleh Rachmawati dkk. kepada Mahkamah Agung (MA) yang
diregistrasi pada tanggal 14 Mei 2019 dan diputus pada tanggal 28 Oktober 2019
lalu.
Perkara
yang dimaksud mempersoalkan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan
Calon terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam
Pemilihan Umum (PKPU 5/2019). Para Pemohon mndalilkan dalam permohonannya bahwa
ketentuan Pasal 3 ayat (7) bertentangan dengan Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Meskipun
sebetulnya perkara tesebut merupakan pengujian norma, tetapi tidak sedikit
publik yang justru salah kaprah memahami substansi atau pokok perkaranya. Mungkin
saja hal ini disebabkan lambatnya publikasi putusan, sehingga menimbulkan
spekulasi dari publik. Seperti halnya menganggap bahwa putusan MA tersebut merupakan
“pembatalan” atas hasil Pilpres 2019 yang seolah berkonotasi MA sebagai institusi
pengadil atas hasil pemilihan umum. Tentu hal ini tidak dapat dibenarkan.
Pertama,
objek perkara (objectum litis) dalam perkara tersebut
adalah PKPU 5/2019. Artinya, yang dipersoalkan dalam perkara a quo adalah
mengenai ‘legalitas norma’, apakah PKPU 5/2019 bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi (in casu UU Pemilu) atau tidak. Bukan mempersoalkan
hasil Pilpres 2019 itu sendiri. Hal ini sangat logis, mengingat perkara
tersebut diajukan sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan
hasil Pilpres 2019 pada tanggal 21 Mei 2019.
Kedua,
secara kewenangan MA tidak memiliki wewenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus persoalan/perselisihan hasil Pilpres. Sebab, wewenang MA
limitatif sebagaimana termaktub dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 yang
salah satunya adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Sementara terkait perselisihan hasil pemilihan umum (salah satunya Pilpres)
merupakan ranah Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI 1945.
Ketiga,
Putusan MA bersifat
prospektif. Walaupun dasar hukum KPU dalam menetapkan hasil pilpres 2019
dinyatakan illegal atau bertentangan dengan UU oleh MA, tetapi
hal itu tidak serta merta menjadi alasan untuk menyatakan ketidakabsahan penetapan
hasil Pilpres 2019. Sebab, putusan MA tersebut dikeluarkan pasca pelantikan
salah satu pasangan calon menjadi Presiden dan Wakil Presiden definitif.
Perbedaan
Tafsir MK dan MA
Jika
disederhanakan, maksud permohonan yang dilayangkan oleh para pemohon adalah mempersoalkan
pengaturan mengenai penetapan keterpilihan calon presiden dan wakil presiden
berdasarkan suara terbanyak bila mana hanya terdiri dari 2 (dua) pasang calon
dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Bagi para pemohon, aturan yang
terdapat dalam Pasal 3 ayat (7) PKPU 5/2019 merupakan norma baru yang bertentangan
dengan UU Pemilu, karena ketentuan a quo bukanlah merupakan interpretasi
dari Pasal 416 UU Pemilu, bahkan ketentuan tersebut dianggap tidak memiliki
landasan hukum baik setingkat UUD NRI 1945 maupun UU Pemilu.
Hal
ini juga diamini oleh pendapat MA dalam putusannya, bahwa walaupun secara
faktual pilpres hanya diikuti 2 pasangan calon, ketentuan mengenai syarat minimal
perolehan suara bagi pasangan Capres dan Cawapres untuk dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden tetap harus memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah
suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang
tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 juncto Pasal 416 UU Pemilu.
Konstruksi
pengaturan tersebut bertujuan agar Capres dan Cawapres tidak hanya berfokus
pada daerah-daerah strategis (provinsi yang jumlah pemilihnya besar) sementara
daerah yang dianggap kurang strategis (jumlah pemilihnya kecil) terabaikan dan
tidak terakomodir keinginan serta aspirasinya dalam proses kampanye mengenai
visi, misi, dan program masing-masing peserta pilpres. Oleh karenanya,
ketentuan di dalam PKPU 5/2019 yang seolah menghilangkan syarat presidential
threshold tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 416 UU Pemilui
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sampai
pada bagian ini mungkin saja dapat dibenarkan. Tetapi persoalan muncul jika
disandingkan dengan penafsiran MK mengenai syarat minimal keterpilihan Capres
dan Cawapres jika hanya diikuti oleh 2 pasang calon yang terdapat dalam Putusan
No. 50/PUU-XII/2014 jo. Putusan No. 39/PUU-XVIII/2019.
Pada
Tahun 2014, MK melalui Putusannya No. 50/PUU-XII/2014 telah menyatakan
ketentuan prosentase keterpilihan Capres dan Cawapres yang terdapat dalam Pasal
159 ayat (1) UU No. 42/2008 tentang Pilpres dinyatakan bertentangan dengan UUD
NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat “sepanjang tidak
dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
hanya terdiri dari dua pasangan calon.”
Kendati
demikian, sejak awal MK telah memberikan penafsiran konstitusional melalui amar
putusan inkonstitusional bersyarat dalam hal Capres dan Cawapres hanya terdiri
dari 2 pasang, maka syarat prosentase keterpilihan tidak berlaku atau
dikecualikan. Artinya, jika hanya ada dua calon, maka pasangan calon yang
terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus
memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pilpres dengan
sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah)
jumlah provinsi di Indonesia. Secara a contrario, jika kontestan lebih
dari 2 pasang calon, maka syarat minimal prosentase tersebut tetap berlaku.
