Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Monday, February 20, 2017

PSKH NEWSLETTER (EDISI KE EMPAT)


Mengurai Kekalutan Peraturan Daerah
Oleh Bidang Penelitian dan Pengembangan PSKH 2016/2017

       Sebagai berpenduduk terbanyak ke 4 di dunia sebesar 255.993.674 jiwa (CIA World Factbook: 2015), Indonesia merupakan negara berkembang perlahan menjadi negara maju. Hal ini bisa dilihat pembangunan mulai dilakukan dalam daerah-daerah yang utamanya berada di perbatasan negara, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dibidang gerakan bebas buta huruf , pemanfaatan sumber daya alam secara baik dikelola oleh negara. Semua di lakukan atas nama bangsa, demi mewujudkan kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur, (pembukaan UUD 1945 alenia 4). Konsekuensi untuk mewujudkanya maka diperlukan tata aturan yang jelas, sebagai landasan fundamental bernegara.
       Indonesia merupakan negara hukum, hal ini diatur secara jelas dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga konsekuensi secara jelas, bahwa setiap proses kenegaraan diatur dan dilaksanakan berdasarakan peraturan. Hukum sebagai panglima, wajib dijunjung tinggi dalam pelaksanaan kegiatan kehidupan bernegara. Berdasarkan hukum pun, persengketaan permasalahan yang ada sudah dalam jalur yang jelas yaitu keadilan, kemanfaatan ,dan kepastian hukum.
       Berjalanya proses ketatanegaraan berbagai masalah ketatanegaraan mulai muncul, menggerogoti bangsa. Dari sekain banyak dan rumitnya permaslahan yang ada, salah satu permaslahan menjadi gempar di masyarakat adalah batalnya Peraturan daerah oleh Mendagri (executive review). Dalam pembatalan tersebut, tidak tanggung-tanggung, sebanyak 3.143 dicabut dan direvisi. Dengan mekanisme sebesar 1765 oleh kemendagri, 111 permen atau Keputusan Mendagri yang dicabut, dan 1267 perda kabupaten dicabut oleh gubernur dengan mekanisme pengawasan kemendagri (Kemendagri:2016). Hal yang sangat memprihatinkan berbagai macam perda di Indonesia dicabut seenaknya oleh eksekutif yang dimandatkan oleh Mendagri. Apakah pencabutan perda sebegitu parah dan kroniskah sehingga dengan mudahnya perda direvisi atau dicabut? Lantas bagaimanakah komptensi kewenagan Mendagri sebagai sosok pengawas dan pengayom Peraturan Daerah yang dinantikan manfaat progresifitas oleh rakyatnya.
       Banyak pembatalan Perda yang diluar dari angan-angan rakyat, menjadi sangat tidak wajar jika mengkaitkan konsep stufenbau teory oleh Hans Kelsen dengan pelaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada. Sudah dijelaskan secara jelas dalam UU 11 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undagan. Pasalnya sudah diatur secara jelas, tata urutan dari UUD, UU atau Perpu, PP, Permen, barulah Perda. Baik peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten. Seharusnya pembatalan sepihak oleh Pemerintah, mencederai kewenagan mekanisme penyusunan dalam pembatalan peraturan baik sebagian maupun secara seluruh. Pasalnya dengan adanya pembentukan peraturan yang sudah diatur dalam UU dengan mudahnya dibatalkan secara sepihak oleh kemendagri. Dengan berbagai alasan, mulia dari pemudahan investaasi, pelacaran pembangunan yang ada, sampai meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemudian apa kegunaan dari Undng-Undang Nomor. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hanya digunakan sebagai hiasan belaka, bahwa Indonesia berdaulat dengan membuat peraturan dan dibatalkan senaaknya saja. Pembatalan Perda bisa dilakukan jika ada alasan logis dan peristiwa yang memang benar-benar genting. Bukan pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri dirasa tidak cocok digunakan. Bak memilah-milah pakaian yang cocok, ditengah banyak nya tumpukan baju yang acak. Dasar pembatalan perda mendagri dilihat dalam pasal 250 ayat 1 dengan betentangan dengan kesusialaan dan ketertiban umum , serta tata urutan perundangan-undangan.
       Adanya pembatalan peraturan daerah (negative review) yang dilakukan oleh berbagai pihak, menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan dalam perda itu sendiri. Sudah jelas bahwa dalam kewenagan pembatalan dilakukan oleh beberapa jalur, melewati pemerintah pusat, turun ke pemerintah provisi, hal ini jika Perda Gubernur diminta. Turun lagi ke pemerintah kabupaten atau kota, jika produk yang dibuat adalah Perda Kabupaten. Setiap pembuatan perda bukankah sudah di telaah dan dikaji secara lebih lanjut mekanisme pembuatan perda tersebut.
       Pengawasan preventif, yang dilakukan oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan seksama. Pemerintah pusat baik pemerintah maupun gubernur menelitii bahkan menelaah lebih lanjut, bagaiman dampak yang akan terjadi jiga diterapkannya suatu peraturan dalam masyarakat. Koordinasi dan evaluasi anatar berbagai pihak, mulai dari DPRD, Kepala daerah serta Menteri yang mempunyai mandat oleh Presiden harus menseleksi secara ketat, peraturan yang ada. Bukan peraturan yang ada dicari dan di indikasikan dicabut, padahal sudah dilakakukan klarifikasi selama beberapa tahapan. Sehingga apa yang diungkpakan oleh Lord Acton “Power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutely” tidak akan terjadi didalam bumi Indonesia. Secara jelas bahwa kewenagan sudah diatur, namun jangan mementingkan ego sektoral dari setiap lembaga yang ada. Oleh Bidang Penelitian dan Pengembangan PSKH 2016/2017



Presented by:
@PR_PSKH

Trimakasih telah membaca..
Semoga bermanfaat  

PSKH
SIGAP, KRITIS MEMBEDAH WACANA   

1 comment:

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes