Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tuesday, July 14, 2020

Quo Vadis New Normal?
Oleh Nurainun Mangunsong


Perkembangan pandemi Covid-19 dan dampaknya hingga kini masih menunjukkan curva yang belum melandai. Data sebaran yang terinfeksi Covid-19 cenderung bertambah. Di bulan Juli (8/7) pertambahan yang terinfeksi justru tertinggi yakni 1.863 kasus dimana sehari sebelumnya (7/7) berjumlah 1.268 kasus sehingga total yang terkonfirmasi Covid-19 menjadi 68.079 orang (Kompas.com). Diduga kasus yang terinfeksi akan terus meningkat seiring transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan  euforia masyarakat di ruang publik menyambut penerapan New Normal.  Tren pandemi yang belum melandai seharusnya menjadi variabel evaluasi dan kehati-hatian dalam menyusun kebijakan new normal. 

Kehati-hatian
Dalam perspektif Hukum Administrasi, kehati-hatian merupakan prinsip hukum (the precauntionary principle) bahkan etika penyelenggara negara dalam  mengambil setiap kebijakan yang didasarkan pada free ermessen seperti situasi Covid saat ini. Free Ermessen adalah sebuah kebijakan yang didasarkan pertimbangan bebas dan subjektif di tengah situasi mendesak (faktual) demi pencapaian tujuan pemerintahan (doelmatigheid) yang dimaksud. Setiap kebijakan apapun yang dihadapkan pada persoalan yang berdampak (risiko), mengancam kebutuhan dasar manusia (kesehatan dan keselamatan jiwa dan raga) dan tidak pasti (kapan berakhir dan besaran dampaknya), membutuhkan kehati-hatian. Peran kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan kata M. Geistfeld (2001), akan mengarahkan tindakan Pemerintah untuk tidak abai, lalai, dan remeh pada potensi bahaya yang akan muncul dengan alasan ketidakpastiannya. Sebaliknya, kehati-hatian akan menuntun dan menuntut Pemerintah untuk mengambil langkah pencegahan dan antisipasi kemungkinan potensi bahaya yang akan muncul yang merugika secara signifikan. 

Bagaimana menjalankan prinsip kehati-hatian untuk dapat memandu tindakan pencegahan? Dalam sebuah Essay yang ditulis Velery Beloin dalam “Public Policies Guided By The Precautionary Principle,” (2009) dijelaskan beberapa formulasi prinsip kehati-hatian, pertama pengambil kebijakan harus membaca secara cermat dan memahami hubungan tindakan, aktivitas, atau perilaku dengan damage (bisa diartikan pandemic covid 19 dalam soal ini).  Kedua, untuk memastikan besaran risiko yang ditimbulkan dari suatu tindakan maka dibutuhkan alat pengukur yang disebut pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan kajian research menjadi kunci kepastian pengukuran untuk mendapatkan kebenaran yang  valid. Ketiga, merumuskan tindakan-tindakan pencegahan seperti larangan, pembatasan, pembolehan dengan persyaratan dengan informasi yang cukup dan aturan teknis yang jelas. Ketiga tindakan ini sesungguhnya berorientasi pada upaya pencegahan risiko atau meminimalisir risiko yang mungkin akan muncul. Risiko yang dimaksud adalah tingkat sebaran Covid yang semakin meluas dan yang yang terinfeski serta mati semakin bertambah. 

Jika ingin ditelaah lebih awal, langkah kuratif Covid-19 Pemerintah dengan moderasi pencegahan dan “kuda-kuda” hukum darurat sipil tidak sepenuhnya menimbang aspek keselamatan  jiwa dan kesehatan warga. Kebijakan ini sepenuhnya menimbang daya mampu anggaran negara, lemah daya ekonomi dunia usaha, dan kompleksitas luas dan jumlah sebaran penduduk di seluruh wilayah Indonesia sehingga jarak fisik dan sosiallah yang dipandang paling rasional dengan tetap memberi ruang aktivitas perekonomian tetap hidup. Dengan mengekor langkah Korea Selatan menerapkan unlockdown dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah  Nomor 21 Tahun 2020, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, Permenkes No. 9 Tahun 2020 yang me-refer pada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, aspek kesehatan dan ekonomi diharapkan bisa saling menopang. Namun sayangnya kebijakan moderatif unlockdown tersebut tidak dipadu-padankan dengan inprastruktur kesehatan yang memadahi. Semenjak April Covid-19 bertengger hingga Juli, sarana prasarana kesehatan merupakan inprastruktur terlemah dan terbatas dalam penanganan pasien terinfeksi Covid. Banyaknya  PDP yang ditolak inap di rumah sakit dan terinfeksinya para tenaga medis menunjukkan standarisasi pelayanan dan perlindungan di rumah sakit masih rendah. Jumlah dan kontrol kualitas alat rapid test yang didatangkan dari Negeri Wuhan pun tidak dapat dipastikan hingga sebagian warga justru memilih menolak ketimbang menyuntiknya sebagai pelindung. Berbeda dengan Korea Selatan, langkah berani unlockdown karena inprastruktur kesehatan yang dimiliki sudah canggih, kesehatan lingkungan terjaga, kesadaran kesehatan warga baik,  dan alat rapit test tersedia dan terkontrol setiap harinya dengan profesional sehingga dapat dengan cepat mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan mengisolir warga yang terkonfirmasi positif. Penanganan Covid-19 dengan “jejak, tes, dan pengobatan” adalah kebijakan pencegahan utama dan pokok yang diambil Korea Selatan sebagai hasil pertimbangan cermat karena didukung informasi yang valid berdasarkan research kedokteran dan teknologi yang digalakkan Pemerintah Korea Selatan. 

Sementara langkah pencegahan Covid-19 yang diambil Pemerintah semakin ke depan justru terlihat semakin tidak cermat. Indikatornya dari kontroversi dan saling tabrak di antara kebijakan presiden dan para menteri serta peraturan kepala daerah sehingga menimbulkan kebingungan dan skeptis warga.  Kementerian Perhubungan misalnya, tetap menerapkan pelonggaran PSBB di sektor transportasi dengan protokol kesehatan yang ketat namun protokol itu tidak mengurangi jumlah dan gerakan manusia yang massif pada halte-halte antrian masuk dan keluar. Dalam kesempatan lain, Menteri Perhubungan (Menhub) menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 18 Tahun 2020 yang kembali membolehkan Ojol (Ojek Online) mengangkut penumpang yang koensiden dengan Pergub DKI No. 33 Tahun 2020 Pasal 18 ayat (6) yang melarang sebagai sekuen dari PSBB. Menhub juga menetapkan kebijakan larangan mudik pada 24 April hingga 31 Mei 2020 dengan ancaman denda yang kurang realistis seratus juta rupiah bagi pelanggar, namun belakangan 7 Mei 2020 dianulir dengan pengaturan moda transportasi karena pertimbangan ekonomi. Presiden juga kerap menghimbau pengendalian kesehatan dengan pembatasan aktivitas di luar rumah, namun belakangan dianulir akibat tingginya angka PHK (Putus Hubungan Kerja) dan membolehkan warga berusia di bawah 45 untuk beraktivitas kembali (Kompas.com).   

Ketidakcermatan langkah pencegahan Covid-19 natijah pada semakin meluasnya penyebaran Covid-19 dan menyasar naik warga yang terinfeksi, serta liku panjang inflasi ekonomi. Fakta ini menjadi eviden bahwa kehati-hatian dalam menyusun New normal tidak didasarkan pada satu kajian valid dan kecermatan. New Normal bukan lagi soal style atau tren mensikapi Covid-19 yang menunggu waktu namun soal keseriusan dan konsistensi mencegah sebarannya hingga curva menurun ke digit nol. 

Standarisasi Protokol Kesehatan
Disadari bahwa pandemik Covid dan vaksin penawar yang tidak dapat dipastikan, katub pengaman kesehatan menjadi kata kunci upaya pencegahan. Beberapa langkah yang perlu dilakukan, pertama, perlunya perbaikan standar new normal sesuai instruksi WHO. Jika mengacu pada enam standar new normal WHO, maka masing-masing daerah dengan tingkat zona yang beragam perlu merumuskan kebijakan pencegahan yang berbasis data yang tepat untuk menentukan bentuk-bentuk aturan tindakan berupa larangan, pembatasan, dan perkenan, tujuan, dan sanksi jika dibutuhkan. Indikator sederhana penentuan New Normal dengan curva pandemi yang memperlihatkan tren menurun. Penurunanpun masih terus dikontrol dengan landasan pacu antisipasi di basis-basis atau titik-titik rawan penyebaran seperti rumah sakit, panti jompo, pasar tradisional, pasar dan toko modern, objek-objek wisata, dan halte-halte serta ruang publik tertutup dan terbuka. Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, telah mempersiapkan Pergub bagi Standard Operating Prosedure (SOP) New Normal dan berbagai simbol, ikon, dan simulasi untuk mengefektifkannya pada pada 1 Juli 2020. Namun belakangan dikoreksi sehubungan status zona Kuning yang disandang (jogjaprov.go.id) dan memberlakukan perpanjangan darurat hingga 31 Juli. Jawa Timur dengan status zona akut Merah justru mengharuskan Pemerintah Daerah memberlakukan PSBB dengan ketat.

Kedua, perbaikan dan penambahan kapasitas kesehatan untuk melayani, menampung, mengisolasi, merawat, dan memonitoring perkembangan kesehatan warga dengan status ODP dan PDP, termasuk yang melakukan isolasi mandiri. Presiden telah mengeluarkan tujuh instruksi dalam soal ini yakni,

  1. mengutamakan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang mempercepat penanganan COVID-19 di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dan rencana operasional percepatan penanganan COVID-19 yang ditetapkan Gugus Tugas Percepatan COVID-19.
  2. Mempercepat refocusing kegiatan dan realokasi anggaran melalui mekanisme revisi anggaran dan segara mengajukan usulan revisi anggaran kepada Menteri Keuangan sesuai dengan kewenangannya.
  3. Mempercepat pelaksanaan pengadaan barang dan jasa untuk mendukung percepatan penanganan COVID-19, dengan mempermudah dan memperluas akses sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2007, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2018, PP Nomor 21 Tahun 2008, Perpres Nomor 16 Tahun 2018, dan Perpres Nomor 17 Tahun 2018.
  4. Melakukan pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan COVID-19 dengan melibatkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
  5. Melakukan pengadaan barang dan jasa alat kesehatan dan alat kedokteran untuk penanganan COVID-19 dengan memperhatikan barang dan jasa sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
  6. khusus kepada:

  • Menteri Keuangan untuk memfasilitasi proses revisi anggaran secara cepat, sederhana, dan akuntabel.
  • Menteri Dalam Negeri untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam rangka percepatan penggunaan APBN atau perubahan peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD untuk percepatan penanganan COVID-19 .
  • Menteri PUPR untuk melakukan percepatan penyiapan dan pembangunan infrastruktur yang diperlukan dalam rangka penanganan COVID-19.
  • Menteri Kesehatan untuk mempercepat pemberian registrasi alat kesehatan dan alat kedokteran untuk penanganan COVID-10 yang belum memiliki nomor registrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Kepala BPKP untuk melakukan pendampingan dan pengawasan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap akuntabilitas keuangan negara untuk percepatan penanganan COVID-19.
  • Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk melakukan pendampingan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan COVID-19.
  • 7. Melaksanakan instruksi presiden ini dengan penuh tanggung jawab.

Dengan instruksi Presiden yang vulgar ini maka aneh jika serapan anggaran di Kementerian Kesehatan sebagai gardah terdepan masih sangat rendah yakni hanya Rp. 4,48 trilliun atau 5,12% pada Juli 2020 dari total anggaran Rp. 87,55 trilliun menunjukkan ada keruwetan birokrasi keuangan yang melilit kementerian ini.

Ketiga, upaya meminimalisir risiko Covid 19 di tempat-tempat dengan kerentanan yang tinggi  dengan kontrol dan penambahan inprastruktur yang standar. Yang lebih fundamental adalah bagaimana terus meningkatkan kesadaran warga untuk taat dan patuh pada protokol kesehatan dimanapun dan kapanpun hingga Covid meredah secara signifikan.

Keempat, Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja seperti pengecekan suhu tubuh, cuci tangan, jaga jarak, dan kebersihan udara tetap dan terus dimonitoring. Umumnya perkantoran Pemerintah dan swasta seperti BUMN/ BUMD telah memiliki SOP yang relatif baik.

Kelima, pengendalian risiko kasus impor dengan kewaspadaan dan pengecekan yang ketat. Ketentuan birokrasi perjalanan terutama di Bandara baik dalam dan luar negeri memang telah dilakukan. Pemeriksaan di Bandara juga dilengkapi pengintai suhu tubuh. Namun, metamorfosis Covid-19 yang begitu cepat dan bentuk yang berubah-ubah di beberapa wilayah di dunia mengharus Pemerintah dan pemangku kepentingan awas dengan peralatan yang tersedia. Dibutuhkan kerjasama lintas negara dalam soal ini dalam pengembangan risearch-research molekuler dan teknologi.

Keenam, partisipasi warga yang terus dibuka melalui e-layanan sebagaimana yang sudah dilakukan Gugus Depan penanganan Covid 19 selama ini namun evaluasi dan pengembangan kebijakan new normal masih perlu ditingkatkan lagi.


Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa pandemi Covid-19 merupakan bahaya laten yang berdampak akut bagi keselamatan jiwa manusia. Dibutuhkan langkah yang cermat melalui kajian ilmiah yang komprehensif dan valid untuk mengambil langkah-langkah memasuki New Normal agar dampaknya bisa dicegah dan diminimalisir ke depannya. Negara memiliki kewajiban penuh menjamin secara seimbang kebutuhan keselamatan jiwa dan ekonomi. Karenanya, sinergitas Pemerintah Pusat dan Daerah sangat dibutuhkan melalui regulasi yang jelas dan wibawa untuk memberi kenyamanan pemenuhan hak-hak kesehatan dan ekonomi warga menjelang New Normal.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes