Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saturday, September 27, 2025

Makan Bergizi Gratis dan Suara Ibu di Yogyakarta

banner

 Oleh : Muhammad Fadel Adhyputra Makan Bergizi Gratis dan Suara Ibu di Yogyakarta


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digagas sebagai proyek nasional untuk meningkatkan gizi anak, menekan stunting, dan memperkuat kualitas pendidikan menuju Indonesia Emas 2045. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan lebar antara janji dan pelaksanaan. MBG justru menimbulkan krisis kesehatan publik dengan ribuan kasus keracunan massal di berbagai daerah, merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara, sekaligus memperlihatkan kelemahan mendasar dalam desain dan tata kelola program ini.

Akar kegagalan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terletak pada lemahnya pengawasan dalam model pengelolaan yang sangat terpusat. Badan Gizi Nasional (BGN) mengakui bahwa ribuan kasus keracunan massal terjadi karena mitra dan tim internal tidak mengikuti prosedur operasi standar dengan benar. Kasus di Jawa Barat, misalnya, dipicu oleh dapur yang menggunakan bahan makanan basi, ditambah waktu memasak yang inkonsisten. Laporan juga menyebutkan adanya kekurangan ahli gizi, standar dapur yang belum memadai, serta sertifikasi kesehatan yang diabaikan. Program yang menelan anggaran ratusan triliun rupiah ini berjalan dengan kecepatan ekspansi tinggi, menjangkau puluhan juta penerima, namun tanpa kesiapan infrastruktur dan sistem pengawasan yang memadai. Hal tersebut menjadikan program rentan terhadap masalah keamanan pangan sekaligus memperlihatkan celah tata kelola yang serius [1].

Dampaknya terlihat nyata. Kasus keracunan massal di Bandung Barat, Kebumen, Rembang, Sleman, dan Kulon Progo menimpa ribuan siswa bahkan ibu menyusui, dengan gejala mulai dari mual, muntah, hingga kejang. Keracunan disebabkan oleh faktor yang sistemik, dimulai dari bahan baku tidak segar, proses pengolahan tidak higienis, peralatan tidak steril, serta distribusi yang tidak terkendali[2] [3] [4] [5]. Dari 8.583 Dapur MBG hanya 34 yang mendapatkan sertifikat higienis [6]. Ironisnya, alih-alih bertanggung jawab, pemerintah melalui BGN justru menyebut kasus ini masih “dalam batas wajar”, dengan menekankan bahwa hanya 4.711 porsi dari 1 miliar porsi yang bermasalah, dan menghindari menyebutnya sebagai keracunan massal [7].

Lebih dari sekadar krisis kesehatan, MBG juga menimbulkan persoalan hukum. UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999 menjamin hak warga atas rasa aman dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa (Pasal 4) serta menetapkan tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen (Pasal 19). Ribuan kasus keracunan MBG menunjukkan standar ini dilanggar, sehingga program bukan hanya gagal teknis, tetapi juga melanggar kewajiban hukum negara. Di beberapa tempat juga ditemukan praktik untuk memaksa orang tua menandatangani surat pernyataan bebas tuntutan. Hal tersebut adalah bentuk kekerasan administratif yang melanggar prinsip keadilan [8]. Surat itu seolah memberi pilihan, padahal sebenarnya adalah mekanisme koersif untuk membungkam warga dan menutup pintu akuntabilitas.

 

Kekecewaan publik terhadap MBG melahirkan perlawanan akar rumput, terutama dari kalangan perempuan. Pada 22 September 2025, sekitar 200 perempuan yang tergabung dalam aksi Kenduri Suara Ibu Indonesia menggelar aksi damai di Bundaran UGM, Yogyakarta. Dengan simbol panci yang dipukul berulang, mereka menyuarakan kritik terhadap negara yang gagal melindungi anak-anak dari kasus keracunan massal akibat MBG. Tuntutan mereka jelas, menghentikan sementara program, menuntut akuntabilitas pejabat terkait, serta mengusut potensi korupsi dalam pengelolaannya [9]. Aksi ini menegaskan penolakan perempuan terhadap cara negara yang serba dari atas dan kurang mendengar masyarakat, serta menuntut agar urusan gizi dikelola dengan cara yang lebih terbuka dan melibatkan warga

Fenomena demonstrasi ibu-ibu Jogja ini memperlihatkan dinamika penting dalam gerakan masyarakat. Perempuan yang selama ini dilekatkan pada ranah domestik, kini keluar ke ruang publik untuk menuntut hak sebagai warga negara. Aksi ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai protes soal menu makan siang, tetapi sebagai pernyataan politik bahwa perempuan berhak atas suara, hak, dan keadilan. Mereka menolak menjadi objek kebijakan dan menegaskan diri sebagai subjek hukum yang setara.

Situasi ini menunjukkan wajah hukum yang bias gender jika dilihat dari perspektif Feminist Legal Theory (FLT). Kebijakan negara terkait MBG berdampak dua kali bagi ibu, pertama, sebagai warga negara, orang tua dipaksa menandatangani surat pernyataan agar tidak melapor bila anak mengalami keracunan, sehingga hak atas perlindungan hukum terampas. Kedua, sebagai ibu dan perempuan, mereka tetap menanggung beban moral untuk menjaga kesehatan anak, sementara suara mereka di ruang publik sering diremehkan. Banyak kebijakan dibuat tanpa mempertimbangkan dampaknya pada ibu dan perempuan, sehingga mereka menanggung beban ganda, mengurus keluarga sekaligus menghadapi pembatasan ruang politik akibat stereotip gender. Hukum yang seharusnya melindungi justru kerap menjadi instrumen yang melemahkan posisi dan suara mereka.

Kasus MBG menunjukkan bahwa demokrasi tidak cukup hanya memberi ruang formal partisipasi, tetapi juga harus menjamin ruang aman dan setara bagi perempuan. Aksi para ibu di Yogyakarta adalah pengingat bahwa suara perempuan bukan tambahan dalam wacana publik, melainkan inti dari demokrasi yang adil. Ketika negara lalai dan membungkam, perempuan membuktikan bahwa mereka tidak bisa lagi didiamkan. Sudah saatnya pemerintah bertindak nyata, memperbaiki sistem, dan memberi ruang bagi para perempuan untuk bersuara dan terlibat dalam setiap keputusan yang menyangkut hidup mereka. Suara ibu bukan sekadar tambahan, suara mereka menuntut didengar, diresapi, dan direspons. Suara mereka bukan hanya sah, tetapi harus didengar dua kali lebih keras.

“Equum et bonum est lex legum” – Apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum

[1]        A. Teresia, S. Widianto, dan L. Heavens, “Indonesia agency says lack of oversight in free meal programme led to food poisoning cases,” Reuters, 26 September 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-agency-says-lack-oversight-free-meal-programme-led-food-poisoning-2025-09-26

[2]        W. Pradana, “1.333 Siswa Keracunan MBG di Bandung Barat, Ada Pasien Sembuh Bergejala Lagi.” [Daring]. Tersedia pada: https://news.detik.com/berita/d-8131929/1-333-siswa-keracunan-mbg-di-bandung-barat-ada-pasien-sembuh-bergejala-lagi

[3]        R. Heksantoro, “Ratusan Siswa Kebumen Diduga Keracunan Usai Santap Soto-Perkedel MBG,” DetikJateng, 26 September 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://www.detik.com/jateng/berita/d-8131416/ratusan-siswa-kebumen-diduga-keracunan-usai-santap-soto-perkedel-mbg

[4]        gusti.grehenson, “Kasus Keracunan MBG di Sleman dan Lebong, Pakar UGM Sebut Minimnya Pengawasan Proses Penyiapan Makanan Higienis,” Universitas Gadjah Mada, Agustus 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://ugm.ac.id/id/berita/kasus-keracunan-mbg-di-sleman-dan-lebong-pakar-ugm-sebut-minimnya-pengawasan-proses-penyiapan-makanan-higienis

[5]        J. R. Dewantara, “80 Siswa dari 2 SMP Kulon Progo Masih Sakit Imbas Diduga Keracunan MBG,” DetikJogja, Agustus 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://www.detik.com/jogja/berita/d-8040483/80-siswa-dari-2-smp-kulon-progo-masih-sakit-imbas-diduga-keracunan-mbg

[6]        Redaksi CNN Indonesia, “KSP: Cuma 34 dari 8.583 Dapur MBG yang Kantongi Sertifikat Higienis,” CNN Indonesia. [Daring]. Tersedia pada: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250925190206-20-1277788/ksp-cuma-34-dari-8583-dapur-mbg-yang-kantongi-sertifikat-higienis

[7]        D. L. Mardianti, Alasan BGN Ogah Hentikan Sementara MBG meski Banyak Kasus Keracunan. 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://www.tempo.co/politik/alasan-bgn-ogah-hentikan-sementara-mbg-meski-banyak-kasus-keracunan-2072605

[8]        J. H. W. S, “Beredar Surat Rahasiakan Keracunan MBG, Pemkab Sleman Minta Klarifikasi BGN,” DetikNews, 22 September 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://news.detik.com/berita/d-8125038/beredar-surat-rahasiakan-keracunan-mbg-pemkab-sleman-minta-klarifikasi-bgn

[9]        S. Maharani, “Tuntut Pemerintah Hentikan Program MBG, Suara Ibu Indonesia Pukul Panci,” Tempo, 26 September 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://www.tempo.co/politik/tuntut-pemerintah-hentikan-program-mbg-suara-ibu-indonesia-pukul-panci-2073735

 

 

 

 

 


EmoticonEmoticon