Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saturday, September 27, 2025

"Korupsi di Lembaga Peradilan sebagai Pengkhianatan terhadap Integritas Penegakan Hukum"

banner

Oleh : Muhammad Fadel Adyputra Korupsi di Lembaga Peradilan sebagai Pengkhianatan terhadap Integritas Penegakan Hukum 


Oleh: Muhammad Fadel Adhyputra

Belum usai kekecewaan publik atas kasus suap hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, kini masyarakat kembali dibuat gempar oleh kasus serupa yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya, tiga hakim nonaktif PN Surabaya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp4,67 miliar terkait vonis bebas terhadap terpidana pembunuhan Ronald Tannur pada 2024. Jaksa Penuntut Umum membeberkan bahwa para terdakwa diduga menerima uang tunai dalam bentuk rupiah serta berbagai mata uang asing. Uang suap tersebut diyakini bertujuan mempengaruhi putusan dalam perkara yang mereka tangani, dan perbuatan mereka dijerat dengan pasal-pasal pidana korupsi sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 [1].

Kini, kasus serupa kembali terulang. Kejaksaan menetapkan tujuh tersangka dalam perkara dugaan suap terhadap hakim dalam kasus korupsi minyak goreng. Tiga di antaranya merupakan anggota majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar untuk menangani kasus ekspor minyak sawit mentah. Dalam perkara tersebut, para hakim menjatuhkan putusan onslag (lepas dari segala tuntutan hukum) pada 19 Maret 2024 terhadap tiga perusahaan besar: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group [2]. Ironisnya, kasus ini kembali mencoreng institusi peradilan karena melibatkan hakim yang seharusnya menjadi simbol supremasi hukum, namun justru terlibat dalam praktik korupsi. Hajat hidup orang banyak dikesampingkan, keadilan justru ditukar dengan kepentingan pribadi. Hal ini menambah daftar panjang krisis integritas di lembaga peradilan dan menyisakan pertanyaan: ke mana arah moral para penjaga hukum Indonesia?

Adagium klasik “Hakim adalah wakil Tuhan” mencerminkan harapan besar masyarakat bahwa keadilan akan ditegakkan melalui tangan para hakim. Ungkapan tersebut tidak hanya bersifat simbolik, melainkan juga mengandung tanggung jawab moral. Seorang hakim memegang kuasa besar, menentukan nasib, kebebasan, bahkan hidup dan mati seseorang. Dengan kekuasaan yang begitu besar, hakim dituntut untuk memiliki integritas yang tidak tercela. Namun, ketika hakim justru menjadi pelaku korupsi, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan perlahan runtuh. Korupsi oleh hakim tidak sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah publik. Ia menimbulkan luka dalam, bukan hanya bagi korban langsung, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang berharap pada tegaknya keadilan.

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan condong pada penyalahgunaan dan kekuasaan yang tak terbatas menciptakan penyalahgunaan yang tak terbatas pula. Pernyataan Lord Acton, Guru Sejarah Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19, namun ucapannya tetap menemukan kebenarannya di masa kini [3]. Hakim dengan otoritasnya yang besar dalam memutuskan perkara, berada dalam posisi kekuasaan yang sangat tinggi. Tanpa pengawasan yang kuat dan kontrol etik yang ketat, kekuasaan ini mudah tergelincir ke arah penyalahgunaan. Dalam konteks ini kekuasaan yudisial yang tidak diimbangi dengan akuntabilitas membuka celah terjadinya korupsi.

Hal ini sejalan dengan rumusan Robert Klitgaard mengenai penyebab korupsi, bahwa korupsi tumbuh subur ketika tiga unsur utama bersatu yaitu kekuasaan yang terkonsentrasi (monopoli), keleluasaan bertindak tanpa batas (diskresi), dan lemahnya sistem pengawasan (minimnya akuntabilitas) [3]. Dalam konteks peradilan, monopoli tercermin dari kendali hakim terhadap putusan perkara yang ditanganinya, terutama ketika keputusan itu didasarkan pada kepentingan pribadi dan bukan pada prinsip keadilan. Diskresi muncul ketika hakim memiliki ruang yang sangat luas untuk menafsirkan hukum, menentukan hukuman, dan mempertimbangkan bukti atau saksi berdasarkan pertimbangannya sendiri. Dalam banyak kasus, diskresi ini menjadi celah empuk untuk intervensi kepentingan. . Di samping itu, yang paling krusial adalah minimnya akuntabilitas. Lembaga seperti Komisi Yudisial sebenarnya memiliki mandat untuk mengawasi perilaku hakim, namun lambannya proses pemeriksaan, serta resistensi dari dalam tubuh peradilan sendiri kerap membuat fungsi pengawasan ini tidak berjalan efektif. Saat pengawasan terhadap hakim sangat minim, lambat, atau bahkan cacat, praktik suap dan penyalahgunaan kewenangan dapat berlangsung secara sistemik. Hal ini sepertinya bukan sekadar kesalahan individu, tetapi indikasi dari budaya hukum yang tengah sakit.

Dampaknya tidak bisa dianggap remeh. Hakim yang korup memunculkan stigma bahwa keadilan bisa dibeli, bahwa hukum hanya berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan harta. Hal ini tentu mengikis keyakinan masyarakat terhadap prinsip negara hukum, di mana seharusnya semua orang setara di hadapan hukum (Equality Before the Law). Yang lebih memilukan, para pelaku korupsi ini bukanlah orang-orang yang buta hukum. Mereka adalah individu terdidik yang memahami dengan baik konsekuensi hukum atas setiap tindakan. Namun, kekuasaan yang kerap kali menggoda untuk disalahgunakan, terlebih jika pengawasan lemah dan budaya integritas tidak ditanamkan secara kuat sedari awal. Hakim memang manusia biasa, namun dalam posisinya sebagai penjaga keadilan, mereka dituntut untuk menjadi teladan dalam menjunjung nilai-nilai menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, ketidakberpihakan, tanggung jawab moral, objektivitas, keberanian dalam membela kebenaran, serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

Kasus-kasus yang melibatkan hakim akhir-akhir ini menjadi cerminan bahwa korupsi telah menjalar secara sistemik hingga ke lembaga peradilan. Ketika benteng terakhir keadilan justru runtuh karena ulah oknumnya sendiri, maka reformasi hukum harus digalakkan secara serius. Tidak cukup hanya dengan penindakan, tetapi juga perlu pembenahan dalam sistem rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan terhadap hakim. Pendidikan etika dan integritas hukum harus menjadi bagian penting dari proses pembentukan aparat penegak hukum. Lembaga seperti Komisi Yudisial dan KPK perlu diperkuat peran dan wewenangnya agar mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif dan berani menindak, tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang bersih dan berkeadilan hanya dapat terwujud apabila para hakim menyadari kembali esensi tugas mulia mereka. Mereka bukan sekadar penafsir hukum, melainkan penjaga nurani bangsa. Ketika mereka gagal menjaga amanah itu, maka hilanglah salah satu pilar utama keadilan dalam masyarakat.

REFERENSI

[1]       Kejaksaan Republik Indonesia, “3 Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Didakwa Terima Suap Rp4,6 Miliar,” Story Kejaksaan. Diakses: 18 April 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://story.kejaksaan.go.id/berita-utama/3-hakim-vonis-bebas-ronald-tannur-didakwa-terima-suap-rp46-miliar-265756-mvk.html

[2]       K. PRADIPTA, “Suap Hakim Korupsi Minyak Goreng,” Tempo, 16 April 2025. Diakses: 18 April 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://www.tempo.co/infografik/infografik/suap-hakim-korupsi-minyak-goreng-1232598

[3]       A. Sanusi, “Relasi antara Korupsi dan Kekuasaan,” J. Konstitusi, vol. 6, no. 2, Jul 2009.

 



EmoticonEmoticon