
Menghadapi Gejolak Rasisme, Akhiri Sejak Dalam Pikiran
Oleh: Chuzaimatus Saadah
Dunia tengah dirundung oleh pandemi. Bahkan negara-negara super powerpun bisa dikatakan masih kalah menghadapi problematika ini. Belum tuntas permasalahan pandemi melanda dunia, baru-baru ini dunia tengah disibukkan dengan penyelesaian masalah rasis, sejak gejolak yang terjadi di Amerika bulan lalu karena kematian George Floyd yang diduga merupakan korban rasisme. Kematian Floyd akibat keberingasan polisi disebut-sebut sebagai bagian dari rangkaian rasisme sistemik di AS.
Data dari statistika menyebut warga Amerika kulit hitam hampir tiga kali lebih, meninggal karena polisi dibandingkan warga kulit putih. Al-Jazeera melaporkan, dari 2013 hingga 2019, polisi di AS telah membunuh 7.666 orang. Warga kulit hitam AS adalah 13 persen dari total populasi AS, namun peluang mereka untuk dibunuh polisi "dua setengah kali lipat" dari warga kulit putih. Hal ini menunjukkan rasisme telah menjadi momok sejak dulu di Amerika. Peristiwa tersebut tentu saja mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Gelombang unjuk rasa terjadi di mana-mana, dengan tuntutan agar aparat bersikap lebih adil dan tidak rasis terhadap warga sipil. Bukan hanya di Amerika bahkan seluruh dunia. Polisi yang seharusnya menjadi tujuan keamanan masyarakat justru membawa traumatis bagi masyarakat.
Permasalahan rasis memang bukan hal baru. Kasus yang sama juga dialami di Indonesia, seperti yang terjadi pada mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019 lalu. Hal seperti ini akan terus terjadi di seluruh dunia dan entah dengan alasan apa kasus seperti ini begitu mudah diabaikan. Hidup di antara masyarakat majemuk memang beresiko tinggi terjadinya diskriminasi salah satu golongan. Umumnya masyarakat yang beragam selalu memiliki sifat-sifat dasar seperti adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain, sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya, dan terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan yang berbeda. tidak heran bila rawan terjadi konflik antar kelompok. Implikasi dari konflik tersebut tentu saja membawa disintegrasi bagi suatu negara. Tak ayal bila konflik tersebut berujung pada unjuk rasa untuk memisahkan diri dari suatu negara kesatuan. Sebut saja konflik yang terjadi di Indonesia tentang papua.
Tindakan deskriminatif seperti rasis merupakan tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Rasis juga merupakan bentuk ketidakadilan. Perilaku rasis tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Oleh karena itu, upaya menekans dan menghapus praktik-praktik rasis adalah melalui perlindungan dan penegakan HAM disetiap ranah kehidupan manusia. diperlukan penanganan yang cepat dan tepat sehingga konflik yang awalnya bersifat individu tidak menjalar menjadi konflik antar ras dan etnis.
Dalam menangani problematika ini, sebelumnya Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, disingkat ICERD) yang telah disetujui dan ditandatangani oleh PBB telah mendeklarasikan hal tersebut. Konvensi tersebut mewajibkan anggotanya untuk menghapuskan diskriminasi ras dan mengembangkan toleransi di antara semua ras. Sehingga siapapun dari warga negara anggota PBB dilarang melakukan tindakan rasis dan mengkriminalkan keikutsertaan seseorang dalam organisasi rasis.
Konvensi tersebut juga memiliki mekanisme pengaduan apabila terjadi pelanggaran, sehingga telah berkembang suatu yurisprudensi mengenai penerapan konvensi ini. Dalam pasal 6 konvensi ini, disebutkan bahwa “ Negara-negara Pihak akan menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang berada di bawah yurisdiksinya melaui pengadilan nasional yang berwenang serta lembaga-lembaga Negara lainnya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial yang melanggar hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasarnya yang bertentangan dengan Konvensi ini, serta hak atas ganti rugi yang memadai atau memuaskan dari pengadilan tersebut atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi itu”. Secara jelas PBB mengecam tindakan rasis di manapun, bahkan menjamin perlindungan bagi setiap orang yang berada dalam yurisdiksinya, meski baru-baru ini kita mendengar bahwa AS negara yang dirundung masalah rasis justru mengundurkan diri dari Dewan HAM PBB, karena ketidakpuasan mereka terhadap kinerja PBB yang dianggap bias. Meski begitu, konvensi ini masih mengikat dan sudah semestinya ditaati oleh negara anggota lain di seluruh dunia.
Perlu disadari bahwa perbedaan yang ada pada setiap suku bangsa mempunyai tata nilai dan tradisi yasng berbeda-beda pula. Sudah saatnya setiap warga Negara bersikap terbuka dan toleran terhadap ras dan etnis yang berbeda-beda. Pandangan primordial yang akan membawa pada suatu sikap picik perlu segera diubah. Alih-alih menerapkan peraturan legal di tiap negara untuk menangkal rasis, menghapus pemikiran negatif di tiap individu dirasa sangat perlu. Pemikiran superior atas yag lain, memandang rendah kelompok lain, merasa paling benar dari yang lain, dan hal-hal lain yang dirasa mendikotomi golongan. Toleransilah sejak dalam pikiran, hargai perbedaan, dan cintai keragaman. Pemikiran menjadi hal yang penting dan mendasar. maka pemikiran-pemikiran yang mengarah pada rasisme juga harus diputus secara berkelanjutn, dengan tidak mengajarkan pada generasi selanjutnya.
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)
Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
EmoticonEmoticon