
Oleh : Jamilah Arif Dari Fiksi Menjadi Aksi: Makna Mendalam Di Balik Berkibarnya Bendera Bajak Laut
Pembukaan
Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan aksi pengibaran bendera bajak laut ala One Piece yang dilakukan oleh sejumlah anak muda. Aksi ini bukan terjadi tanpa alasan. Banyak dari mereka merasa bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ketika ketidakadilan, kekeliruan hukum, dan rasa kecewa terhadap sistem makin terasa, muncul pertanyaan: apakah masih pantas mengibarkan bendera Merah Putih dengan penuh kebanggaan?
Bagi sebagian orang, terutama generasi muda, bendera bajak laut bukan sekadar simbol dari cerita fiksi. Ia menjadi lambang harapan dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Tokoh Luffy dalam One Piece bukan hanya bajak laut biasa ia adalah sosok yang berani melawan sistem yang korup, membela yang lemah. Maka, ketika bendera itu dikibarkan, bukan berarti mereka menolak Indonesia, tapi mereka sedang menyuarakan keresahan yang tak terdengar.
Pembahasan
Secara hukum, memang benar bahwa mengibarkan bendera selain bendera resmi negara bisa menimbulkan perdebatan, apalagi jika dilakukan saat Hari Kemerdekaan. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, aksi ini bukanlah bentuk penghinaan terhadap Indonesia. Justru, ini adalah cara anak muda menyampaikan rasa kecewa dan harapan yang belum terpenuhi. Banyak dari mereka merasa bahwa sistem hukum dan pemerintahan belum benar-benar berpihak pada rakyat kecil. Ketika keadilan sulit ditemukan, mereka mencari simbol lain yang bisa mewakili isi hati mereka.[1]
Bendera bajak laut menjadi pilihan karena ia membawa pesan yang kuat. Dalam cerita One Piece, Luffy dan kru-nya berlayar bukan untuk merampok, tapi untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan solidaritas. Mereka melawan tirani, menolak penindasan, dan berani berkata tidak pada sistem yang salah. Nilai-nilai ini justru sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana banyak orang merasa tidak didengar dan tidak dilindungi. [2]
Aksi pengibaran bendera bajak laut ini juga menunjukkan bahwa anak muda punya cara kreatif dalam menyampaikan kritik. Mereka tidak turun ke jalan dengan amarah, tapi menggunakan simbol dari budaya populer yang mereka kenal dan cintai. Ini adalah bentuk komunikasi yang damai dan penuh makna. Sayangnya, banyak orang langsung salah paham dan menganggapnya sebagai bentuk pemberontakan. Padahal, kalau kita mau mendengarkan, ada pesan penting yang ingin mereka sampaikan: Indonesia harus berubah, harus lebih adil, dan harus lebih berpihak pada rakyat. [4] Solusinya bukan dengan melarang atau menghukum, tapi dengan membuka ruang dialog. Pemerintah dan masyarakat perlu mendengarkan suara anak muda, memahami keresahan mereka, dan melibatkan mereka dalam perubahan. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya soal bendera yang dikibarkan, tapi tentang apakah nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan keberpihakan benar-benar dirasakan oleh semua warga negara.
Sebagai contoh kasus nyata kita lihat, Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80, Arip Apandi (29), warga Cibiru, Kota Bandung, mengibarkan bendera Jolly Roger Akagami dari serial One Piece di lantai dua rumahnya. Bendera berwarna hitam dengan lambang tengkorak putih dan tiga goresan merah di mata kiri itu sontak menjadi sorotan publik setelah viral di media sosial. Bukan sekadar ikut tren, melainkan sebagai bentuk ekspresi dan kritik sosial. [3]
Kita perlu melihat fenomena ini sebagai cermin sosial. Ketika anak muda lebih memilih mengibarkan bendera fiksi daripada bendera negara, itu bukan karena mereka tidak cinta Indonesia. Justru karena mereka sangat peduli, tapi merasa kecewa. Mereka ingin Indonesia yang lebih baik, yang bisa menjadi tempat di mana nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, dan solidaritas benar hidup.
Penutup
Pengibaran bendera bajak laut seperti simbol One Piece di Hari Kemerdekaan bukanlah bentuk penghinaan terhadap negara, melainkan ekspresi simbolik dari generasi muda yang merasa terasing dari narasi resmi kemerdekaan yang belum sepenuhnya mereka rasakan. Di tengah realitas sosial Indonesia yang masih dipenuhi ketimpangan, korupsi, dan minimnya ruang aman untuk bersuara, simbol fiksi menjadi medium alternatif untuk menyampaikan keresahan, harapan, dan kritik secara kreatif. Bendera bajak laut bukan sekadar lambang pemberontakan, tetapi juga representasi perjuangan, solidaritas, dan pencarian kebebasan yang adil nilai-nilai yang justru sejalan dengan semangat kemerdekaan. Maka solusinya bukan dengan melarang atau menghakimi, melainkan membuka ruang dialog yang jujur antara negara dan warganya, khususnya generasi muda, agar mereka merasa didengar, dilibatkan, dan diberi ruang untuk berkontribusi secara bermakna. Dengan pendekatan yang inklusif dan reflektif, ekspresi seperti ini bisa menjadi titik awal untuk membangun Indonesia yang lebih jujur bagi semua.
Daftar Pustaka
[1] Budiardjo, M. (2021). Pengaturan dan Perlindungan Bendera Negara dalam Perspektif Hukum Tata Negara. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 51(4), 765–788.
[2] Fathoni, A. H., & Rahman, M. (2020). Hak Asasi Manusia dan Pembatasannya dalam Perspektif Konstitusi Indonesia. Jurnal HAM, 11(2), 179–196.
[3] Priyadi, H. (2025, Agustus 5). Berkibarnya bendera bajak laut di Kota Bandung. Jabar Ekspres. https://jabarekspres.com/berita/2025/08/05/berkibarnya-bendera-bajak-laut-di-kota-bandung/
[4] Rosid, I. (2025). Dinamika Pengaturan Simbol Negara dan Kebebasan Ekspresi Polemik Mengenai Bendera One Piece. Rampai Jurnal Hukum (RJH), 4(1), 33-40.
EmoticonEmoticon