Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Thursday, August 27, 2020

Dibalik Pemakzulan Sang Bupati

Oleh: Devi Khoirun Nisa

“Dan saya bangga sekali bahwa anak buah saya, kalau tahu ada masalah, itu masalah administrasi bukan masalah korupsi atau masalah penyelewengan kewenangan.” (Ibu Faida, Bupati Jember)

Baru-baru ini muncul problem ihwal pemakzulan Ibu Faida yang merupakan bupati Jember periode 2016-2021. Dikutip dari CNN Indonesia, problem ini disebut berhubungan dengan pengelolaan anggaran yang dianggap tak sesuai dan tak melibatkan atau berkoordinasi dengan DPRD dalam pengambilan keputusan.

Disebutkan bahwa seluruh fraksi menyetujui usulan pengusul, terkait pemakzulan terhadap bupati Jember secara politis. Hal ini disebut-sebut sebagai suatu rangkaian hak-hak pengawasan Dewan yang diawali dengan Hak Interpelasi, Hak Angket, dan berujung Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Problem ini sejatinya berawal dari tahun lalu yang mana adanya teguran oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terkait mutasi dan pengangkatan sejumlah pejabat di luar mekanisme yang ada yaitu di bulan Oktober, sehingga mendapat sanksi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang membuat Jember kehilangan jatah kuota penerimaan kurang lebih 700 CPNS pada 2019.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tidak memberikan pendapat alias disclaimer of opinion terhadap pengelolaan APBD Jember Tahun 2019, atau turun pangkat dari tahun sebelumnya yang mendapat qualified opinion, yaitu opini wajar dengan pengecualian (WDP). BPK  memberikan opini disclaimer  karena tim auditor tidak mendapatkan bukti pemeriksaan yang mencukupi dengan berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara, selain itu juga terjadi fraud, penyimpangan penyajian laporan keuangan negara. Sehingga, BPK tidak bisa melakukan penelusuran dan berujung tidak bisa memberikan penilaian.[1]

Jika dilihat pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 78 ayat (2), disebutkan bahwa Kepala Daerah dapat diberhentikan karena beberapa hal, salah satunya seperti yang disebutkan oleh DPRD Jember bahwasanya bupati Jember Ibu Faida dianggap melanggar sumpah jabatan.

Pemakzulan kepala daerah dalam hal ini bupati sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 harus melalui beberapa mekanisme, yaitu (1) Pemakzulan kepala daerah  diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Menteri berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, (2) pendapat DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir, (3) Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final, (4) Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak Menteri menerima usul pemakzulan tersebut dari pimpinan DPRD.[2] Dalam kasus ini sudah sampai tahap ketiga, dimana DPRD sudah mengirimkan berkas kepada MA, dan hingga saat ini (10/08) tinggal menunggu keputusan MA.

Jika kita lihat materi dalam UU No. 23 Tahun 2014 tersebut mudah sekali untuk memberhentikan seorang kepala daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota. Alasan pemakzulan yang termaktub dalam UU tersebut sangat mudah untuk dibawa kesana kemari karena alasan yang tidak jelas, tegas, dan limitatif, sehingga pada akhirnya akan bergantung pada kondisi perpolitikan yang ada, jika dirasa tidak menguntungkan maka permainan akan berakhir. Seperti dalam masalah ini, semua fraksi dewan mendukung pemakzulan Ibu Faida dengan menggunakan haknya yaitu Hak Menyatakan Pendapat, dimana hak ini tak bisa lepas dari politik di parlemen.

 Adanya isu-isu pemakzulan ini dikaitkan pula dengan PILKADA serentak yang akan dilaksanakan Desember mendatang dimana Ibu Faida sendiri akan maju lagi menjadi cabup tetapi bersifat independen, tidak mengikuti partai politik manapun. Dengan adanya kasus pemakzulan ini diduga DPRD melakukan penjegalan supaya Ibu Faida tidak maju lagi dalam PILKADA yang akan datang. Dengan majunya Ibu Faida secara independen, maka dapat disimpulkan bahwasanya beliau sudah tidak mendapat dukungan dari partai politik yang ada di parlemen, sehingga adanya hal tersebut dapat memperkuat posisi DPRD di parlemen.

Problematika yang dihadapi Kabupaten Jember ini dapat dijadikan contoh supaya ada koordisnasi dan hubungan yang harmonis antara pemerintah daerah dengan dewan sebagai wakil rakyat, sehingga tujuan bersama untuk memajukan serta melayani masyarakat akan tercapai dan meminimalisir kesalahan pemerintah daerah secara administratif.



[2] file:///E:/UU%20Nomor%2023%20Tahun%202014.pdf


Bidang Penelitian dan Pengembangan

Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes