
Oleh : Muhammad Fadel Adhyputra Makan Bergizi Gratis dan Suara Ibu di Yogyakarta
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digagas
sebagai proyek nasional untuk meningkatkan gizi anak, menekan stunting, dan
memperkuat kualitas pendidikan menuju Indonesia Emas 2045. Namun, realitas di
lapangan menunjukkan kesenjangan lebar antara janji dan pelaksanaan. MBG justru
menimbulkan krisis kesehatan publik dengan ribuan kasus keracunan massal di
berbagai daerah, merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara, sekaligus memperlihatkan
kelemahan mendasar dalam desain dan tata kelola program ini.
Akar kegagalan Program Makan Bergizi Gratis
(MBG) terletak pada lemahnya pengawasan dalam model pengelolaan yang sangat
terpusat. Badan Gizi Nasional (BGN) mengakui bahwa ribuan kasus keracunan
massal terjadi karena mitra dan tim internal tidak mengikuti prosedur operasi
standar dengan benar. Kasus di Jawa Barat, misalnya, dipicu oleh dapur yang
menggunakan bahan makanan basi, ditambah waktu memasak yang inkonsisten.
Laporan juga menyebutkan adanya kekurangan ahli gizi, standar dapur yang belum
memadai, serta sertifikasi kesehatan yang diabaikan. Program yang menelan
anggaran ratusan triliun rupiah ini berjalan dengan kecepatan ekspansi tinggi, menjangkau
puluhan juta penerima, namun tanpa kesiapan infrastruktur dan sistem pengawasan
yang memadai. Hal tersebut menjadikan program rentan terhadap masalah keamanan
pangan sekaligus memperlihatkan celah tata kelola yang serius [1].
Dampaknya terlihat nyata. Kasus keracunan
massal di Bandung Barat, Kebumen, Rembang, Sleman, dan Kulon Progo menimpa
ribuan siswa bahkan ibu menyusui, dengan gejala mulai dari mual, muntah, hingga
kejang. Keracunan disebabkan oleh faktor yang sistemik, dimulai dari bahan baku
tidak segar, proses pengolahan tidak higienis, peralatan tidak steril, serta
distribusi yang tidak terkendali[2] [3] [4] [5]. Dari 8.583 Dapur MBG hanya 34 yang mendapatkan sertifikat higienis [6]. Ironisnya, alih-alih bertanggung jawab, pemerintah melalui BGN justru
menyebut kasus ini masih “dalam batas wajar”, dengan menekankan bahwa hanya
4.711 porsi dari 1 miliar porsi yang bermasalah, dan menghindari menyebutnya
sebagai keracunan massal [7].
Lebih dari sekadar krisis kesehatan, MBG juga
menimbulkan persoalan hukum. UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999 menjamin hak
warga atas rasa aman dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa (Pasal 4)
serta menetapkan tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen (Pasal 19).
Ribuan kasus keracunan MBG menunjukkan standar ini dilanggar, sehingga program
bukan hanya gagal teknis, tetapi juga melanggar kewajiban hukum negara. Di
beberapa tempat juga ditemukan praktik untuk memaksa orang tua menandatangani
surat pernyataan bebas tuntutan. Hal tersebut adalah bentuk kekerasan
administratif yang melanggar prinsip keadilan [8]. Surat itu seolah memberi pilihan, padahal
sebenarnya adalah mekanisme koersif untuk membungkam warga dan menutup pintu
akuntabilitas.
Kekecewaan publik terhadap MBG melahirkan
perlawanan akar rumput, terutama dari kalangan perempuan. Pada 22 September
2025, sekitar 200 perempuan yang tergabung dalam aksi Kenduri Suara Ibu
Indonesia menggelar aksi damai di Bundaran UGM, Yogyakarta. Dengan simbol panci
yang dipukul berulang, mereka menyuarakan kritik terhadap negara yang gagal
melindungi anak-anak dari kasus keracunan massal akibat MBG. Tuntutan mereka
jelas, menghentikan sementara program, menuntut akuntabilitas pejabat terkait,
serta mengusut potensi korupsi dalam pengelolaannya [9]. Aksi ini menegaskan penolakan perempuan terhadap cara negara yang serba
dari atas dan kurang mendengar masyarakat, serta menuntut agar urusan gizi
dikelola dengan cara yang lebih terbuka dan melibatkan warga
Fenomena demonstrasi ibu-ibu Jogja ini memperlihatkan
dinamika penting dalam gerakan masyarakat. Perempuan yang selama ini dilekatkan
pada ranah domestik, kini keluar ke ruang publik untuk menuntut hak sebagai
warga negara. Aksi ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai protes soal menu
makan siang, tetapi sebagai pernyataan politik bahwa perempuan berhak atas
suara, hak, dan keadilan. Mereka menolak menjadi objek kebijakan dan menegaskan
diri sebagai subjek hukum yang setara.
Situasi ini menunjukkan wajah hukum yang bias
gender jika dilihat dari perspektif Feminist Legal Theory (FLT).
Kebijakan negara terkait MBG berdampak dua kali bagi ibu, pertama,
sebagai warga negara, orang tua dipaksa menandatangani surat pernyataan agar
tidak melapor bila anak mengalami keracunan, sehingga hak atas perlindungan
hukum terampas. Kedua, sebagai ibu dan perempuan, mereka tetap
menanggung beban moral untuk menjaga kesehatan anak, sementara suara mereka di
ruang publik sering diremehkan. Banyak kebijakan dibuat tanpa mempertimbangkan
dampaknya pada ibu dan perempuan, sehingga mereka menanggung beban ganda, mengurus
keluarga sekaligus menghadapi pembatasan ruang politik akibat stereotip gender.
Hukum yang seharusnya melindungi justru kerap menjadi instrumen yang melemahkan
posisi dan suara mereka.
Kasus MBG menunjukkan bahwa demokrasi tidak
cukup hanya memberi ruang formal partisipasi, tetapi juga harus menjamin ruang
aman dan setara bagi perempuan. Aksi para ibu di Yogyakarta adalah pengingat
bahwa suara perempuan bukan tambahan dalam wacana publik, melainkan inti dari
demokrasi yang adil. Ketika negara lalai dan membungkam, perempuan membuktikan
bahwa mereka tidak bisa lagi didiamkan. Sudah saatnya pemerintah bertindak
nyata, memperbaiki sistem, dan memberi ruang bagi para perempuan untuk bersuara
dan terlibat dalam setiap keputusan yang menyangkut hidup mereka. Suara ibu
bukan sekadar tambahan, suara mereka menuntut didengar, diresapi, dan
direspons. Suara mereka bukan hanya sah, tetapi harus didengar dua kali lebih
keras.
“Equum et bonum est lex legum” – Apa yang adil dan baik adalah
hukumnya hukum
[1] A. Teresia, S. Widianto, dan L. Heavens, “Indonesia agency
says lack of oversight in free meal programme led to food poisoning cases,” Reuters,
26 September 2025. [Daring]. Tersedia pada:
https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-agency-says-lack-oversight-free-meal-programme-led-food-poisoning-2025-09-26
[2] W. Pradana, “1.333 Siswa Keracunan MBG
di Bandung Barat, Ada Pasien Sembuh Bergejala Lagi.” [Daring]. Tersedia pada:
https://news.detik.com/berita/d-8131929/1-333-siswa-keracunan-mbg-di-bandung-barat-ada-pasien-sembuh-bergejala-lagi
[3] R. Heksantoro, “Ratusan Siswa Kebumen
Diduga Keracunan Usai Santap Soto-Perkedel MBG,” DetikJateng, 26
September 2025. [Daring]. Tersedia pada:
https://www.detik.com/jateng/berita/d-8131416/ratusan-siswa-kebumen-diduga-keracunan-usai-santap-soto-perkedel-mbg
[4] gusti.grehenson, “Kasus Keracunan MBG di
Sleman dan Lebong, Pakar UGM Sebut Minimnya Pengawasan Proses Penyiapan Makanan
Higienis,” Universitas Gadjah Mada, Agustus 2025. [Daring]. Tersedia
pada:
https://ugm.ac.id/id/berita/kasus-keracunan-mbg-di-sleman-dan-lebong-pakar-ugm-sebut-minimnya-pengawasan-proses-penyiapan-makanan-higienis
[5] J. R. Dewantara, “80 Siswa dari 2 SMP
Kulon Progo Masih Sakit Imbas Diduga Keracunan MBG,” DetikJogja, Agustus
2025. [Daring]. Tersedia pada:
https://www.detik.com/jogja/berita/d-8040483/80-siswa-dari-2-smp-kulon-progo-masih-sakit-imbas-diduga-keracunan-mbg
[6] Redaksi CNN Indonesia, “KSP: Cuma 34
dari 8.583 Dapur MBG yang Kantongi Sertifikat Higienis,” CNN Indonesia.
[Daring]. Tersedia pada:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250925190206-20-1277788/ksp-cuma-34-dari-8583-dapur-mbg-yang-kantongi-sertifikat-higienis
[7] D. L. Mardianti, Alasan BGN Ogah
Hentikan Sementara MBG meski Banyak Kasus Keracunan. 2025. [Daring].
Tersedia pada:
https://www.tempo.co/politik/alasan-bgn-ogah-hentikan-sementara-mbg-meski-banyak-kasus-keracunan-2072605
[8] J. H. W. S, “Beredar Surat Rahasiakan
Keracunan MBG, Pemkab Sleman Minta Klarifikasi BGN,” DetikNews, 22
September 2025. [Daring]. Tersedia pada:
https://news.detik.com/berita/d-8125038/beredar-surat-rahasiakan-keracunan-mbg-pemkab-sleman-minta-klarifikasi-bgn
[9] S. Maharani, “Tuntut Pemerintah Hentikan
Program MBG, Suara Ibu Indonesia Pukul Panci,” Tempo, 26 September 2025.
[Daring]. Tersedia pada:
https://www.tempo.co/politik/tuntut-pemerintah-hentikan-program-mbg-suara-ibu-indonesia-pukul-panci-2073735
EmoticonEmoticon