
Oleh :
Arina Widda Faradis,
Hanif Millata Ibrahim,
Uci Sanusi
ABSTRAK
Kemiskinan di Indonesia masih menjadi permasalahan besar yang belum
dapat terselesaikan sampai sekarang, meskipun telah berganti pemimpin berulang
kali. Tingginya tingkat kemiskinan, utamanya menimpa pada masyarakat desa.
Bahkan sampai tahun 2016 angka kemiskinan di desa mencapai 17,67 juta jiwa. Untuk
menyelesaikan permasalahan kemiskinan ini, tentunya membutuhkan suatu ide dan
gagasan baru yang dapat mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera dan mandiri.
Ide
dan gagasan baru ini harus dilakukan oleh pemerintah dengan cara setiap desa
harus membentuk koperasi desa yang dibentuk berdasarkan potensi dan kebutuhan
desa tersebut. Setidaknya ada tiga alasan perlu dibentuknya koperasi di desa. Pertama karena kurang efektifnya dana
desa yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam mengakomodir kebutuhan
masyarakat desa yang kompleks, Kedua dengan
dibentuknya koperasi dapat membuat masyarakat desa dapat ikut berpartisipatif
dalam pengelolaan koperasi, sehingga dapat mewujudkan kemandirian masyarakat di
desa, Ketiga revitalisasi pembangunan
desa melalui koperasi sebagai basik perekonomian desa.
Dengan
dibentuknya koperasi, dapat menciptakan masyarakat desa yang sejahtera dan
mandiri sehingga kemiskinan di desa dapat terkurangi atau bahkan dapat
dihilangkan karena masyarakat desa ikut serta sebagai pengelola koperasi,
sehingga kemajuan bangsa melalui desa yang mandiri dapat terwujud.
PEMBAHASAN
Problematik bangsa ini seirama dengan pepatah yang menyatakan
“Bagaikan ayam mati di tengah lumbung padi” (Chamid, Jurnal Al-‘Adl, No.
2, Juli 2013: 123). Pepatah ini menjelaskan bahwa kita miskin di negeri yang
kaya. Kemiskinan, selalu menjadi isu sosial maupun politik ditengah perhelakan
kekuasaan. Menurut Bradley R. Schiller (seperti dikutip Suyanto, 1996: 1)
mengartikan bahwa kemiskinan adalah suatu ketidaksanggupan dalam memenuhi
kebutuhan yang terbatas baik dari segi barang maupun pelayanan.
Kualifikasi kemiskinan berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi 2
yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah terjadi pada
kondisi masyarakat yang benar-benar kekurangan sumber daya maupun tingkat
perkembangan teknologi yang rendah. Sedangkan kemiskinan buatan, merupakan
kondisi dimana struktur yang ada membuat kelompok masyarakat sukar untuk
menguasasi sarana ekonomi dan fasilitas (Suyanto, 1996: 3).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2014
kemiskinan di kota mencapai 10,51 juta jiwa, sedangkan di desa mencapai 17,67
juta jiwa. Pada tahun 2016 kemiskinan di kota mengalami penurunan menjadi 10,34
juta jiwa, penurunan juga dialami di tingkat desa yaitu 17,67 juta jiwa.
Meskipun mengalami degradasi, namun tingkat degradasi tersebut tergolong sangat
rendah. Selain itu, ketimpangan sangat terlihat jelas bahwa angka kemiskinan di
desa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di kota.
Menurut BPS (2014), Indonesia memiliki 80.714 desa yang menduduki
kabupaten dan kota di penjuru nusantara. Desa menurut Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, “Desa adalah
desa dan desa
adat atau yang
disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak
tradisionalyang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI”.
Desa yang sejatinya
merupakan salah satu fisiografis negara memiliki pengaruh besar untuk ikut
terlibat dalam kemajuan bangsa. Sehingga, pembangunan desa yang berbasis
kemandirian menjadi rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan dengan
pembangunan nasional.
Menurut Mubyarto dan Hamid
(seperti dikutip Suyanto, 1996: 26) bahwa Pemerintah beranggapan, ada beberapa
faktor penyebab terhambatnya pembangunan desa yang berimplikasi pada kemiskinan
yaitu teknologi primitif, sulitnya ketersediaan irigasi maupun prasarana desa
lainnya, minimnya input pelengkap seperti pupuk, dan kekurangan bahkan tidak
memiliki modal. Sehingga, upaya yang dilakukan negara dalam pembangunan desa
yaitu dengan penyediaan input, subsidi, dan permodalan.
Pada jangka pendek upaya tersebut sangat bermanfaat bagi warga
desa. Namun demikian, pada jangka panjang gerakan ini justru mengantarkan pada
problem baru. Mengutip dari Rogers (1969), salah satu ciri-ciri masyarakat desa
adalah Dependence on hostility towards government authority, adanya
suatu ketergantungan dan rasa curiga
pada pemerintah maupun unsur-unsurnya (Amalia dan Syawie, Jurnal SI, No.
2, Mei-Agustus 2015: 178). Hal ini tercermin pada penelitian Suyanto pada
desa-desa di Jawa Timur bahwa bantuan yang di salurkan melalui Kredit Usaha
Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURT) dan sebagainya yang bermaksud
untuk menunjang kegiatan produktif, namun oleh masyarakat justru dipergunakan
untuk kegiatan konsumtif. Sehingga, timbul tunggakan kredit yang terus
menggunung (Suyanto, 1996: 27).
Mengenai kredit macet, juga terjadi di beberapa desa misalnya di
daerah Bali. Menurut laporan keuangan kantor Lembaga Pemberdayaan Lembaga
Pengkreditan Desa (LP LPD) di Kabupaten Buleleng ada 15 Lembaga Pengkreditan
Desa (LPD) yang mengalami kredit macet. Pada tahun 2011 jumlah kredit macet
mencapai Rp 543.067.000. Kemudian tahun 2013 total kredit
macet melonjak tajam hingga mencapai angka Rp
2.893.127.000. Artinya kredit macet dari tahun ketahun semakin mengalami
kenaikan yang tinggi.
Ciri ketergantungan inilah yang menjadikannya sulit keluar dari
lingkaran kemiskinan. Menurut Ismalina (dalam Tim Ahli Seknas Jokowi (eds.), 2014: 648) kemandirian suatu bangsa ditentukan dari sistem ekonomi.
Pada dasarnya, Bung Karno melahirkan Pancasila tidak hanya bertujuan sebagai
ideologi politik negara saja, melainkan sebagai ideologi segala sendi kehidupan
negara termasuk sistem ekonomi.
Pancasila memiliki satu asas kuat yang terbentuk dari peleburan
lima sila yaitu kekeluargaan atau kegotong-royongan nasional. Pancasila pun
memiliki paham ekonomi yang diturunkan dari setiap silanya, yaitu :
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa: Roda perekonomian diputar oleh gerakan ekonomi, moral, dan
sosial.
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab: Terdapat kehendak yang kuat pada masyarakat untuk
mewujudkan pemerataan sosial.
3.
Persatuan
Indonesia: Titik prioritas kebijakan ekonomi adalah pengembangan ekonomi
nasional yang kuat dan tangguh.
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan:
Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional.
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Keseimbangan antara perencanaan nasional
dengan desentralisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah (Mubyarto,
dalam Mubyarto dkk (ed), 1996:1-2)
Pada dasarnya, tujuan pembangunan desa adalah untuk menumbuhkan
kemampuan pengembangan perekonomian yang berbasis kemandirian. Langkah
pengembangan melalui penggalian potensi sumber daya alam maupun sumber daya
manusia dengan meningkatkan pelayanan, partisipasi, dan pemberdayaan masyarakat
(Amalia dan Syawie, Jurnal SI, No. 2, Mei-Agustus 2015: 176). Hal ini
selaras dengan teori pemberdayaan oleh Wahjudin Sumpeno, “pemberdayaan merupakan
upaya yang ditujukan agar
suatu tatanan dapat mencapai suatu
kondisi yang memungkinkan untuk membangun dirinya sendiri”
(Putra, Pratiwi, dan Suwondo, Jurnal JAP, Vol. 1 No. 6,
Mei-Agustus 2015: 177). Sehingga, harapan untuk mencapai kemandirian yang
tinggi di daerah akan terwujud.
Partisipasi rakyat
dalam pembangunan misalnya dari segi pertanian dapat melalui Koperasi Unit Desa
(KUD). KUD perlu dorongan kuat agar berperan serta dalam pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian dengan baik. Selain itu, KUD perlu dibina dan
dikembangkan agar peran koperasi semakin besar dalam perekonomian sosial.
Partisipasi pada pembangunan pertanian ini berkesinambungan dengan pembangunan
desa serta pembangunan berkelanjutan.
Pada desa mandiri,
terdapat rantai kerjasama dari pelaku-pelaku ekonomi desa yang disebut tri-pelaku
ekonomi desa. Basis kekeluargaan yang diusung dalam rantai kerjasama ini,
mewujudkan suasana kegotongroyongan yang merangsang pembangunan desa.
Tri-pelaku ekonomi desa tersebut terdiri dari :
1.
Pemerintah
desa: pelayan dan pelindung seluruh kepentingan desa;
2.
Usaha-usaha
swasta: berperan dalam pendinamisasian perekonomian desa;
3.
Perkumpulan
koperasi: berperan dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya dan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara keseluruhan (Awang, dalam
dalam Mubyarto dkk (ed), 1996:40-41).
Koperasi adalah mandat dari Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan”. Selanjutnya, bagian penjelasan menyatakan, “Badan usaha yang
sesuai dengan itu adalah koperasi”. Buah pikiran Bung Hatta dan tokoh Nasional
NKRI pada rumusan ini disebabkan mereka memandang hanya melalui koperasi-lah
masyarakat miskin mampu memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan. Melalui
koperasi, masyarakat golongan lemah dapat beraliansi membentuk wadah usaha
bersama.
Bidang ekonomi ini, menempatkan paham kebersamaan, kekeluargaan,
dan kepentingan bersama sebagai kedudukan utama. Sehingga paham filsafat dasar
kita bukanlah individualisme, melainkan kolektivisme/komunitarianisme. Hal ini
sama seperti hotoku-shi di Jepang yang bertumpu pada semangat gotong
royong dalam mengembangkan koperasi (Limbong, 2012: 34-38).
Bahkan pada Ketentuan Umum Kemendagri No. 37 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, memberikan hak otonom pada desa dalam
pengelolaan sumber Pendapatan Asli Desa (PAD) maupun pembelanjaan anggaran.
Namun demikian, masih banyak desa yang tidak mampu menjalankan kemandirian
tersebut. Problem disebabkan kurang mampunya mengelola sumber PAD berbasis
potensi yang dimiliki. Selain itu, program yang dibutuhkan desa belum mampu
diwujudkan dari perencanaan serta pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes). Sehingga tingkat ketergantungan pada dana bantuan pemerintah
pusat dan daerah masih sangat kuat. (Anwar dan Jatmiko, upy.ac.id/ekonomi/files/vol11/BAB_I_HAL.pdf,
akses 15 April).
Selain itu, permasalahan kemiskinan ini pun
memerlukan sumber pendapatan lain yang dapat menciptakan kemandirian. Meskipun
tersedia APBDes, namun pada implementasinya kurang aplikatif dalam mengakomodir
pembangunan desa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti FPPD
(2005), pentingnya sumber pendapatan lain untuk kemandirian desa disebabkan
oleh 4 faktor utama yaitu :
1) APBDes yang dimiliki desa tergolong kecil dan
sumber pendapatan desa bergantung pada dana tersebut;
2) Desa sulit mendapatkan PAD tinggi karena
kesejahteraan masyarakat desa yang masih tergolong rendah;
3) Rendahnya dana operasional desa yang digunakan
untuk pelayanan publik;
4)
Program pembangunan yang masuk ke desa
mayoritas hanya dikelola oleh Dinas (Putra, Pratiwi, dan Suwondo, Jurnal JAP, No. 6: 1204).
Melihat problematik tersebut, maka solusi dalam penggalian sumber
pendapatan lain yang dapat mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian yaitu
dengan pembentukan koperasi di desa. Setidaknya ada tiga alasan perlu dibentuknya
koperasi di desa yaitu, Pertama karena kurang efektifnya dana desa dalam
mengakomodir kebutuhan masyarakat desa, Kedua dengan dibentuknya
koperasi dapat membuat masyarakat desa ikut berpartisipatif dalam pengelolaan
sehingga dapat mewujudkan kemandirian, Ketiga revitalisasi pembangunan
desa melalui koperasi merupakan perwujudan dari basic perekonomian desa.
Kemudian, Jenis koperasi yang dibentuk sesuai dengan potensi dan kebutuhan
masing-masing desa.
DAFTAR PUSTAKA
Awang, Mubyarto
san Afri. “Pengembangan Ekonomi Pedesaan”, Membahas
Pembangunan Desa”, Yogyakarta: Aditya Media, 1996.
Ayu Diah
Amalia, M. Syawie. “Pembangunan
Kemandirian Desa melalui Konsep Pemberdayaan: Suatu Kajian dalam Perspektif
Sosiologi,” Jurnal Sosio Informa, Vol. 1, No. 02 (Mei-Agustus, 2015),
hal. 175-188.
Badan Pusat Statistik (2016)
Penghitungan dan analisis kemiskinan Makro Indonesia 2016. Badan Pusat
Statistik [Internet], 15 April. Available from: < https://www.bps.go.id/website/pdf
publikasi/Penghitungan-dan-Analisis-Kemiskinan-Makro-Indonesia-Tahun-2016--.pdf > [Accessed 15 April 2017]
Chamid, Nur. “Tantangan Sistem Keuangan Islam Sebagai Alternatif
Sistem
Keuangan Global,” Jurnal Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2 (Juli, 2013), hal. 110-127.
Chandra Kusuma Putra, Ratih Nur Pratiwi, Suwondo. “Pengelolaan
Alokasi Dana Desa
Dalam
Pemberdayaan Masyarakat Desa (Studi pada Desa Wonorejo Kecamatan Singosari
Kabupaten Malang),” Jurnal Administrasi Publik, Vol. 1, No. 6 (tanpa
tahun), hal. 1203-1207.
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri
Jumlah Kecamatan dan Desa Berdasarkan Laporan BPS
Provinsi/Kabupaten/KotaStatistik Indonesia 2014, BPS RI, (dalam Buku Informasi Statistik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [Internet], 15 April. Available from: < www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20141113100214.pdf > [Accessed 15 April 2017]
Ismalina,
Poppy. “Kemandirian Bangsa, Ajaran Bungk Karno, dan Sistem Ekonomi Pancasila,” Jalan
Kemandirian Bangsa”, eds. Tim Ahli Seknas Jokowi. Jakarta: Gramedia,
2014.
Ketentuan Umum Kemendagri No. 37 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Desa
Limbong, Bernhard. Pengusaha Koperasi Memperkokoh Fondasi Ekonomi
Rakyat. Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012.
Made Revi Armana, Ni Luh Gede Erni Sulindawati, Nyoman Trisna
Herawati. “Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet Pada Lembaga
Perkreditan Desa (Lpd) Di Kabupaten Buleleng,” e-Journal S1 Ak Universitas
Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1, (2015)
Misbahul Anwar, Bambang Jatmiko. “Kontribusi Dan Peran Pengelolaan Keuangan Desa
Untuk Mewujudkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa Yang Transparan Dan
Akuntabel (Survey Pada Perangkat Desa Di Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta).”
upy.ac.id/ekonomi/files/vol11/BAB_I_HAL.pdf (akses 16 April 2017).
Mubyarto. “Pancasila dan Keswadayaan Nasional”, “Membahas
Pembangunan Desa”, Yogyakarta:
Aditya Media, 1996.
Suyanto, Bagong. Perangkap Kemiskinan: Problem dan Strategi
Pengentasannya dalam Pembangunan Desa. Yogyakarta: Aditya Media, 1996.
Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa
Undang-Undang Dasar 1945
EmoticonEmoticon