Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saturday, June 24, 2023

 

Kontroversi RUU  Kesehatan

 Renaldi Putra Samudera, Nova Arista, Yayu Fitriyani Komalasari

Kesehatan merupakan kebutuhan alami yang diperlukan oleh semua makhluk hidup, termasuk manusia. Perbaikan kesehatan tidak hanya berkaitan dengan penyembuhan penyakit atau pengobatan, tetapi juga melibatkan upaya pencegahan dan promosi kesehatan. Dengan menjaga kesehatan yang baik, individu dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, meningkatkan produktivitas, serta mengurangi beban sistem perawatan kesehatan. Selain itu, upaya mencapai perbaikan kesehatan, penting untuk melibatkan berbagai pihak; termasuk pemerintah, lembaga kesehatan, masyarakat, dan individu. Pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang mendukung pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas, serta memprioritaskan program-program pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Lembaga kesehatan perlu memberikan pelayanan yang aman, efektif, dan bermutu tinggi kepada masyarakat. Masyarakat dan individu juga harus bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan mereka sendiri melalui gaya hidup sehat, kebersihan, dan mengikuti anjuran medis.

Di Indonesia, kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan diakui sebagai konsekuensi dari negara kesejahteraan. Hal ini tercantum dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945. Secara jelas dalam Pasal ini menegaskan peran negara dalam melindungi kepentingan masyarakat dalam pemenuhan dan perbaikan kesehatan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan salah satu wujud nyata dari Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan hukum praktik kedokteran di Indonesia. Namun, belakangan ini perhatian banyak tertuju pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law yang akan menjadi Undang-Undang yang berlaku secara umum. Dalam RUU Kesehatan Omnibus Law, penegakan hukum dan penyelesaian perselisihan tenaga medis terutama dokter masih dianggap belum memadai. Perubahan dari Undang-Undang Praktik Kedokteran menjadi RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi topik yang menarik untuk dikaji, khususnya dalam hal pengaturan penegakan hukum dan penyelesaian perselisihan tenaga medis dalam RUU Kesehatan Omnibus Law.  Draft ini banyak mengalami penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, karena terdapat muatan pasal-pasal kontroversial yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta mengancam perlindungan dan keselamatan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika. 

 

Keberadaan RUU Kesehatan yang yang menelisisk beragam isu kesehatan mengundang berbagai reaksi penolakan sejumlah organisasi profesi yang menyatakan ketidaksetujuan terhadadap draft ini. Salah satu alasan ketidaksetujuan tersebut adalah karena adanya muatan pasal-pasal kontroversial yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta mengancam perlindungan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika serta adanya marginalisasi terhadap tenaga kesehatan. Berikut beberapa isu krusial dan pasal kontroversi dalam draft RUU Kesehatan:

 

1)      Pasal 154 ayat (3)

Pasal ini juga terjadi kontrovensial selanjutnya pada RUU Kesehatan yaitu terkait tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dikelompokkan pada satu kelompok zat adiktif. Penggabungan ini akan memunculkan rasa kekhawatiran menyebabkan munculnya aturan yang akan mengekang tembakau, lantaran posisinya akan disetarakan dengan narkoba. Sehingga akan menimbulkan polemik lain karena dapat merugikan banyak pihak yang bekerja di industri tembakau.

2)        Pasal 206 RUU Kesehatan

Pasal ini juga membuat lima organisasi profesi menolak RUU Kesehatan, khususnya yang menyebutkan standar pendidikan kesehatan dan kompetensi oleh menteri pada ayat (3), (4), dan (5). Dalam pasal ini juga disebutkan kolegium yang terlibat. Kolegium merupakan badan yang telah dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing - masing cabang disiplin ilmu tersebut. Badan ini juga bisa mengetahui apakah nakes kompeten atau tidak. Adanya pasal tersebut menjadikan Peran Menteri dalam RUU terlalu luas dan melintasi batas profesionalisme serta menggiring sistem kesehatan menjadi sistem centralized-power. Padahal di era saat ini, sistem sentralisasi peran mestinya ditanggalkan karena terbukti kurang efektif dan efisien. RUU ini berjalan mundur karena Menteri terlalu jauh mengambil peran organisasi profesi dan civil society yang seharusnya menjadi elemen integral pembangunan kesehatan negara.

3)      Pasal 314 ayat (2)

Pasal ini menyebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi. Namun pada pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan yang terbagi atas beberapa kelompok. Dengan total tenaga kesehatan sebanyak 48. Sehingga akan timbul pertanyaan besar apakah satu jenis tenaga kesehatan hanya bisa memiliki satu organisasi profesi? Sebagai contoh, jika hanya ada satu organisasi profesi dokter, hal itu akan sangat rancu karena dokter adalah profesi yang kompleks dan dapat terbagi jadi dokter umum, spesialis, gigi dan lain sebagainya. Kemudian, pihak yang menolak RUU Kesehatan dibuat bingung dengan pilihan yang akan diambil pembuat kebijakan dimana RUU Kesehatan dinilai akan mencabut peran organisasi profesi. Apabila RUU Kesehatan disahkan maka para nakes untuk berpraktik hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi.

4)      Pasal 462 RUU Kesehatan

 

a.         Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

b.      Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Berdasarkan pasal tersebut, profesi dokter menjadi rawan karena jika pasien datang dalam kondisi luka berat dan tidak terselamatkan keluarga pasien dapat menggunakan pasal tersebut untuk mempidanakan tenaga kesehatan. Meskipun di sisi lain ada pasal yang juga menjadi perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan yani pada pasal 282 dimana dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional.  

 

Kesehatan memiliki peran penting yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup salah satunya adalah manusia. Pembangunan nasional dan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah dan seluruh masyarakat. Sehingga penting untuk memiliki keterbukaan dan pengawasan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh semua dokter. Hal ini juga terjamin pada  dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966. Adanya UU yang kontroversial terkait kesehatan medis harus dapat di hilangkan dan diperjelas hingga menjadikan UU dapat menjamin bagi kesejahteraan masyarakat.

Adanya Perubahan dari Undang-Undang Praktik Kedokteran menjadi RUU Kesehatan Omnibus Law, faktanya mendatangkan perselisihan tersendiri pada masyarakat. Banyaknya muatan pasal-pasal kontroversial dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang – undangan dan mengancam perlindungan dan keselamatan bagi masyarakat, seperti halnya Pertama; Pasal 154 (3) terkait penggabungan tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dikelompokkan pada satu kelompok zat adiktif. Salah satu dampak dari penggabungan ini adalah terbitnya peraturan yang akan mengakang penggunaan tembakau dan berpengaruh pada perekonomian industry tembakau. Kedua, Pada Pasal 206 RUU Kesehatan memberikan kekuasaan Menteri kesehatan terlalu luas hingga melintasi batas profesionalisme organisasi profesi dan civil society sebagai salah satu elemen pembangun kesehatan negara. Ketiga, Pada Pasal 314 ayat (2) yang mendatangkan kebingunggan terhadap ketentuan jenis tenaga kesehatan yang hanya dapat membentuk satu organisasi. Sebab, hal ini berlainan dengan Pasal 193 yang menyebutkan adanya jenis tenaga kesehatan yang terbagi atas beberapa kelompok dengan total tenaga kesehatan sebanyak 48. Dan yang terakhir yakni adanya pemidanaan bagi setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat hingga mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun sedangkan jika mengakibatkan kematian maka dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.  Ancaman pidana bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam Pasal ini  menjadikan boomerang pada setiap tindakan yang dilakukan. Walaupun memang satu sisi menjadi pelindung bagi keluarga pasien atas perlakuan yang sewenang – wenangnya. Namun disatu sisi juga multitafsir atas segala tindakan yang tidak disengaja namun mmberikan akibat fatal. Sebab dalam pasal 282 menjadi perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional.

Oleh karena itu adanya RUU kesehatan yang masih memuat banyak pasal – pasal kontroversial harus diperjelas dalam hal peraturannya hingga tidak menjadikan multitafsir dan menimbulkan ancaman hukum bagi masyarakat. Selain itu, hal ini juga turut mengancam perlindungan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan beretika serta adanya marginalisasi terhadap tenaga kesehatan. 

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes