Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Thursday, July 30, 2020

Motif di Balik RUU HIP

Motif di Balik RUU HIP
Oleh: Herni Suparti


Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) disebut sebagai dalang pembentukan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (yang kemudian disebut dengan RUU HIP). Sepintas RUU ini sebenarnya memuat dua pemaknaan yang sama, sebab ideologi berarti dasar dan pancasila juga memuat pengertian dasar hidup masyarakat Indonesia, sehingga mengakibatkan pemborosan kata dalam nama RUU tersebut.

Draf RUU HIP sebagai landasan untuk memperkuat Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dalam mewujudkan tujuan negara sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Dalamdraf tersebut juga belum ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan bernegara. Atas dasar itulah muncul pemikiran, untuk membuat RUU HIP.

 Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan atas Penyusunan RUU HIP, pada 22 April 2020 menyebutkan bahwa RUU HIP telah ditetapkan masuk ke dalam Prolegnas RUU Prioritas 2020. Seperti dilansir di laman resmi DPR, RUU HIP sudah dibahas tujuh kali hingga akhirnya menjadi RUU inisiatif DPR dan masuk prolegnas.

Dalam rapat tersebut, terdapat kontroversi menyelimuti gagasan para pimpinan yang hendak mengubah dasar negara. Bagaimana tidak, sila dalam Pancasila telah disepakati pada 1 Juni 1945 saat Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya. Itupun dibarengi dengan adanya beberapa usulan mengenai tiap silanya dari Moh. Yamin dan Mr. Soepomo. Bahkan pada rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan final 18 Agustus 1945 ialah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Sejak saat itu, Pancasila menjadi landasan hidup masyarakat Indonesia. Akan tetapi, baru-baru ini Pancasila hendak dijabarkan ke dalam Undang-Undang.

Tanggal 22 April 2020, RUU HIP masuk ke dalam Prolegnas. Melihat dalam RUU tersebut, terdapat 10 Bab yang terdiri dari 60 Pasal. Terlihat jelas, seperti yang menjadi polemik dalam RUU HIP ini adalah pada Pasal 7. Pasal tersebut yang ‘memeras’ Pancasila menjadi Trisila kemudian Ekasila yang disebut sebagai “gotong royong”. Sekalipun memang betul adanya pengerucutan Pancasila menjadi Ekasila tidak terjadi baru-baru ini. Pencetusnya ialah Presiden Soekarno saat ingin membentuk dasar Negara Indonesia kala itu. Namun, kembali lagi pemikiran Soekarno tidak bisa diterapkan dengan keadaan masyarakat Indonesia dan juga hanya pada tataran kebangsaan ataupun kepada kehidupan manusia saja. Hal lain ialah RUU HIP ini dipandang mengesampingkan aspek historis, filosofis, yuridis, dan sosiologis Pancasila sebagai Dasar Negara dan ideologi yang disusun oleh pendiri bangsa.

Pancasila haruslah memuat sila-sila yang berurutan dan sila ketuhanan merupakan pokok dari sila-sila lainnya. Dengan begitu, anggapan kebangkitan Komunisme (PKI) bermula dari pemerasan Pancasila menjadi Ekasila. Dalam konsep Ekasila tidak menyertakan urusan manusia dengan Tuhannya yang tidak sepaham dengan sila pertama. https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/25/055000265/apa-isi-ruu-hip-yang-masih-tuai kontroversi?page=all, akses 11 Juli 2020).

Sikap tersebut juga disampaikan oleh Organisasi NU, Muhammadiyah, dan sejumlah fraksi partai. Berdasarkan hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi penundaan pembahasan RUU HIP, selain karena pemerintah fokus mengurus Covid-19. RUU HIP tidak genting bahkan tidak perlu untuk menjabarkan Pancasila itu sendiri. Pemerintah sebaiknya menyelesaikan permasalahan lainnya ketimbang Pancasila yang sejak dahulu sebagai Dasar Negara dan keberadaanya sudah dapat menyatukan seluruh masyarakat Indonesia.

Adanya penundaan pembahasan RUU HIP, masih menjadi hal yang kemudian dirasa perlu diselidiki. Sekalipun Pemerintah juga meminta DPR sebagai pengusul untuk berdialog dan menyerap aspirasi semua elemen masyarakat. Namun, apakah motif pembuatan RUU HIP ini sampai dipertimbangkan untuk pembahasannya ditunda. Padahal kita ketahui bersama, bahwasanya RUU HIP ini tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

 https://tirto.id/siapa-pengusul-ruu-hip-kenapa-itu-tak-penting-fHMp, akses pada 27 Juli 2020)

Beberapa hal yang mendasari Pancasila tidak perlu dijabarkan ke dalam undang-undang ialah seperti:

Kesimpulannya ialah sejatinya Pancasila harus tetap menjadi sumber dari segala sumber hukum bernegara, tanpa perlu dijadikan Undang-Undang. Karena sebagai dasar negara, penafsiran Pancasila telah dijabarkan dalam batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sehingga Pembukaan UUD NRI 1945 dan batang tubuh UUD NRI 1945 adalah haluan negara, haluan berbangsa dan bernegara, haluan seluruh pemerintahan dalam mengambil kebijakan. Telah kuatnya keberadaan Pancasila bukan lagi menjadi sebuah permasalahan, sehingga pemerintah agar lebih fokus kepada permasalahan yang belum terselesaikan.

Bidang Penelitian dan Pengembangan

Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes