Dibalik
Pemakzulan Sang Bupati
Oleh: Devi Khoirun Nisa
“Dan saya bangga sekali bahwa anak buah saya, kalau
tahu ada masalah, itu masalah administrasi bukan masalah korupsi atau masalah
penyelewengan kewenangan.” (Ibu Faida, Bupati Jember)
Baru-baru ini muncul
problem ihwal pemakzulan Ibu Faida yang merupakan bupati Jember periode
2016-2021. Dikutip dari CNN Indonesia, problem ini disebut berhubungan dengan
pengelolaan anggaran yang dianggap tak sesuai dan tak melibatkan atau
berkoordinasi dengan DPRD dalam pengambilan keputusan.
Disebutkan bahwa
seluruh fraksi menyetujui usulan pengusul, terkait pemakzulan terhadap bupati
Jember secara politis. Hal ini disebut-sebut sebagai suatu rangkaian hak-hak
pengawasan Dewan yang diawali dengan Hak Interpelasi, Hak Angket, dan berujung Hak
Menyatakan Pendapat (HMP). Problem ini sejatinya berawal dari tahun lalu yang
mana adanya teguran oleh Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN) terkait mutasi dan pengangkatan sejumlah pejabat di luar mekanisme yang ada
yaitu di bulan Oktober, sehingga mendapat sanksi dari Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang membuat Jember kehilangan jatah kuota penerimaan kurang
lebih 700 CPNS pada 2019.
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tidak memberikan pendapat alias disclaimer of opinion terhadap pengelolaan APBD Jember Tahun 2019, atau turun pangkat dari tahun
sebelumnya yang mendapat qualified opinion, yaitu opini wajar
dengan pengecualian (WDP). BPK memberikan opini disclaimer karena tim auditor tidak
mendapatkan bukti pemeriksaan yang mencukupi dengan berdasarkan standar
pemeriksaan keuangan negara, selain
itu juga terjadi fraud, penyimpangan penyajian
laporan keuangan negara. Sehingga, BPK tidak bisa melakukan penelusuran dan
berujung tidak bisa memberikan penilaian.[1]
Jika dilihat pada UU
No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 78 ayat (2), disebutkan bahwa
Kepala Daerah dapat diberhentikan karena beberapa hal, salah satunya seperti
yang disebutkan oleh DPRD Jember bahwasanya bupati Jember Ibu Faida dianggap
melanggar sumpah jabatan.
Pemakzulan kepala daerah dalam hal ini bupati sebagaimana diatur dalam
UU No 23 Tahun 2014 harus melalui beberapa mekanisme, yaitu (1) Pemakzulan
kepala daerah diusulkan oleh pimpinan DPRD
kepada Menteri berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan,
tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, (2) pendapat
DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit
3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir, (3) Mahkamah
Agung memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30
(tiga puluh) Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan
putusannya bersifat final, (4) Apabila
Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau
wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat 30 (tiga
puluh) Hari sejak Menteri menerima usul pemakzulan tersebut dari pimpinan DPRD.[2] Dalam kasus ini sudah sampai tahap ketiga, dimana
DPRD sudah mengirimkan berkas kepada MA, dan hingga saat ini (10/08) tinggal
menunggu keputusan MA.
Jika kita lihat materi
dalam UU No. 23 Tahun 2014 tersebut mudah sekali untuk memberhentikan seorang
kepala daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota. Alasan pemakzulan yang
termaktub dalam UU tersebut sangat mudah untuk dibawa kesana kemari karena alasan
yang tidak jelas, tegas, dan limitatif, sehingga pada akhirnya akan bergantung
pada kondisi perpolitikan yang ada, jika dirasa tidak menguntungkan maka
permainan akan berakhir. Seperti dalam masalah ini, semua fraksi dewan
mendukung pemakzulan Ibu Faida dengan menggunakan haknya yaitu Hak Menyatakan
Pendapat, dimana hak ini tak bisa lepas dari politik di parlemen.
Adanya isu-isu pemakzulan ini dikaitkan pula dengan
PILKADA serentak yang akan dilaksanakan Desember mendatang dimana Ibu Faida
sendiri akan maju lagi menjadi cabup tetapi bersifat independen, tidak
mengikuti partai politik manapun. Dengan adanya kasus pemakzulan ini diduga
DPRD melakukan penjegalan supaya Ibu Faida tidak maju lagi dalam PILKADA yang
akan datang. Dengan majunya Ibu Faida secara independen, maka dapat disimpulkan
bahwasanya beliau sudah tidak mendapat dukungan dari partai politik yang ada di
parlemen, sehingga adanya hal tersebut dapat memperkuat posisi DPRD di parlemen.
Problematika yang
dihadapi Kabupaten Jember ini dapat dijadikan contoh supaya ada koordisnasi dan
hubungan yang harmonis antara pemerintah daerah dengan dewan sebagai wakil
rakyat, sehingga tujuan bersama untuk memajukan serta melayani masyarakat akan
tercapai dan meminimalisir kesalahan pemerintah daerah secara administratif.
[1] https://jatim.bpk.go.id/hasil-audit-bpk-pemkab-jember-raih-laporan-keuangan-terburuk/ akses pada 09 Agustus 2020
[2] file:///E:/UU%20Nomor%2023%20Tahun%202014.pdf
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)
0 comments:
Post a Comment