
Menelisik
Dinamika LGBT, Bentuk Kebebasan atau Penyimpangan?
Oleh: Hanif M Ibrahim
Pada acara Indonesian Lawyer Club, Fahima Idris, anggota DPD-RI dari jakarta
mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak meremehkan gerakan legalisasi
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender). Bendera Pelangi merupakan simbol kaum LGBT, seorang Gay
bernama Harvey Milk meminta seorang seniman asal San Francisco, Gilbert Baker,
membuat bendera sebagai dukungan hak-hak gay dalam parade kota. Warna pelangi
dipilih karena mendeskripsikan magis alam dan keindahan. (Arifki, Haluan,
2016). Asal mula praktek hubungan sesama jenis di zaman postmodern tidak lepas
dari gerakan femenisme radikal dan libetarian radikal di barat. “Setelah lebih
dari 20 Negara yang meresmikan perkawinan sesama jenis, Amerika Serikat juga
selaku Negara Adikuasa melakukan peresmian perkawinan sesama jenis pada 26 Juni
2015” Ujar Dr. Aadian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam
Universitas Ibnu Khaldun.
Pada telaah historis, sampai
tahun 1972 homoseksual masih dianggap sebagai gangguan jiwa dalam buku panduan The Diagnostic and Statistcal Manual
of Mental Disorders. Namun hasil penelitian biolog Alfred Kinsey
mengkonfirmasi bahwa homosexual hanya terjadi pada manusia, dan hampir tidak
ada pada hewan. Karena itu pada tahun 1972 juga dihapuskan homesexual dalam
buku panduan gangguan jiwa. (Sarlito Wirawan S, Sindo, 2016). Tahun 2003,
terpilihnya Gene Robinson seorang pastur homo yang selama 13 tahun kawin dengan
Mark Andrew, yang hidup bepasangan sebagai suami-istri(suami) sebagai uskup
Gereja Angklingan di New Hampshire, Amerika Serikat. Peristiwa ini menjadi
sejarah terbesar pelaku LGBT menempati
kedudukan tertinggi di Gereja setelah 2000 tahun sejarah kristen. (Adian
Husaini, 2016).
Lumbung penyuaraan LGBT
selanjutnya adanya Tokoh berpengaruh yakni pernikahan Perdana Menteri Luxemburg
Xavier Bettel dengan Gauthier Destenay pada Mei 2015 yang diatayangkan
sebagaimana pernikahan Pangeran William
dan kate. (CNN Indonesia, Mei 2015). Mungkin hal ini yang mempengaruhi kekuatan
politik Amerika Serikat, 26 Juni 2015 agar Supreme Court AS memutuskan bahwa
konstitusinya menjamin pernikahan sesama jenis, disusul dengan disahkannya
Undang-Undang tentang LGBT yang sempat dipertentangkan oleh Mahkamah Agung AS
yang dipimpin oleh Hakim Anthony Kennedy. Pada 4 Juli 2015 bertepatan dengan
perayaan hari kemerdekaan amerika merupakan kemenangan kaum LGBT di Amerika.
Di Indonesia, berkaca dari
fakta sosiologis, berita LGBT dikejutkan dengan adanya pemberitaan pernikahan
dua wanita lesbian yang digelar di Pub daerah Blok M Jakarta Selatan pada 19
April 1981 dengan dihadiri 120 Undangan (Arifki, Haluan, 2016). Tentu hal ini
menjadi sorotan dan cacian bagi perkawinan itu. Guru besar UIN Syarif
Hidayatullah, Prof. Dr. Musdah Mulia, yang juga peraih nobel International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri AS
Condoleezza Rice di Wahington Pada 8 Maret 2007 mejadi sentral kontrovesi
Perguruan tingginya karena baginya LGBT itu boleh. Dia menyepakati tentang LGBT
bukan persoalan kita menolak ini di tengah masyarakat. Tetapi, LGBT tidak
bertentangan dengan demokrasi dan HAM sehingga sesuatu itu diukur karena
ketakwaannya, bukan seksualnya. Yang jelas tafsir yang digunakan guru besar ini
Moderat-Progresif (Thisgender.com) Tidak berakhir degan itu, pasca legalisasi
LGBT di Amerika ada beberapa tokoh artis yang juga diisukan Pro-LGBT lewat
ungkapannya secara tertulis seperti Anggun, Shrina Munaf, Lola Amaria, dan
Aming yang juga ikut turut ke jalan dalam perayaannya di Amerika. (www.terselubung.in)
Jelasnya, masyarakat Indonesia harus bersiap dan selektif ketika idolanya juga
menyepakati akan pro-LGBT sebelum subkultur terbentuk menekuk persepsi bahwa
kebebasan adalah hak yang paling mutlak.
Pada konteks Yuridis, Indonesia
mengakui adanya HAM. Dalam UUD 1945 BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, terdapat
pasal-pasal yang membuat kaum LGBT percaya diri seperti Pasal 28A yang
berbunyi, “Ssetiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.” Disokong dengan pasal lainnya, Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28
D ayat (2), 28D ayat (1), 28E ayat (2) dan (3), 28H ayat (2), 28I ayat (2,)(4),
dan (5), 28J ayat (1). Tapi secara komprehensif makna kebebasan yang dilegalisasi
dalam pasal-pasal tadi, bukanlah kebebasan tanpa batas, tapi kebebasan yang
juga terbatas sebagaimana kebebasan adamiah.
Pasal 28J ayat (1) mengunci kebebasan dengan
muatan subtansi: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasayrakat, berbangsa dan bernegara.” Ayat (2)
memberi proteksi lebih matang: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertibn umum dalam suatu
masyarakat demokratis.” Selain itu, Pasal 28B ayat (1) menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah menurut Pasal Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam perspektif Islam,
ta’wil hikayah penentang Nabi Luth A.S yaitu kaum sodom, diazab dengan
diputarbalikan negerinya sudah menjadi peringatan keras kaum penyuka sesama
jenis. Sekarang mulai bermunculan kembali, bahkan sudah banyak yang mengunnakan
logika keagamaan. Meski berulangkali bahwa kultur masyarakat Indonesia dalam
memahi HAM adalah tetap pada prinsip kekeluargaan (kolektivisme), bukan liberal
(individualisme) seperti di barat, tapi perjuangan LGBT begitu terasa dengan
bermunculannya komunitas seperti Arus Pelangi, Gaya Hidup, Gaya Nusantara.
Media sosial seperti kabarlgbt.org, aruspelangi.arg atau bahkan
aplikasi-aplikasi yang mempertemukan kaum LGBT seperti Grindr, Ddattch, Hornet,
U2nite dan Growlr sebagai peluncur kekuatan politik kaum LGBT.
Sekali lagi, gerakan LGBT yang
menuntut kebebasan patut diperhitungkan dalam ruang publik masyarakat
Indonesia. Pro-Kontra LGBT tetap akan menjadi penumpang gelap demokrasi
Indonesia yang memiliki perfpektif Negara Hukum Pancasila. Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa ditambah Kemanusiaan yang adil dan beradan menjadi benteng panduan
mutlak untuk memahami dunia sesuai tempat manusia tinggal, ubi societas, ibi jus. Beda hal dengan kebebasan humanis barat,
teo;ogis buka menjadi panduan mutlak, akal diberlakukan secara independen dari
ortodoksi teologis (Julia Day Howell, 2007). Bandikan saja dimana kebebasan
barat yang dikemas dalam konsep humanis di barat dapat dikaitkan dengan
feminisme yang lahir pada wanita barat. Lawat dari feminis adalah mesculine
atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Feminisme
menaganggap wanita hanya dijadikan alat pemuas laki-laki, akhirnya feminisme
radikal marah dan mengucapkan bisa hidup tanpa laki-laki dan bisa memenuhi
kebutugan seksnya. Lesbinism pun dianggap sebagai keniscayaan (Hamid Fahmi
Zarkasy, Fe-Minus, 2016) Padahal di barat yang mayaritas kristiani diterangkan
dalam bible (Imanat, 20:13) bahwa pelaku praktik kawin sejenis wajib dihukum
mati. (www.cbs-news.com)
Dalam pembahasan hukum
perubahan sosial dan berkaitan dengan antropologi hukum. Perilaku LGBT sedikit
demi sedikit mulai menebar ibarat virus dan lama-lama bisa saja hal yang tabu
menjadi suatu hal yang biasa. Satu unsur “Transgender: sudah mulai marak dan
tidak dipermaslahkan di Iindonesia, berkeliaran dimana-mana, tidak ada sanksi
tegas, padahal tidak ada dasar
legalitasnya satu pasalpun. Hal ini semacam sebuah dinamika sunyi yang
perlahan menekuk penyimpangan menjadi sebuah kebabasan salah kaprah. Hukum
memang boleh tidak berubah, tapi asas-asas boleh dan harus berubah. Pada
hakekatnya terdapat dual ruler of law,
yaitu cause: law as an independet
variable and effect: law as a devendent variable. Hukum dan perubahan
sosial memang harus segara mempertemukan teori sebagai basic interestending of Law and Social change dengan struktur dan
substansi hukum sebagai relationship of
law and social change agar tetap bertahan pada nilai-nilai yang tumbuh di
negara sendiri. Sebagai muslim, Al-Quran telah mengajarkan kita untuk kembali
pada hakkatnya masing-masing, bahwa jenis kelamin laki-laki dan perempuan itu
diciptakan demi kelestarian manusia secara alamiah dengan segala martabat
kemanusiaan (Q.S. An-Nisa: 1) bukan dengan segala macam metode untuk suatu
kepalsuan yang dibenarkan karena alasan kebabsan yang melangar fitrah. Wallahu A’lam bishawab.....
EmoticonEmoticon