Kontroversi RUU Kesehatan
Renaldi Putra Samudera, Nova Arista, Yayu Fitriyani Komalasari
Kesehatan merupakan kebutuhan alami yang diperlukan oleh semua
makhluk hidup, termasuk manusia. Perbaikan kesehatan tidak hanya berkaitan
dengan penyembuhan penyakit atau pengobatan, tetapi juga melibatkan upaya
pencegahan dan promosi kesehatan. Dengan menjaga kesehatan yang baik, individu
dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, meningkatkan produktivitas, serta
mengurangi beban sistem perawatan kesehatan. Selain itu, upaya mencapai
perbaikan kesehatan, penting untuk melibatkan berbagai pihak; termasuk pemerintah,
lembaga kesehatan, masyarakat, dan individu. Pemerintah harus mengadopsi
kebijakan yang mendukung pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas,
serta memprioritaskan program-program pencegahan penyakit dan promosi
kesehatan. Lembaga kesehatan perlu memberikan pelayanan yang aman, efektif, dan
bermutu tinggi kepada masyarakat. Masyarakat dan individu juga harus
bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan mereka sendiri melalui gaya hidup
sehat, kebersihan, dan mengikuti anjuran medis.
Di Indonesia, kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan diakui
sebagai konsekuensi dari negara kesejahteraan. Hal ini tercantum dalam Pasal
28H Undang-Undang Dasar 1945. Secara jelas dalam Pasal ini menegaskan peran
negara dalam melindungi kepentingan masyarakat dalam pemenuhan dan perbaikan
kesehatan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
merupakan salah satu wujud nyata dari Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjadi landasan hukum praktik kedokteran di Indonesia. Namun, belakangan ini
perhatian banyak tertuju pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus
Law yang akan menjadi Undang-Undang yang berlaku secara umum. Dalam RUU
Kesehatan Omnibus Law, penegakan hukum dan penyelesaian perselisihan tenaga medis
terutama dokter masih dianggap belum memadai. Perubahan dari Undang-Undang
Praktik Kedokteran menjadi RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi topik yang menarik
untuk dikaji, khususnya dalam hal pengaturan penegakan hukum dan penyelesaian
perselisihan tenaga medis dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Draft ini
banyak mengalami penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, karena terdapat
muatan pasal-pasal kontroversial yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku serta mengancam perlindungan dan keselamatan
masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika.
Keberadaan RUU Kesehatan yang yang menelisisk beragam isu kesehatan
mengundang berbagai reaksi penolakan sejumlah organisasi profesi yang menyatakan
ketidaksetujuan terhadadap draft ini. Salah satu alasan ketidaksetujuan
tersebut adalah karena adanya muatan pasal-pasal
kontroversial yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku serta mengancam perlindungan masyarakat atas pelayanan kesehatan
yang bermutu, profesional, dan beretika serta adanya marginalisasi terhadap
tenaga kesehatan. Berikut beberapa isu krusial dan pasal kontroversi dalam
draft RUU Kesehatan:
1)
Pasal
154 ayat (3)
Pasal
ini juga terjadi kontrovensial selanjutnya pada RUU Kesehatan yaitu terkait
tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dikelompokkan pada satu
kelompok zat adiktif. Penggabungan ini akan memunculkan rasa kekhawatiran
menyebabkan munculnya aturan yang akan mengekang tembakau, lantaran posisinya
akan disetarakan dengan narkoba. Sehingga akan menimbulkan polemik lain karena
dapat merugikan banyak pihak yang bekerja di industri tembakau.
2)
Pasal
206 RUU Kesehatan
Pasal
ini juga membuat lima organisasi profesi menolak RUU Kesehatan, khususnya yang
menyebutkan standar pendidikan kesehatan dan kompetensi oleh menteri pada ayat
(3), (4), dan (5). Dalam pasal ini juga disebutkan kolegium yang terlibat.
Kolegium merupakan badan yang telah dibentuk oleh organisasi profesi untuk
masing - masing cabang disiplin ilmu tersebut. Badan ini juga bisa mengetahui
apakah nakes kompeten atau tidak. Adanya pasal tersebut
menjadikan Peran Menteri dalam RUU terlalu luas dan melintasi batas
profesionalisme serta menggiring sistem kesehatan menjadi sistem centralized-power.
Padahal di era saat ini, sistem sentralisasi peran mestinya ditanggalkan karena
terbukti kurang efektif dan efisien. RUU ini berjalan mundur karena Menteri
terlalu jauh mengambil peran organisasi profesi dan civil society yang
seharusnya menjadi elemen integral pembangunan kesehatan negara.
