
Oleh: Suryanto*
(NIM: 16350066_AS)
Pernikahan
merupakan sunatullah yang umum dan
berlaku untuk semua mahluk hidup yang ada di dunia ini, baik manusia, hewan
maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan adalah suatu jalan atau cara yang dipilih
oleh Allah SWT untuk mengembang biakkan dan melestarikan hidup mahluk-Nya.[1]
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur
dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Pernikahan merupakan sunah
nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat, yaitu mencontohi tindak laku
nabi Muhammad saw. Pernikahan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan
dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan
cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak
dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an.
Tata cara pernikahan yang benar dan sah telah banyak
dijelaskan baik di dalam Al-Qur’an maupun As-sunah, akan tetapi karena adanya
budaya dan adat istiadat yang berbeda, maka tata cara pernikahan antara tempat
yang satu dengan yang lain bisa saja berbeda, terutama sebagaimana yang kita
lihat di Indonesia sendiri. Tatat cara pernikahan di Jawa dan
Lombok sangat jauh berbeda. Sebagaimana dalam pembahasan ini, fokus pembahasan
saya mengenai tata cara atau tradisi pernikahan di Lombok.
Indonesia dalam mengatur pernikahan mempunyai dua hukum, yaitu
undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Sebagaiman yang kita ketahui bahwa Lombok merupakan penduduknya
mayoritas beragama islam dan terkenal dengan Pulau Seribu Masjid. Akan tetapi, sering kita
mendengar bahwa masyarakat Lombok melakukan pernikahan dengan cara kawin lari
atau kalau di Lombok di kenal dengan istilah Merari’.
Secara etimologis kata Merari’
berasal dari bahasa sasak “berari” atau ”melai’ang” yang artinya
adalah berlari atau melarikan. Sehingga merari’ dalam bahasa indonesia
di sebut dengan kawin lari. Sedangkan merari’ secara terminologis mengandung dua arti, yaitu
arti yang pertama, lari atau melarikan. Dan arti yang kedua yaitu keseluruhan
pelaksanaan perkawinan dalam adat sasak. Dengan demikian, adat merari’ adalah
melakukan suatu pernikahan dengan membawa lari si calon mempelai perempuan dari
rumah orang tuanya tanpa sepengetahuan orang tua dari mempelai perempuan ke
tempat si mempelai pria dengan dasar suka sama suka untuk menjadikannya sebagai
isteri.[2]
Merarik
dalam
tradisi masyarakat sasak merupakan suatu tradisi yang sudah dilakukan oleh para
nenek moyang sejak dulu dan merupakan warisan turun temurun. Apabila ada yang
ingin merubah tradisi tersebut maka tidaklah mungkin karena setiap suku-suku
yang ada di Indonesia mempunya budaya-budaya dan adat istiadat mereka masing-masing.
Islam mengatur
umatnya dalam melakukan hubungan dengan orang lain dengan sangat detail
sehingga umat islam dengan mudah menjalin hubungan dengan orang lain. Adat merarik dalam islam dalam pelaksanannya
sangat jauh berbeda dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Contohnya seperti kawin lari (merarik),
kalau kita tinjau bahwa kawin lari tidak ada dalam islam dan merupakan
perbuatan yang dilarang karena kawin lari bisa disebut juga pencurian.
Pencurian dalam islam hukumnya haram dan hukumannya adalah potong tangan
sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an.
Dalam islam merari’ (kawin lari) merupakan tata
cara perkawinan yang di larang karena termasuk dalam kategori pencurian dan di
dalam islam, mencuri hukumnya haram dan hukumannya adalah potong tangan.
Rasulullah juga tidak pernah mengajarkan umatnya melakukan kawin lari. Artinya kawin
lari tidak ada dalil yang menganjurkan atau membolehkan untuk kawin lari baik
di dalam Al-qur’an maupun As-sunah.
Akan
tetapi sebelum kita mengklaim bahwa merari’ (kawin lari) adalah hukumnya
haram, kita harus mengetahui terlebih dahulu hukum tata cara pelaksanaan atau
tahap-tahap melakukan merari’ (kawin lari), di antaranya yaitu:
1.
Midang
Midang adalah si pria
datang kerumah si perempuan untuk melakukan pertemuan dengan si perempuan. Midang
biasanya di lakukan di malam hari yang bertujuan untuk mempererat
silaturahmi, mereka tidak hanya duduk berdua akan tetapi orang tua si perempuan
juga ikut duduk bersama. Menurut saya midang merupakan perbuatan yang
baik dan sesuai dengan tuntunan islam bahwa antara laki-laki dan perempuan
tidak boleh berdua-duan.
2.
Memaling
Memaling merupakan inti dari
perkawinan. Pengerian memaling seperti yang saya paparkan di atas bahwa
memaling merupakan proses kawin lari. Menurut saya kawin lari ini bukanlah hal
yang di larang karena tidak ada nash akan tetapi kawin lari telah sesuai dengan
maqasihid syari’ah karena di dalamnya terdapat kemaslahatan.
Kemaslahatannya yaitu mempermudah bagi pihak laki-laki untuk melakukan
pernikahan dan meringankan beban keluarga, baik dari pihak laki-laki maupun
perempuan.
3.
Bekawin
Bekawin bisa disebut dengan
proses akad nikah. Akad nikah merupakan salah satu dalam rukun nikah, maka
hukum bekawin (akad nikah) adalah halal.
4.
Selametan
selametan di dalam islam
di sebut dengan walimah al-ursyi. jadi proses selametan ini
hukumnya boleh dan halal karena termasuk anjuran syari’ah.
5.
Bekuade/ Nyonkolan
Bekuade/Nyonkolan
ini pengertiannya hampir mirip
dengan acara resepsi. Bekuade/Nyongkolan adalah seorang mempelai pria
dan perempuan datang kerumah mempelai perempuan dengan membawa sajian makanan
dan di dampingi atau di iringi oleh para pemuda laksana pengawal yang sedang
mengiringi sang raja dan permaisuri. Tradisi bekuade/nyongkolan ini
memakai pakain adat sasak. Menurut saya tradisi ini bukanlah tradisi yang
bertentangan dengan syari’at islam karena di dalamnya terdapat kemaslahatan,
yaitu bertujuan agar para pria dan perempuan yang belum menikah agar cepat
menikah dan agar terhindar dari perbuatan dosa atau maksiat.[3]
Maka Setelah
tahap-tahap di atas sudah dilakukan mak resmilah menjadi pasangan suami isteri
yang sah. Tahap-tahap tersebut merupakan adat istiadat yang ada di Lombok. Jika kita lihat
tahap-tahap tersebut , maka sangatlah jelas bahwa banyak yang tidak ada di
hukum islam. Akan tetapi apabila kita tinjau lebih dalam tentang merari’ (kawin lari) merupakan
jalan atau metode yang yang harus di tempuh untuk melansungkan akad nikah. Walaupun melalui
proses mencuri, tetapi mempunyai tujuan yang baik dan hal itu sudah jelas di
dalam hukum islam, suatu perbuatan yang dilakukan walaupun tidak ada di dalam
Al-Qur’an dan Hadits tetapi demi mewujudkan suatu kemaslahatan bersama maka hal itu
di perbolehkan.
Dengan demikian tradisi masyarakat sasak di Lombok
dengan hukum islam dapat disimpulkan bahwa tidaklah bertentangan karena merari’ (kawin
lari)
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama antara keluarga yang laki-laki
dan perempuan.
Oleh karena itu, walaupun adat merari’ (kawin
lari) kelihatannya berbentangan dengan syri’at islam akan tetapi apaila bila di tinjau lebih mendalam maka hal itu boleh dilakukan
karena tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Saladin,
Bustomi. Juni 2013. Tradisi Merari’ Suku
Sasak di Lombok Perspektif Hukum Islam. Jurnal Al-Ahkam.Vol. 8, No. 1.
Tihani, H.M.A, Sahrani, Sohari. 2010. FIQIH MUNAKAT (Kajian Fiqih Nikah Lengkap).
Jakarta: Rajawali Pers.
Yasin,
M. Nur. 2008. Hukum Perkawinan Islam
Sasak. Malang: UIN M
* Essay Terbaik PAB DIKLATSARKUM PSKH 2017 kategori semester II
[1] H.M.A. Tihani,
Sohari Sahrani, FIKIH MUNAKAHAT (Kajian
Fikih Nikah Lengkap), (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hlm. 6.
[3] Bustami Saladin. “Tradisi Merari’ Suku Sasak di Lombok Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Al-Ihkam.Vol. 8, No 1 tahun 2013. Download http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/alihkam/article/view/338 akses pada 12 April 2017.
EmoticonEmoticon