Assalamualaikum, wr.wb. Salam sejahtera. Dalam rangka Dies Natalis PSKH (Pusat Studi dan Konsultasi Hukum) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang ke-13, PSKH mengadakan lomba membuat esai dengan tema "Larangan Politik Dinasti". Berdasarkan keputusan dewan juri, berikut adalah nama pemenang lomba esai.
Nama : A. RAHMAN
NIM : 12340102
Fakultas : Syari’ah dan Hukum
Jurusan : Ilmu Hukum
Semester : III (Tiga)
Segenap panitia mengucapkan selamat kepada pemenang lomba esai 2013.
Selamat dan teruslah berkarya...!!!
Berikut ini adalah bentuk esainya :
LARANGAN
(UTOPIS) POLITIK DINASTI:
Sebuah
Postulat Epistemologis Antara Kekhawatiran Akademik dan Neurolinguistik
Politik pada
kelahirannya merupakan sebuah proses transformasi ideologi untuk membawa negara
pada posisi lebih baik. Reformasi ‘98 diharapkan mampu mengawal kualitas
perpolitikan dan memasifkan transformasi ideologi kepada seluruh bangsa Indonesia
yang sudah lama kebebasannya terpasung di orde baru selama 32 tahun. Demokrasi
yang dianggap mampu memberikan kebebasan atas rakyat sekaligus meningkatkan
sirkulasi ekonomi, penegakan hukum serta kualitas keilmuan, saat ini melahirkan
politik dinasti yang “mencederai demokrasi[1]”.
Intelektualitas yang
mustinya menjadi tolok ukur seorang politisi bergeser pada popularitas yang
terlihat “melecehkan” politik. Disorientasi politik semacam ini dibenarkan
untuk mendulang suara, kedudukan dan dapat menjalankan wangsit, melancarkan
bisnis, tender dan perilaku politis lainnya yang menguntungkan diri dan
kelompoknya. Disini kita menemukan pergeseran nilai politik pada nominal uang[2],
bukan lagi substansi politiknya.
Politik dinasti
dianggap istilah baru yang sebenarnya pada perjalanan sejarah bangsa indonesia
sudah ada, namun untuk kontek hari ini politik dinasti tidak lagi sama dengan
satu atau dua abad yang silam. Mungkin istilah “A historia se repete” itu benar, sejarah selalu berulang, dan
sekarang kita sudah sampai pada pengulangan sejarah. Jika dulu langsung dinaungi
dan dilindungi kerajaan, sekarang harus melalui partai politik yang merupakan
kendaraan bagi para politisi sesuai dengan sistem dan mikanisme yang diatur
dalam Undang-Undang.
Ada dua hal yang
musti kita kaji bersama atas istilah yang baru-baru ini muncul dan menggantikan
posisi teratas dari berbagai isu yang lain;
1.
Kekhawatiran
Akademik
Bergulirnya
isu politik dinasti merupakan isu sensitif yang melahirkan
pertentangan/kekhawatiran dari aktivis dan mahasiswa. Kekhawatiran itu lahir
karena traumatis di masa transisi demokrasi belum sembuh. Kekerasan elite
politik[3]
yang begitu dahsyat menyebabkan trauma panjang yang rentan dengan isu-isu yang
mendekati pada penguasaan oleh kelompok diktator-otoriter (sekalipun itu tidak
mungkin untuk saat ini).
2.
Neurolinguistik
Neurolinguistik
merupakan cabang pengetahuan tentang hubungan bahasa dan saraf. Istilah politik
dinasti bagian dari simbol bahsa[4] yang
mampu mempengaruhi saraf/psikologis seluruh bangsa Indonesia. Isu ini dapat dijadikan
pemanfaatan oleh oknum tertentu untuk merong-rong dan mendulang suara pada
tahun 2014 nanti.
Beberapa landasan
yuridis mengenai defensif-preventif politik dinasti. Pertama, Dalam UUD 1945 pasal 28 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dalam undang-undang” pasal ini sebagai bentuk defensif
politik dinasti.
Kedua, RUU Pilkada, dalam
pasal 12 hurf (p) disebutkan bahwa, calon gubernur tidak boleh memiliki ikatan
perkawinan, garis keturunan lurus keatas, kebawah, kesamping dengan gubernur
kecuali ada selang waktu minimal satu tahun. Dan dalam pasal 27 huruf (p) calon
bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, lurus keatas, kebawah dan kesamping
dengan gubernur dan bupati/walikota kecuali ada selang waktu minimal satu
jabatan. RUU ini tidak bisa dijadikan tolok ukur berakhirnya politik dinasti.
Larangan politik
dinasti sebatas utopis. Keberadaan Politik dinasti tidak dapat kita hindari
dengan waktu yang sangat singkat. Kecuali pada keadaan tertentu, ketika
masyarakat memiliki kesadaran kritis[5] dengan
sendirinya politik dinasti akan lenyap, dan itu butuh waktu yang cukup lama. Sebuah
adagium mengatakan “historia docet”,
sejarah itu mengajar. Maka yang terpenting adalah selektif dalam menentukan
wakil dan pemimpin kita dengan belajar dari sejarah serta rekam jejaknya[6]
agar rakyat Indonesia berada pada posisi yang lebih baik. Amien.
[1] Kompas, 16/10/2013
[2] Inilah yang disebut uang
sebagai tanda keterasingan oleh Marx. dalam filsafat kerjanya, Dalam pekerjaan,
manusia tidak lagi melihat dan menikmati esensi pekerjaannya, tapi seberapa
besar nominal yang akan didapatkan dari pekerjaan itu. Sama halnya dengan
politik, yang menarik bukna kekhususan/substansi politiknya, tapi nilai unganya.
sehingga menurut marx, manusia teralienasi dari pekerjaan, karya dan dirinya
sendiri. (Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno S.J. RINGKASAN SEJARAH MARXISME DAN
KOMUNISME; Diktat Untuk Keperluan Mahasiswa STF Diryarkara dalam Rangka Acara
Filsafat Sosial Abad ke-19 dan 20, Jakarta 1977).
[3] Dr. Zainudin Maliki, “Politikus Busuk; Fenomena Insensibilitas
Moral Elite Politik”, hal. 33
[4] Lebih
lanjut dijelaskan Dr. Emanuel Subangun dalam bukunya “negara anarkhi” hal. 7-14
[5] Paulo Freire, membagi
kesadaran menjadi tiga tingkat kesadaran manusia, pertama, keasadaran magis, kedua,
kesadaran naif dan ketiga, kesadaran
kritis. Kesadaran kritis inilah yang menggerakkan manusia pada taraf perbaikan.
Namun, Romo Mangun Wijaya menambahkan dengan satu kesadaran, yaitu kesadaran
praksis, kesadaran bertindak, melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan.
[6] Pakar Ilmu Politik,
Gabriel A.Almond dan G. Bingham powel mengatakan bahwa untuk mengetahui baik
dan tidaknya sebuah negara, maka harus mengetahui terlebih dahulu pemeran
politiknya. Lebih lanjut dijelaskan di buku “dualisme
naskah UUD 194” karya A.S.S. Tambunan, SH. hal. 55-56
0 comments:
Post a Comment