3)
Pasal
314 ayat (2)
Pasal
ini menyebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu
organisasi. Namun pada pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan yang
terbagi atas beberapa kelompok. Dengan total tenaga kesehatan sebanyak 48. Sehingga
akan timbul pertanyaan besar
apakah satu jenis tenaga kesehatan hanya bisa memiliki satu organisasi profesi?
Sebagai contoh, jika hanya ada satu organisasi profesi dokter, hal itu akan
sangat rancu karena dokter adalah profesi yang kompleks dan dapat terbagi jadi
dokter umum, spesialis, gigi dan lain sebagainya. Kemudian, pihak
yang menolak RUU Kesehatan dibuat bingung dengan pilihan yang akan diambil pembuat
kebijakan dimana RUU Kesehatan dinilai akan mencabut peran organisasi profesi.
Apabila RUU Kesehatan disahkan maka para nakes untuk berpraktik hanya perlu
menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik, dan bukti pemenuhan
kompetensi.
4)
Pasal 462 RUU Kesehatan
a.
Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian
berat yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
b.
Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Berdasarkan
pasal tersebut, profesi dokter menjadi rawan karena jika pasien datang dalam
kondisi luka berat dan tidak terselamatkan keluarga pasien dapat menggunakan
pasal tersebut untuk mempidanakan tenaga kesehatan. Meskipun di sisi lain ada
pasal yang juga menjadi perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan yani pada
pasal 282 dimana dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan
profesi dan standar prosedur operasional.
Kesehatan memiliki peran penting yang dibutuhkan oleh semua
makhluk hidup salah satunya adalah manusia. Pembangunan nasional dan pelayanan
kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah dan seluruh masyarakat. Sehingga penting
untuk memiliki keterbukaan dan pengawasan terhadap tindakan medis yang
dilakukan oleh semua dokter. Hal ini juga terjamin pada dokumen internasional seperti Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan Konvensi Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966. Adanya UU yang kontroversial terkait
kesehatan medis harus dapat di hilangkan dan diperjelas hingga menjadikan UU
dapat menjamin bagi kesejahteraan masyarakat.
Adanya Perubahan dari Undang-Undang Praktik Kedokteran
menjadi RUU Kesehatan Omnibus Law, faktanya mendatangkan perselisihan
tersendiri pada masyarakat. Banyaknya muatan pasal-pasal kontroversial dinilai
tidak sesuai dengan ketentuan perundang – undangan dan mengancam perlindungan
dan keselamatan bagi masyarakat, seperti
halnya Pertama; Pasal 154 (3) terkait penggabungan tembakau dengan
narkotika dan psikotropika yang dikelompokkan pada satu kelompok zat adiktif.
Salah satu dampak dari penggabungan ini adalah terbitnya peraturan yang akan
mengakang penggunaan tembakau dan berpengaruh pada perekonomian industry tembakau.
Kedua, Pada Pasal 206 RUU Kesehatan memberikan kekuasaan Menteri kesehatan terlalu luas hingga melintasi batas
profesionalisme organisasi profesi dan civil society sebagai salah satu elemen pembangun kesehatan negara. Ketiga,
Pada Pasal 314 ayat (2) yang mendatangkan kebingunggan terhadap ketentuan jenis
tenaga kesehatan yang hanya dapat membentuk satu organisasi. Sebab, hal ini
berlainan dengan Pasal 193 yang menyebutkan adanya jenis tenaga kesehatan yang
terbagi atas beberapa kelompok dengan total tenaga kesehatan sebanyak 48. Dan yang
terakhir yakni adanya pemidanaan bagi setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
yang melakukan kelalaian berat hingga mengakibatkan Pasien luka berat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun sedangkan jika mengakibatkan
kematian maka dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Ancaman pidana bagi tenaga medis atau tenaga
kesehatan dalam Pasal ini menjadikan boomerang
pada setiap tindakan yang dilakukan. Walaupun memang satu sisi menjadi
pelindung bagi keluarga pasien atas perlakuan yang sewenang – wenangnya. Namun
disatu sisi juga multitafsir atas segala tindakan yang tidak disengaja namun
mmberikan akibat fatal. Sebab dalam pasal 282 menjadi perlindungan bagi dokter
dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan profesi dan standar prosedur operasional.
Oleh karena itu adanya RUU kesehatan yang masih memuat banyak pasal – pasal kontroversial harus diperjelas dalam hal peraturannya hingga tidak menjadikan multitafsir dan menimbulkan ancaman hukum bagi masyarakat. Selain itu, hal ini juga turut mengancam perlindungan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika serta adanya marginalisasi terhadap tenaga kesehatan.
0 comments:
Post a Comment