Employment Contract (Kontrak Kerja) : Upaya Hukum Pemenuhan HAM pada Pembantu
Rumah Tangga (PRT)
Pembantu Rumah Tangga yang kemudian disebut
PRT adalah pekerjaan dalam sektor domestik yang secara tradisional dianggap dan
dilekatkan sebagai pekerjaan perempuan. Hal ini sebagaimana stigma yang telah
terbangun pada masyarakat pada umumnya bahwa pekerjaan yang sifatnya kerumahtanggaan
adalah pekerjaan perempuan bukan pekerjaan laki-laki. Hal ini memberikan pemahaman
kepada kita bahwa selama ini perempuan dianggap hanya fokus pada ranah domestik
saja, sedangkan laki-laki pada ranah publik. Di sisi lain, perempuan juga dianggap
sebagai pribadi yang secara kodrat lemah, sehingga hal tersebut mempengaruhi
ketersediaan atas kesempatan kerja dalam dunia pekerjaan.
Padahal partisipasi perempuan di pasar tenaga
kerja mengalami peningkatan cukup tinggi, meskipun prosentasenya masih kalah
jika dibandingkan dengan laki-laki. Namun, perubahan ini menunjukkan adanya
peningkatan peran perempuan yang sebenarnya tidak hanya berdaya pada sektor
domestik saja. Akan tetapi perlu kita mengetahui bahwa struktur angkatan kerja
perempuan sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini
menyebabkan sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan
yang sifatnya tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan keterampilan spesifik,
seperti PRT. [1]Hal
tersebut selaras dengan data menurut Labour Organization yang menyatakan
bahwa sekitar 75% PRT di Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar berasal
dari pedesaan dan secara general berpendidikan rendah.
Menurut Saparinah Sadli dan Muryanti, ada dua
faktor yang membuat perempuan menjadi PRT, yaitu kemiskinan perempuan desa dan
kebutuhan perempuan kota.[2]
Kedua faktor ini menyebabkan banyaknya perempuan yang terpaksa menjadi pembantu
rumah tangga. Mengingat kemudahan bekerja sebagai PRT yang sifatnya lebih
fleksibel tidak memerlukan keahlian, keterampilan khusus dan pendidikan tinggi.
Keadaan inilah yang cukup memprihatinkan, bahwa PRT yang datang dari desa ke
kota untuk bekerja tanpa disertai persiapan, keahlian, dan keterampilan, yang secara
implisit menjelaskan bahwa PRT memiliki pemahaman dan kesadaran dalam hal dunia
pekerjaan yang lemah. Sehingga rentan terhadap berbagai macam bentuk
ketidakadilan yang menyebabkan hak-haknya tidak terpenuhi.
Gambar 1. Regulasi Sistem Ketenagakerjaan
Sumber : Data KTI Tingkat Nasional oleh vita, dkk di UIN Surabaya
Sementara keberadaan regulasi yang ada
harusnya mampu mengakomodir terpenuhinya hak-hak PRT. Dalam realitasnya belum
mampu menjamin hak PRT. Hal tersebut dapat kita lihat dari kasus-kasus yang
menimpa pembantu rumah tangga di Indonesia yang tercatat hingga bulan September
2016 terdapat sebanyak 217 Kasus PRT. Sebanyak 41 kasus merupakan kasus
kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan trackfficking dan berakibat
fatal. Sedangkan 102 kasus multi kekerasan psikis, fisik dan ekonomi. Dan 74
kasus merupakan ekonomi berupah upah yang tidak dibayarkan oleh majikannya. [3] Selain
itu, DPR
RI pun tidak kunjung
mengesahkan RUU tentang PRT dan
meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Bagi PRT.[4]
Adapun secara sosial PRT tidak dianggap
sebagai profesi sehingga dalam hal pemenuhan hak-haknya hanya berdasarkan
bentuk belas kasihan atau kemurahan hati dari majikan. Hal tersebut karena
hubungan PRT dan majikan adalah kekeluargaan. Keadaan yang seperti ini menyebabkan banyak hal dapat
mengaburkan adanya relasi hubungan kerja antara PRT dan pengguna jasa.
Akibatnya beban pekerjaan dan hak-hak PRT menjadi tidak terukur, jam kerja
tanpa batas, gaji sangat rendah, ketentuan kerja yang adil dan tidak adanya
jaminan kesehatan. Pada dasarnya tidak terjamin kualitas hidup PRT, merupakan
akibat dari kompleksitas masalah yang cukup rumit. Kompleksitas permasalahan dapat
dilihat dari wilayah kerja PRT yang berada di lingkup domestik/ per rumah-rumah
yang terbatas dalam hal interaksi. Akibatnya wilayah kerja PRT sulit untuk
dilakukan kontrol, jika terjadi adanya pelanggaran.
Gambar.
2 Bentuk Ketidakadilan pada PRT
Sumber : Data KTI Tingkat Nasional oleh vita, dkk di UIN Surabaya
Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami PRT yang
memicu terjadinya pelanggaran atas hak-haknya, dimana PRT selama ini menjadi
pihak yang sangat rentan atas kerugian. Bentuk ketidakadilan tersebut
diantaranya : pertama, diskriminatif yaitu kontruksi
paradigma yang melekat pada masyarakat bahwa PRT adalah pekerjaan rendahan pada
sektor informal, yang dalam hal sistem pengupahan, jam kerja,
aktivitas-aktivitas ke-rumahtanggaan menjadi tidak terukur dan jelas. Kedua,
adanya pelabelan atau stereotip yaitu seringkali pekerjaan PRT
dianggap sebagai pekerjaan perempuan bukan laki-laki. Ketiga, marginalisasi
atau terpinggirkan. Keempat, subordinasi yaitu peran laki-laki
yang cenderung dianggap masyarakat sebagai panutan, bukan perempuan. Perempuan
dianggap sebagai the second sexs (warga kelas dua) dan lemah.
Oleh karena itulah, perlunya
suatu upaya hukum yang ditempuh untuk meningkatkan pemenuhan HAM pada PRT,
yakni melalui Employment Contract
(kontrak kerja). Hal tersebut sebagaimana realitas di lapangan bahwa sebagian
besar PRT bekerja tanpa ada kontrak yang jelas. Penyalur tenaga PRT dalam
sektor domestik pun pada tahapannya tidak memberikan pemahaman kepada calon PRT
tentang sistem ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Sehingga kontrak kerja menjadi suatu keharusan
sebagai langkah awal yang dilakukan sebelum berlangsungnya suatu hubungan
kerja, dimana kontrak kerja harus diwujudkan dengan baik. Hal tersebut
dimaksudkan agar dapat memberikan keadilan, baik bagi pengguna jasa PRT
(majikan) maupun bagi PRT, karena keduanya akan terlibat dalam suatu hubungan
kerja. Hal tersebut sebagaimana fungsi kontrak
kerja yaitu menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, PRT dan pengguna
jasa PRT (majikan), sebagai bukti legal yang dapat memudahkan penyelesaian
hukum apabila terjadi wanprestasi, dan memberikan kepastian hukum. Harapannya
bahwa employment contract (kontrak kerja) dapat meningkatkan pemenuhan
Hak Asasi Manusia bagi PRT, meskipun belum ada
peraturan yang secara khusus mengatur tentang PRT.
[1] JALA
PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pembantu Rumah Tangga, (Network for Domestic
Advocacy), tabloidpodium.com, diakses pada tanggal 01 Juni 2017.
[2] Muryanti, Perempuan Pedesaan (Kajian Sosiologis Pembantu Rumah
Tangga/PRT), (Yogyakarta : Bima Sakti, 2012), hlm.69
[4] Zaeni, Hukum Kerja, Hukum
Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), Hlm.30
0 comments:
Post a Comment