
DILEMA PEMOSISIAN PAJAK DAN ZAKAT
Oleh: Nur Indah*
Terminologi zakat
memang sudah tidak asing lagi terutama bagi kalangan umat Islam yang ada di
setiap penjuru dunia. Singkatnya, “Zakat” secara istilah adalah sebagian harta
yang telah diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang yang berhak
menerimanya sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an atau boleh
diartikan dengan kadar tertentu atas harta tertentu yang diberikan kepada
orang-orang tertentu dengan lafadz zakat yang juga digunakan terhadap bagian
tertentu yang dikeluarkan dari orang yang telah dikenai kewajiban untuk
mengeluarkan zakat. Beralih pada pajak, pajak menurut undang-undang adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Jika melihat definisi dari keduanya dapat kita ketahui bahwa zakat
dan pajak adalah dana yang sama-sama diperoleh dari rakyat dan fungsinya pun
juga hampir sama, hanya saja pajak lebih berfokus kepada urusan negara dan
zakat semata-mata hanya untuk masyarakat yang membutuhkan saja sesuai dengan ketentuan
syara’. Ada beberapa hal yang harus diketahui di sini, bahwasanya pajak
berfungsi sebagai alat kebijakan ekonomi namun mengandung unsur politik, sementara, zakat pun juga berfungsi sebagai alat kebijakan ekonomi namun sangat
minim jika di dalam zakat mengandung unsur politik. Hal ini dikarenakan pajak
berlaku bagi seluruh warga negara meskipun orang tersebut merupakan seorang
warga negara asing yang berdomisi di Indonesia dan dana tersebut akan dikelola
oleh negara dan sangat mungkin untuk dikorupsi oleh para pejabatnya, sedangkan
zakat hanya bagi mereka yang beragama Islam sedangkan non muslim tidak dikenai zakat.
Kedua anggaran pendapatan negara ini dapat disebut begitu karena semuanya
diatur oleh pemerintah yang sama-sama memiliki kepastian hukum di mana apabila keduanya
tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuannya masing-masing maka hal tersebut
akan berakibat fatal, terlebih lagi aturan tersebut pun bersifat mengikat. Jika
pajak harus dipungut saat waktunya wajib pajak, begitu pula
dengan zakat yang harus dibayarkan jika sudah waktunya untuk
membayar zakat.
Dari uraian di atas timbul pertanyaan apakah pengelolaan dan
pendistribusian zakat ini tidak mungkin untuk disamakan dengan pajak sehingga
pemerintah hanya menggunakan salah satu dari dua ini untuk pendapatan yang
mampu membantu perekonomian negara yang di dalamnya terdapat masyarakat yang
membutuhkan? Dari beberapa sumber di internet,
juga dari pelbagai literatur yang berkaitan dengan hal ini, ada kemungkinan
zakat bisa menggantikan posisi pajak. Hal ini dikarenakan selama beberapa tahun
ini pendapatan dana zakat oleh BAZNAS sangatlah pesat melebihi jumlah yang ditargetkan
dan ini akan sangat membantu masyarakat serta sangat dimungkinkan dapat
membantu pembangunan dalam segi infrastruktur atau yang lainnya sebagai sarana
penunjang di negeri tercinta kita ini. Hanya saja zakat memiliki kelemahan
di mana zakat hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam. Jika dipelajari
lebih dalam lagi zakat memang sangat banyak membantu perekonomian, namun, kembali lagi terhadap posisi negara kita yang tidak mungkin menghilangkan pajak
hanya karena ada pendapatan lain seperti zakat, walau bagaimanapun pajak adalah
pendapatan yang juga telah banyak membantu negara. Kelebihannya pajak berlaku
bagi semua warga negara tidak terkecuali termasuk warga negara asing yang
berdomisili di Indonesia berdasarkan asas perpajakan yakni asas domisili. Dari
sini kita dapat melihat begitu pentingnya zakat dan pajak jika dilaksanakan
berdasarkan ketentuan hukum masing-masing, jadi biarkan
hal tersebut berjalan sesuai dengan fungsi dan tujuannya masing-masing.
*Anggota PSKH Korp Laskar Pemuda (Lasda)
Referensi:
Syaikh Muhammad Abdul Malik Ar-Rahman, 1001 Masalah dan Solusinya, Jakarta: Pustaka Cerdas Zakat, 2003.
EmoticonEmoticon