Sayangnya,
norma yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK tersebut
kemudian dicopy-paste oleh pembentuk UU melalui UU No. 7/2017 tentang
Pemilu menjadi Pasal 416 ayat (1). Artinya, presidential threshold keterpilihan
Capres dan Cawapres yang hanya diikuti 2 pasang calon, tetap menggunakan sistem
prosentase suara sebagaimana pernah diterapkan dalam UU No. 42/2008 tentang
Pilpres, bukan berdasarkan suara terbanyak. Karenanya, menjadi wajar jika MA
mengabulkan permohonan para pemohon, sebab batu uji yang digunakan, dalam hal
ini Pasal 416 UU Pemilu, mengkonstruksikan demikian.
Tetapi,
pada tanggal 17 September 2019 (sebulan sebelum MA mengeluarkan putusan)
sejatinya MK telah kembali mempertegas pendiriaannya melalui Putusan
39/PUU-XVIII/2019 bahwa ketentuan Pasal 416 ayat (1) adalah inkonstitusional
bersyarat mengikuti logika putusan MK sebelumnya. Seharusnya MA memperhatikan
penafsiran yang telah ditentukan oleh MK, baik dalam Putusan No.
50/PUU-XII/2014 maupun Putusan No. 39/PUU-XVIII/2019.
Namun
lagi-lagi hal ini dipicu karena adanya arogasi atau pembangkangan dari
pembentuk UU untuk menghidupkan norma yang sudah dikubur mati oleh MK.
Seandainya pembentuk UU Pemilu mengindahkan apa yang telah digariskan MK dengan
cara membuat rumusan norma yang selaras dengan tafsir MK, maka perbedaan tafsir
oleh MK dan MA terkait syarat keterpilihan Capres dan Cawapres ini tidak
terjadi.
Di
sisi lain, kesemrawutan tersebut dapat dihindari seandainya hukum acara dalam judicial
review dijalankan dengan baik dan benar. Seperti diketahui, Pasal 55 UU
24/2003 jo. UU 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur bahwa
apabila terdapat pengujian peraturan perundang-undangan yang sedang dilakukan
oleh MA wajib dihentikan (ditunda) apabila UU yang dijadikan dasar pengujian (toucstone)
peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK.
Dalam
konteks ini, seharusnya pengujian PKPU 5/2019 ditunda sampai pengujian norma
dalam Pasal 416 UU Pemilu diputus oleh MK. Selanjutnya, putusan MA mengikuti
putusan yang digariskan oleh MK. Tujuannya, agar terjadi konsistensi antara
putusan yang nantinya dikeluarkan baik oleh MK dengan MA. Namun, cita ideal ini
tak tampak dalam kasus a quo.
Problema
yang muncul kemudian, manakah tafsir yang harus diikuti (comply) dan
mana harus diabaikan (ignore)? Apakah tafsir MK atau tafsir MA?. Tentu
baik putusan MK maupun MA dalam kerangka judicial review sama-sama
bersifat erga omnes, sehingga kedua putusan tersebut memiliki daya laku
yang sama-sama mengikat andressat putusan, dalam hal ini KPU.
Tetapi,
di sisi lain juga tidak mungkin mengikuti atau mengabaikan kedua putusan yang
saling kontradiktif tersebut secara sekaligus. Maka tidak ada acara lain yang
dapat ditempuh selain keberanian KPU untuk ‘mengabaikan’ putusan MA dan tetap
konsisten mengikuti putusan MK. Hal ini sangat beralasan, putusan MK memiliki validitas
atau keberlakuan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan putusan MA. Sebab
batu uji yang digunakan oleh MK adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi,
sementara MA menggunakan batu uji UU yang derajatnya lebih inferior.
Selain
itu, Pembentuk UU (dalam hal ini DPR dan Presiden) segera lakukan revisi UU
Pemilu, khusunya Pasal 416 dengan memasukkan syarat-syarat yang ditentukan oleh
MK. Hal ini penting, agar dapat memberikan kepastian hukum dan dasar hukum yang
jelas kepada KPU dalam merumuskan peraturan ke depannya.
Perlu
Evaluasi
Potret
di atas memperlihatkan ironi sinergi antara MK dengan MA dan Pembentuk UU. Pertama,
pembentuk UU memperlihatkan arogasinya dengan cara mengabaikan putusan MK
yang bersifat final, yakni berupa penghidupan norma yang sudah dinyatakan
inkonstitusional dan tidak mengakomodir tafsir konstitusonal MK. Kedua, MA
tidak memperhatikan tafsir yang telah digariskan sebelum-sebelumnya oleh MK di
dalam putusannya.
Sebagai
catatan, ke depannya perlu segera dievaluasi dan diformulasikan kembali aturan
yang dapat memaksakan pembentuk UU untuk segera melakukan revisi terhadap
materi muatan UU yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, misalnya
dengan cara memberikan limitasi waktu perubahan.
Hal
ini penting dilakukan, yakni agar tafsir yang ditentukan MK dapat segera
dipositifkan dalam dalam UU. Sehingga, jika ada kasus serupa, MA tidak lagi
mengacu kepada norma UU yang belum diputus persoalan nilai konstitusionalitasnya
oleh MK, melainkan mengacu kepada UU yang telah diperbaharui. Jika demikian,
maka konsistensi dan koherensi antar putusan dalam sistem bifurkasi pengujian
peraturan perundang-undangan di Indonesia bisa terwujud.
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)
0 comments:
Post a Comment