
Oleh : Muhammad Fadel Adyputra Korupsi di Lembaga Peradilan sebagai Pengkhianatan terhadap Integritas Penegakan Hukum
Oleh: Muhammad Fadel Adhyputra
Belum usai kekecewaan publik atas kasus suap
hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, kini masyarakat kembali dibuat gempar oleh
kasus serupa yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya,
tiga hakim nonaktif PN Surabaya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai
total Rp4,67 miliar terkait vonis bebas terhadap terpidana pembunuhan Ronald
Tannur pada 2024. Jaksa Penuntut Umum membeberkan bahwa para terdakwa diduga
menerima uang tunai dalam bentuk rupiah serta berbagai mata uang asing. Uang
suap tersebut diyakini bertujuan mempengaruhi putusan dalam perkara yang mereka
tangani, dan perbuatan mereka dijerat dengan pasal-pasal pidana korupsi sesuai
UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 [1].
Kini, kasus serupa kembali terulang. Kejaksaan
menetapkan tujuh tersangka dalam perkara dugaan suap terhadap hakim dalam kasus
korupsi minyak goreng. Tiga di antaranya merupakan anggota majelis hakim di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka diduga menerima suap sebesar Rp60
miliar untuk menangani kasus ekspor minyak sawit mentah. Dalam perkara
tersebut, para hakim menjatuhkan putusan onslag (lepas dari segala
tuntutan hukum) pada 19 Maret 2024 terhadap tiga perusahaan besar: PT Wilmar
Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group [2]. Ironisnya, kasus ini kembali mencoreng
institusi peradilan karena melibatkan hakim yang seharusnya menjadi simbol supremasi
hukum, namun justru terlibat dalam praktik korupsi. Hajat
hidup orang banyak dikesampingkan, keadilan justru ditukar dengan kepentingan
pribadi. Hal ini menambah daftar panjang krisis integritas di lembaga peradilan
dan menyisakan pertanyaan: ke mana arah moral para penjaga hukum Indonesia?
Adagium klasik “Hakim adalah wakil Tuhan” mencerminkan harapan
besar masyarakat bahwa keadilan akan ditegakkan melalui tangan para hakim. Ungkapan tersebut tidak hanya bersifat
simbolik, melainkan juga mengandung tanggung jawab moral. Seorang hakim
memegang kuasa besar, menentukan nasib, kebebasan, bahkan hidup dan mati
seseorang. Dengan kekuasaan yang begitu besar, hakim dituntut untuk memiliki
integritas yang tidak tercela. Namun, ketika hakim justru menjadi pelaku korupsi, maka kepercayaan
masyarakat terhadap sistem peradilan perlahan runtuh. Korupsi oleh hakim tidak
sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah publik. Ia
menimbulkan luka dalam, bukan hanya bagi korban langsung, tetapi juga bagi
seluruh masyarakat yang berharap pada tegaknya keadilan.
“Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely.” Kekuasaan condong pada penyalahgunaan dan kekuasaan yang tak terbatas
menciptakan penyalahgunaan yang tak terbatas pula. Pernyataan Lord Acton, Guru Sejarah
Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19, namun ucapannya tetap menemukan kebenarannya di masa kini [3]. Hakim dengan otoritasnya yang besar dalam memutuskan
perkara, berada dalam posisi kekuasaan yang sangat tinggi. Tanpa pengawasan
yang kuat dan kontrol etik yang ketat, kekuasaan ini mudah tergelincir ke arah
penyalahgunaan. Dalam konteks ini kekuasaan yudisial yang tidak diimbangi
dengan akuntabilitas membuka celah terjadinya korupsi.
Hal ini sejalan dengan rumusan Robert
Klitgaard mengenai penyebab korupsi, bahwa
korupsi tumbuh subur ketika tiga unsur utama bersatu yaitu kekuasaan yang
terkonsentrasi (monopoli), keleluasaan bertindak tanpa batas (diskresi), dan
lemahnya sistem pengawasan (minimnya akuntabilitas) [3]. Dalam konteks peradilan, monopoli tercermin dari kendali hakim
terhadap putusan perkara yang ditanganinya, terutama ketika keputusan itu
didasarkan pada kepentingan pribadi dan bukan pada prinsip keadilan. Diskresi
muncul ketika hakim memiliki ruang yang sangat luas untuk menafsirkan hukum,
menentukan hukuman, dan mempertimbangkan bukti atau saksi berdasarkan
pertimbangannya sendiri. Dalam banyak kasus, diskresi ini menjadi celah empuk
untuk intervensi kepentingan. . Di samping itu, yang paling krusial adalah
minimnya akuntabilitas. Lembaga seperti Komisi Yudisial sebenarnya memiliki
mandat untuk mengawasi perilaku hakim, namun lambannya proses pemeriksaan,
serta resistensi dari dalam tubuh peradilan sendiri kerap membuat fungsi
pengawasan ini tidak berjalan efektif. Saat pengawasan terhadap hakim sangat
minim, lambat, atau bahkan cacat, praktik suap dan penyalahgunaan kewenangan dapat
berlangsung secara sistemik. Hal ini sepertinya bukan sekadar kesalahan individu, tetapi indikasi
dari budaya hukum yang tengah sakit.
Dampaknya tidak bisa dianggap remeh. Hakim
yang korup memunculkan stigma bahwa keadilan bisa dibeli, bahwa hukum hanya
berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan harta. Hal ini tentu mengikis
keyakinan masyarakat terhadap prinsip negara hukum, di mana seharusnya semua
orang setara di hadapan hukum (Equality Before the Law). Yang lebih
memilukan, para pelaku korupsi ini bukanlah orang-orang yang buta hukum. Mereka
adalah individu terdidik yang memahami dengan baik konsekuensi hukum atas
setiap tindakan. Namun, kekuasaan yang kerap kali menggoda untuk
disalahgunakan, terlebih jika pengawasan lemah dan budaya integritas tidak
ditanamkan secara kuat sedari awal. Hakim memang manusia biasa, namun dalam
posisinya sebagai penjaga keadilan, mereka dituntut untuk menjadi teladan dalam
menjunjung nilai-nilai menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran, ketidakberpihakan, tanggung jawab moral,
objektivitas, keberanian dalam membela kebenaran, serta penghormatan terhadap
harkat dan martabat manusia.
Kasus-kasus yang melibatkan hakim
akhir-akhir ini menjadi cerminan bahwa korupsi telah menjalar secara sistemik
hingga ke lembaga peradilan. Ketika benteng terakhir keadilan justru runtuh
karena ulah oknumnya sendiri, maka reformasi hukum harus digalakkan secara
serius. Tidak cukup hanya dengan penindakan, tetapi juga perlu pembenahan dalam
sistem rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan terhadap hakim. Pendidikan etika
dan integritas hukum harus menjadi bagian penting dari proses pembentukan
aparat penegak hukum. Lembaga seperti Komisi Yudisial dan KPK perlu diperkuat
peran dan wewenangnya agar mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif
dan berani menindak, tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang bersih dan
berkeadilan hanya dapat terwujud apabila para hakim menyadari kembali esensi
tugas mulia mereka. Mereka bukan sekadar penafsir hukum, melainkan penjaga
nurani bangsa. Ketika mereka gagal menjaga amanah itu, maka hilanglah salah satu
pilar utama keadilan dalam masyarakat.
REFERENSI
[1] Kejaksaan
Republik Indonesia, “3 Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Didakwa Terima Suap
Rp4,6 Miliar,” Story Kejaksaan. Diakses: 18 April 2025. [Daring]. Tersedia
pada:
https://story.kejaksaan.go.id/berita-utama/3-hakim-vonis-bebas-ronald-tannur-didakwa-terima-suap-rp46-miliar-265756-mvk.html
[2] K. PRADIPTA, “Suap Hakim Korupsi Minyak
Goreng,” Tempo, 16 April 2025. Diakses: 18 April 2025. [Daring].
Tersedia pada:
https://www.tempo.co/infografik/infografik/suap-hakim-korupsi-minyak-goreng-1232598
[3] A. Sanusi, “Relasi antara Korupsi dan
Kekuasaan,” J. Konstitusi, vol. 6, no. 2, Jul 2009.
EmoticonEmoticon