Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saturday, September 16, 2017

News Letter edisi pertama






Employment Contract (Kontrak Kerja) : Upaya Hukum Pemenuhan HAM pada Pembantu Rumah Tangga (PRT)
Pembantu Rumah Tangga yang kemudian disebut PRT adalah pekerjaan dalam sektor domestik yang secara tradisional dianggap dan dilekatkan sebagai pekerjaan perempuan. Hal ini sebagaimana stigma yang telah terbangun pada masyarakat pada umumnya bahwa pekerjaan yang sifatnya kerumahtanggaan adalah pekerjaan perempuan bukan pekerjaan laki-laki. Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa selama ini perempuan dianggap hanya fokus pada ranah domestik saja, sedangkan laki-laki pada ranah publik. Di sisi lain, perempuan juga dianggap sebagai pribadi yang secara kodrat lemah, sehingga hal tersebut mempengaruhi ketersediaan atas kesempatan kerja dalam dunia pekerjaan.
Padahal partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja mengalami peningkatan cukup tinggi, meskipun prosentasenya masih kalah jika dibandingkan dengan laki-laki. Namun, perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan peran perempuan yang sebenarnya tidak hanya berdaya pada sektor domestik saja. Akan tetapi perlu kita mengetahui bahwa struktur angkatan kerja perempuan sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini menyebabkan sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan yang sifatnya tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan keterampilan spesifik, seperti PRT. [1]Hal tersebut selaras dengan data menurut Labour Organization yang menyatakan bahwa sekitar 75% PRT di Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar berasal dari pedesaan dan secara general berpendidikan rendah.
Menurut Saparinah Sadli dan Muryanti, ada dua faktor yang membuat perempuan menjadi PRT, yaitu kemiskinan perempuan desa dan kebutuhan perempuan kota.[2] Kedua faktor ini menyebabkan banyaknya perempuan yang terpaksa menjadi pembantu rumah tangga. Mengingat kemudahan bekerja sebagai PRT yang sifatnya lebih fleksibel tidak memerlukan keahlian, keterampilan khusus dan pendidikan tinggi. Keadaan inilah yang cukup memprihatinkan, bahwa PRT yang datang dari desa ke kota untuk bekerja tanpa disertai persiapan, keahlian, dan keterampilan, yang secara implisit menjelaskan bahwa PRT memiliki pemahaman dan kesadaran dalam hal dunia pekerjaan yang lemah. Sehingga rentan terhadap berbagai macam bentuk ketidakadilan yang menyebabkan hak-haknya tidak terpenuhi.
Gambar 1. Regulasi Sistem Ketenagakerjaan



Sumber : Data KTI Tingkat Nasional oleh vita, dkk di UIN Surabaya
Sementara keberadaan regulasi yang ada harusnya mampu mengakomodir terpenuhinya hak-hak PRT. Dalam realitasnya belum mampu menjamin hak PRT. Hal tersebut dapat kita lihat dari kasus-kasus yang menimpa pembantu rumah tangga di Indonesia yang tercatat hingga bulan September 2016 terdapat sebanyak 217 Kasus PRT. Sebanyak 41 kasus merupakan kasus kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan trackfficking dan berakibat fatal. Sedangkan 102 kasus multi kekerasan psikis, fisik dan ekonomi. Dan 74 kasus merupakan ekonomi berupah upah yang tidak dibayarkan oleh majikannya. [3] Selain itu, DPR RI pun tidak kunjung mengesahkan RUU tentang PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Bagi PRT.[4]
Adapun secara sosial PRT tidak dianggap sebagai profesi sehingga dalam hal pemenuhan hak-haknya hanya berdasarkan bentuk belas kasihan atau kemurahan hati dari majikan. Hal tersebut karena hubungan PRT dan majikan adalah kekeluargaan. Keadaan yang seperti ini menyebabkan banyak hal dapat mengaburkan adanya relasi hubungan kerja antara PRT dan pengguna jasa. Akibatnya beban pekerjaan dan hak-hak PRT menjadi tidak terukur, jam kerja tanpa batas, gaji sangat rendah, ketentuan kerja yang adil dan tidak adanya jaminan kesehatan. Pada dasarnya tidak terjamin kualitas hidup PRT, merupakan akibat dari kompleksitas masalah yang cukup rumit. Kompleksitas permasalahan dapat dilihat dari wilayah kerja PRT yang berada di lingkup domestik/ per rumah-rumah yang terbatas dalam hal interaksi. Akibatnya wilayah kerja PRT sulit untuk dilakukan kontrol, jika terjadi adanya pelanggaran.
Gambar. 2 Bentuk Ketidakadilan pada PRT

Sumber : Data KTI Tingkat Nasional oleh vita, dkk di UIN Surabaya
Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami PRT yang memicu terjadinya pelanggaran atas hak-haknya, dimana PRT selama ini menjadi pihak yang sangat rentan atas kerugian. Bentuk ketidakadilan tersebut diantaranya : pertama, diskriminatif yaitu kontruksi paradigma yang melekat pada masyarakat bahwa PRT adalah pekerjaan rendahan pada sektor informal, yang dalam hal sistem pengupahan, jam kerja, aktivitas-aktivitas ke-rumahtanggaan menjadi tidak terukur dan jelas. Kedua, adanya pelabelan atau stereotip yaitu seringkali pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan perempuan bukan laki-laki. Ketiga, marginalisasi atau terpinggirkan. Keempat, subordinasi yaitu peran laki-laki yang cenderung dianggap masyarakat sebagai panutan, bukan perempuan. Perempuan dianggap sebagai the second sexs (warga kelas dua) dan lemah. 
Oleh karena itulah, perlunya suatu upaya hukum yang ditempuh untuk meningkatkan pemenuhan HAM pada PRT, yakni melalui  Employment Contract (kontrak kerja). Hal tersebut sebagaimana realitas di lapangan bahwa sebagian besar PRT bekerja tanpa ada kontrak yang jelas. Penyalur tenaga PRT dalam sektor domestik pun pada tahapannya tidak memberikan pemahaman kepada calon PRT tentang sistem ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Sehingga kontrak kerja menjadi suatu keharusan sebagai langkah awal yang dilakukan sebelum berlangsungnya suatu hubungan kerja, dimana kontrak kerja harus diwujudkan dengan baik. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat memberikan keadilan, baik bagi pengguna jasa PRT (majikan) maupun bagi PRT, karena keduanya akan terlibat dalam suatu hubungan kerja. Hal tersebut sebagaimana fungsi kontrak kerja yaitu menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, PRT dan pengguna jasa PRT (majikan), sebagai bukti legal yang dapat memudahkan penyelesaian hukum apabila terjadi wanprestasi, dan memberikan kepastian hukum. Harapannya bahwa employment contract (kontrak kerja) dapat meningkatkan pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi PRT, meskipun belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang PRT.






[1] JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pembantu Rumah Tangga, (Network for Domestic Advocacy), tabloidpodium.com, diakses pada tanggal 01 Juni 2017.
[2] Muryanti, Perempuan Pedesaan (Kajian Sosiologis Pembantu Rumah Tangga/PRT), (Yogyakarta : Bima Sakti, 2012), hlm.69
[3] Berdasarkan data labour organization.
[4] Zaeni, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), Hlm.30

0 comments:

Post a Comment

Copyright © PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM | Powered by Blogger
Design by Viva Themes